webnovel

Dia Aditya

Mata Aditya mengerjap beberapa kali, entah mengapa pelajaran pertama kali ini membuatnya mengantuk. Tak terhitung sudah berapa kali dia bolak-balik ke WC hanya untuk mencuci mukanya. Keterlaluan memang, padahal ini baru jam pertama. Namun ia sudah terkantuk-kantuk seperti ini.

"Tumben jam segini udah loyo." Goda Bella.

Aditya tak menggubris ucapan gadis di sampingnya, ia malah semakin menenggelamkan wajahnya ke tumpukan buku. Matanya tertutup rapat, namun samar-samar Aditya bisa mendengar suara Pak Bagas yang tengah menjelaskan materi.

"Dit, bangun. Nanti ketahuan Pak Bagas, baru tahu rasa loh." Bisik Bella sembari menggoyangkan bahu bidang Aditya.

"Bodo amat." Jawab Aditya mulutnya kembali menguap.

"Tapi itu Dit...."

Belum sempat Bella menjelaskan, suara berat Pak Bagas terdengar menggelegar di penjuru kelas. "Aditya Herlambang!" Panggilnya.

Yang di panggil hanya menatap sekilas lalu melanjutkan tidurnya lagi tanpa menghiraukan tatapan semua orang yang tertuju padanya.

"Jangan karena orang tuamu donatur terbesar di sini, kamu jadi bisa seenaknya di kelas saya." Ujar Pak Bagas. "Keluar dari kelas saya."

Suasana kelas berubah tegang, pasalnya hanya Pak Bagas guru yang berani menegur Aditya seperti itu. Sebelumnya memang ada guru yang seperti Pak Bagas, menghukum Aditya seperti itu. Tapi, guru itu berakhir dengan pemecatan. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan keinginan orang tua Aditya.

"Kamu bisa denger saya?" Tanya Pak Bagas dengan suara tajam.

Aditya menarik nafas dalam, tangannya sibuk merapikan semua buku lalu memasukkannya ke dalam tas. "Cepat keluar." Usinya sarkas.

Aditya bangkit dari duduknya, dengan langkah ringan ia melewati Pak Bagas tanpa rasa takut. Sementara Bella, gadis itu hanya memijit pelipisnya pasrah melihat tingkah Aditya. Ia tak habis pikir dengan kelakuan teman sebangkunya, tak biasanya Aditya berprilaku seperti itu.

Apa yang terjadi dengannya? Pikir Bella.

Sekeluarnya Aditya dari kelas, ia berjalan menuju taman belakang sekolah. Sepanjang koridor tampak sepi, tak ada satu pun siswa yang berkeliaran terkecuali dirinya.

***

"Ngapain kita kesini, Yu?" Tanya Aria yang dibawa ke halaman belakang sekolah oleh Ayu.

"Lo belum tahu kan tempat persembunyian gue kalau lagi bolos." Jawaban Ayu sukses membuat Aria bertanya-tanya.

"Maksud kamu?" Ayu menghela nafas panjang, kenapa gadis di depannya itu begitu polos. Pikir Ayu.

"Ya maksud gue, tempat kalau gue males masuk kelas. Lo paham kan? Masa nggak paham maksud gue sih." Aria hanya mengangguk kecil, namun itu membuat Ayu sedikit bingung. "Jangan bilang seumur lo sekolah, lo nggak pernah bolos?"

Aria menggeleng cepat. "Emang saya nggak pernah bolos, Yu."

Mendengar itu Ayu hanya berpikir kalau Aria memang murid teladan. "Gue percaya," Gumam Ayu. "Ayo." Ajak Ayu sembari menggandeng tangan Aria.

"Eh, bentar-bentar." Langkah kedua gadis itu terhenti, ketika ponsel Ayu berdering.

"Gue angkat dulu telponnya." Aria mengangguk.

"Apa?" Tanya Ayu pada si penelepon.

"...."

"Gue lagi di belakang, nggak bisa nanti aja?"

"...."

"Iya-iya, gue kesana sekarang." Ayu mengakhiri panggilannya.

"Kenapa?" Ayu melirik Aria dengan senyum kecil.

"Maaf ya, gue nggak bisa ngantar lo kesana. Soalnya pa...," Kalimatnya terpotong, Ayu terlihat kikuk sekarang.

"Maksud gue, temen gue minta ketemuan sekarang." Lanjutnya gugup.

"Oh gitu ya, ya udah nggak papa."

"Maaf ya, Ar." Ucap Ayu tak enak, Aria hanya membalas dengan senyum simpul saat gadis itu sudah berlalu dari hadapannya.

***

Setelah sampai di halaman belakang yang dimaksud oleh Ayu, Aria melihat lelaki yang tengah duduk di bangku taman. Sebuah earphone terpasang di kedua kuping laki-laki itu. Ada rasa takut saat Aria melanjutkan langkahnya, namun rasa penasaran mengenai tempat yang di maksud Ayu urung membuat ia kembali.

"Woyyy! Mau kemana lo?" Aria terkejut mendengar suara di belakangnya.

"Sa-saya...," Gagu Aria.

"Lo kan cewek baru itu?" Tanya lelaki itu. "Kenalin, gue Aditya." Ucapnya dengan tangan kanan yang terulur.

Aria menghela nafasnya sebelum menyambut uluran tangan Aditya. "Saya Aria, kelas XII IPA 1." Sahutnya.

"Iya gue tau, sini duduk." Ajak Aditya sembari menepuk tempat kosong di sampingnya.

Aria hanya menurut tanpa ada penolakan sedikitpun.

"Lo yang sebangku sama Satya, kan?"Aria mengangguk kecil.

"Gimana rasanya?"

"Apa?" Aria balik bertanya.

"Sebangku sama Satya?"

"Em..., Nggak gimana-mana." Jawab Aria polos.

"Lugu banget sih lo." Setelah mengucapkan itu Aditya mengambil tasnya dan beranjak untuk bangun.

"Mau kemana?" Tanya Aria.

"Keppo." Jawab Aditya dengan kekehan diakhir. "Btw, jangan bilang ke siapapun kalau lo ketemu gue di sini." Pungkas Aditya sebelum bener-bener pergi dari sana.

Senyum samar terlihat di wajah cantik Aria, itu semua berkat Aditya. Entah kenapa, perbincangan singkat tadi membuat hatinya sedikit bergetar. Apakah ini yang dimaksud Ayu tadi? Memang, pesona most wanted SMA Antariksa bukan main untuk gadis seperti Aria.

***

Langkah Ayu terhenti saat Sita dan kawan-kawan menghadang jalannya dengan sengaja. Padahal tinggal beberapa langkah lagi untuk ia masuk ke kelas XII IPS 2.

"Minggir nggak!" Sewot Ayu.

"Lo liat si Aria nggak?" Tanya Sita tanpa mempedulikan ucapan Ayu sebelumnya.

"Jangan bilang nggak tau, gue lihat tadi lo barengan ke luar kelas sama dia." Sahut Citra dengan tatapan nyalang.

"Kalau gue tahu pun, gak akan gue kasih tau lo-lo semua." Jawab Ayu. "Minggir!" Ucapnya lagi yang kali ini membelah brikade antara Sita dang Inggit.

Ketiga-nya pun hanya mendengus kesal melihat kepergian Ayu yang sama sekali tak menghiraukan mereka.

Sementara itu, Ayu terlihat celingukan mencari seseorang yang sebelumnya menelpon dia tadi. Namun tak ada siapapun di sana, kecuali Iqbal. Temen sekelas Rendi, lebih tepatnya teman sebangkunya.

"Lo lihat si Gilang nggak?" Tanya Ayu.

"Tadi sih dia ke kelas, lo." Jawab Iqbal.

Ayu memijit pelipis. "Ya ampun, tuh anak bener-bener." Ujarnya frustasi.

Sementara di tempat lain, Satya bersama kedua temannya tampak menikmati bakso yang ada di kantin. Sesekali ketiga lelaki muda itu melemparkan canda gurauan satu sama lain.

"Si Aditya mana?" Tanya Satya setelah menghabiskan satu mangkok bakso.

"Kata si Bella di keluarin dari kelas sama Pak Bagas." Jawab Gilang.

Satya menautkan alisnya mendengar penjelasan dari Gilang. "Hah, kok bisa?" Sahutnya. "Nggak biasanya dia kata gitu." Lanjut Satya khawatir.

"Meneketehe." Timpal Gilang, ia menatap satu persatu temannya. "Kayaknya si Adit lagi ada masalah."

"Apa?" Kepo Rendi.

"Ya mana gue tahu."

Satya menggeplak tangan Gilang, meninggalkan warna merah di tangannya yang putih. "Ya terus ngapain lo tadi ngomong kek gitu."

"Canda Sat, canda. Serius amat lo pada." Lelaki itu nyengir kuda menampilkan gigi rapinya. "Gimana temen sebangku, lo?"

Satya mengerutkan keningnya. "Siapa?"

"Astaghfirullah, itu loh si...si.... Siapa Ren? Gue lupa lagi."

"Aria." Jawab Rendi

"Nah itu maksud gue, gimana rasanya sebangku sama si Aria?"

"Biasa aja."

"Kok biasa aja sih," Protes Gilang.

"Ya elu salah nanya orang bego, harusnya si Aria yang lo tanyain gitu." Ujar Rendi. "Secara dia sebangku sama cowok ganteng yang jadi rebutan cewek sana-sini." Lanjutnya sedikit berlebihan.

"Kalau buat gue, nggak ada apa-apanya. Lo tahu kan, berapa ratus cewek yang ngantri buat sebangku sama gue." Tambah Satya dengan senyum smirknya.

Gilang tertawa melihat tingkat kepercayaan diri Satya. "Widih, kepedean banget lo."

"Emang gue ganteng, iri? Bilang bos."

"Strawberry mangga apel, sorry nggak level." Ujar Gilang.

Satya menunjuk wajahnya. "Coba lo lihat, bagian mana yang mampu di tolak sama cewek?!"

"Idih, jijik banget gue lihatnya."

"Bodo amat." Ujar Gilang. "Udah-udah, berisik amat lo pada." Protesnya sembari bangkit dari duduk hendak meninggalkan kantin.

"Lo yang berisik bego." Sahut Rendi.

"Mau kemana lo?" Kali ini Satya yang bicara

"Perpus." Jawab Gilang sebelum benar-benar pergi meninggalkan Satya dan Rendi.

Kedua lelaki itu tak percaya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria yang barusan pergi. "Gue nggak salah denger kan?" Tanya Satya.

Rendi mencubit tangannya beberapa kali, meyakinkan kalau ia bukan sedang bermimpi. "Telinga kita masih normal Sat, dan ini juga bukan mimpi."

Tak aneh jika Satya dan Rendi bereaksi seperti itu. Pasalnya seumur mereka berteman, baru kali ini mendengar kata perpustakaan dari mulut Gilang.

***

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Wis_Ti_Anncreators' thoughts