Nayla terbangun dari tidur lelapnya. Meski dengan kepala yang berat, ia tetap bangkit dari kasur. Ia melirik sekilas hp nya lalu melangkahkan kaki dengan malas ke arah kamar mandi. Ya, Nayla harus segera mandi karena jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Apakata teman-temannya kalau si pintar panutan sekolah itu telat?
Tak perlu menunggu lama, Nayla pun keluar dari kamar mandi lengkap dengan seragamnya. Namun, tiba-tiba tubuhnya oleng, sontak ia menopang berat tubuhnya dengan satu tangan bersandar pada pahanya dan satu lagi menahan ke dinding. Nayla sedikit pusing, sepertinya. Dengan gerak lambat ia memakai sepatu serta ranselnya. Nayla juga menyempatkan diri untuk berpamitan pada sang ibu.
"Loh, Nay, kamu sakit?"
"Nggak, Bu! Nay gak apa-apa! Ibu hati-hati nanti kerjanya. Nayla jalan, Bu!"
Nayla seperti biasa, berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Ia hanya menunduk sembari menendang krikil yang sesekali menghalangi jalan. Pikirannya melayang entah ke mana. Tanpa sadar, ia sudah ada di depan gerbang sekolah. Selaras kaki jenjangnya memasuki gerbang, suara yang memekakkan telinga juga menyapa indra pendengarannya.
"Benar, 'kan, itu lo Nay! Eh, lo kenapa? Kok jalannya kaya gitu?"
Nayla menoleh. Pekikan sahabatnya, Ayla, menarik pikirannya kembali ke asalnya. Namun, Nayla terus melangkahkan kakinya, ia sedang tidak mood bersuara.
"Ih, kok gak ja-"
Nayla menatap Ayla saat telapak tangan Ayla heboh meraba seluruh kepala dan tubuhnya seperti mengecek sesuatu.
"Lo sakit ni! Panas begini juga... kenapa masuk sih, Nay?"
Nayla mengabaikan Ayla dan berjalan memasuki kelas. Ia memilih duduk di sudut belakang, bertukar bangku untuk hari ini saja. Rasanya ia hanya ingin tidur seharian. 'Berat sekali kepalaku', batin Nayla.
Ayla yang melihatnya pun meminta tukar bangku dengan alasan menjaga Nayla yang sakit. Beberapa temannya yang sudah datang pun menyarankan Nayla untuk pulang lagi atau sekadar istirahat di UKS, tapi Nayla bersikeras karena hari ini ada pembahasan materi olimpiade. Jadi, dirinya harus tetap masuk dan hadir hingga kelas berakhir.
Ayla sangat perhatian, rasanya ia sudah memperhatikan Nayla hampir seharian. Ia bahkan membelikan Nayla roti, susu, atau semacamnya. Tapi lama-lama Ayla jengah. Nayla masih saja tak bersuara hingga tengah hari begini. Diperparah dengan kondisi Nayla yang semakin buruk membuat Ayla menarik paksa Nayla menuju UKS saat bel istirahat ke-2 berbunyi.
Nayla merebahkan dirinya di kasur dengan setengah hati. Mau bagaimana lagi? Ayla sudah marah-marah sampai wajahnya memerah seperti itu, mana berani ia melawan. Bisa-bisa dipecat jadi sahabat. Berabe urusannya.
"Gue gak mau tahu, lo harus cerita ke gue, kenapa lo bisa sakit begini? Lo ngapain si di toko buku kemarin? Gak gue temenin lo malah sakit begini."
Nayla menghela napasnya. "Gue cuma baca buku. Paling kecapekan baca a-"
"Alah... alasan aja. Paling juga lo jalan kaki lagi 'kan pulang dari sana? Dasar lo ya! Kemarin di telpon katanya ada ongkos balik. Bohong aja lo! Tau gitu 'kan gue temenin naik motor."
Nayla memutar bola matanya malas. "Heleh, jelas-jelas lo gak mau nemenin gue. Lagian gue memang ada ongkos kok, tapi...."
"Tapi apa? Apa?! Cerita gak ke gue, kalo gak gue marah nih."
Nayla ragu. Apa perlu hal seperti itu diceritakan? Apa nantinya Ayla tidak akan berpikir buruk tentang Nanda? Kira-kira begitulah isi kepalanya. 'Tapi, tunggu. Kok jadi Nanda?'
"Sebenarnya, kemarin gue ke gap sama penjaga toko buku lagi nyalin materi olimpiade yang gue butuhin. Lo tahulah gue gak mampu kalo beli. Jadi, gue putusin buat nyalin. Si kakak penjaga itu si baik untungnya, tapi gue sudah kepalang gak mood.... Tadinya gue mutusin mau balik aja, tapi ada manusia yang nawarin gue buat nyalin isi dari buku cetak i-"
"Siapa yang nawarin bukunya, Nay? Dia kenal lo?"
Nayla mendesah lagi, ia mendelik sebal ke arah Ayla. Sedangkan Ayla langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
"Nanda. Entah kenapa dia juga ada di sana kemarin. Dia ngeledek gue terus dan nawarin bukunya juga antara niat dan nggak."
"Terus bagian mana yang bikin lo bisa sakit begini?"
Nayla mencoba mendudukkan dirinya dan memposisikannya sedikit bersandar di kepala kasur yang sudah di alasi oleh bantal. Ia meminta di ambilkan air mineral yang tersedia di sisi kanan Ayla. Nayla pun meminum obat yang dijulurkan oleh Ayla bersamaan dengan air mineral di atas nakas tadi.
Bunyi pintu bergeser sedikit menyadarkan Nayla dan Ayla bahwa saat itu mereka tidak lagi berdua. Karena Ayla sengaja menarik tirainya, mereka jadi tidak bisa melihat orang itu. Adik kelas, kakak kelas, ataukah teman seangkatan mereka? Entah. Mereka juga tak terlalu memusingkannya dan lebih memilih melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
"Gak ada sangkut pautnya sih. Itu memang salah gue yang gedein gengsi. Kalo aja gue gak sok-sok an bayar setengah minuman yang dia beliin kemarin, gue gak bakal berkahir dengan jalan kaki sampe rumah."
Hening. Ayla tak merespon. Tatapannya kosong, mungkin sedang merasa bersalah? Tapi-
"Hahahaha. Dasar bodoh lo, Nay! Makanya jangan gedein gengsi! Makan tuh sakit! Lo sendiri yang cari perkara. Makanya jangan sok! Ahahaha...," tawa Ayla meledak. Lihat itu, Ayla sampai menitikkan air mata di sudut sana.
Nayla merengut. Ia mengalihkan wajahnya ke arah kanan. Ia menangkap siluet yang tak asing. Berkat tirai yang sedikit tertiup angin, Nayla bisa melihat seseorang yang baru saja keluar dari pintu. 'Mungkin salah orang,' batinnya.
.
Nayla terbangun, ia melirik jam dinding di atas jendela. Pukul 3 sore. Sudah saatnya pulang. Ia segera membangunkan Ayla yang juga tertidur karena menungguinya di sana.
"Uhhh, sudah pagi ya? Mmh...," racau Ayla.
"Sore, Ay, bukan pagi. Lo pulang sana, udah jam 3 tuh."
Ayla terkesiap dan refleks berdiri. "Duh, gue ketiduran. Diabsenin gak ya gue tadi sama bocah?"
"Alah, lo mah emang dasarnya mau bolos kali. Pake alasan nemenin gue segala sih. Biar aja loe di itung bolos beneran tadi di kelas. Haha."
"Ih, Nayla mah gitu, jahat."
'Eh, dia ngambek. Haha. Dasar Ayla, lucu banget sih. Tarik juga nih bibirnya.'
"Hehe, gak ko, pasti Ayla yang baik hati ini diabsenin sama anak-anak. Makasih loh sudah mau susah-susah urus gue dari pagi."
"Uuh, apa sih, Nay 'kan sahabat Ayla. Dah harusnya dong kaya gitu. Sekarang loe dah sembuh? Pulang yuk, gue antar," tawar Ayla, tapi Nayla menggelengkan kepalanya.
"Gue masih ada yang perlu di bahas masalah olimpiade bareng tutor sama si Nanda. Lo duluan aja deh. Gue janji bakal pulang dengan selamat. Dah, sana...."
Ayla menelusuri wajah Nayla dengan saksama. Memastikan kembali bahwa sahabatnya sudah benar-benar membaik. "Benar ni gue tinggal?"
"Iya."
Ayla mengernyitkan dahinya. "Yakin? Benaran?"
"Iya, Ayla sayang."
"Yaudah deh gue balik duluan. Kalo ada apa-apa telpon gue ya. Hati-hati lo nanti pokoknya."
.
Selepas kepergian Ayla, Nayla keluar ruang UKS dan berjalan ke arah ruang konsultasi konseling yang biasa dipakai untuk membahas masalah olimpiade. Sedikit lagi sampai, di balik tembok itu adalah ruang konsultasinya. 'Loh, Nanda?'
"Bu guru bilang pembahasan materi diundur jadi besok. Kita disuruh pulang aja. Btw lo ke mana aja si? Gue nyariin lo ke mana-mana daritadi."
Nayla mengernyitkan dahi. Sikap apa itu yang ditunjukkan oleh Nanda barusan? "Tas gue siniin," pinta Nayla.
Nanda mengalihkan pandangannya dan mengabaikan permintaan Nayla. Dirinya tetap membawa tas Nayla tanpa sebab yang jelas. "Lo bawa batu kali ya ke sini, berat amat ini tas. Pantesan lo bantet."
What? Nayla menggertakkan giginya. "Siniin makanya tas gue. Siapa juga yang minta bawain lo. Sini gak, gue mau pulang!"
Nanda mempercepat langkahnya. Ia seolah menulikan pendengannya dari teriakan Nayla. "Gini ya, lo harusnya makasih karena gue dah mau bawain tas berat lo ini, sa-yang."
"Sayang, sayang pala lo peyang! Siniin gak. Nanda! Tas gue siniin!"
Nanda tertawa melihat ekspresi kesal dari Nayla. Ia lantas berinisiatif untuk berlari kecil guna meledek partner olimpiadenya itu. Lucunya, mereka sudah seperti kucing dan tikus.
Sepanjang jalan mereka selalu saja terlibat perdebatan kecil. Entah itu soal Nanda yang mengungkit masalah acara pinjam buku, sok bayar teh, tas yang seperti membawa batu, atau bahkan soal panggilan sayang itu. Entah kenapa rasanya Nanda terbiasa mengucapkannya. Seperti tak ada beban.
"Sampai deh. Nih tas lo. Salam buat orang tua lo ya. Gue balik dulu."
Bola mata Nayla bergerak gelisah saat mata Nanda tepat menatap pasang matanya. Awalnya, ia ragu. Namun, saat Nanda berbalik, ia memanggilya dan menawarkan masuk ke rumah reyotnya hanya untuk sekadar bertata krama. Bagaimanapun juga ia harus berterimakasih karena sudah dijaga sepanjang jalan.
"Maaf ya rumah ibu jelek."
Nanda menggeleng heboh. Seharusnya dirinya tidak menelisik setiap ujung rumah Nayla. "Nggak kok, tante. Rumahnya nyaman dan hangat."
Nanda melirik Nayla yang sebelumnya sudah membantu ibunya membuat teh. Ia melihat Nayla sesekali bersenda gurau dengan sang ibu. Nanda suka atmosfer di sana.
"Jangan panggil tante, panggil ibu aja. Makasih ya sudah antar Nay." Ibu Nayla mengulurkan biskuit pada Nanda.
"Iya, eum, ibu. Nggak usah repot-repot, bu. Saya ga sengaja tadi keasikan ngobrol sama Nayla sampe sini."
"Ya pokoknya makasih ya. Nama kamu siapa? Ibu belum tahu."
"Saya Nanda, bu. Maaf bu, sudah jam segini, saya pamit pulang aja ya bu."
"Minum dulu tehnya."
Dengan sigap Nanda meminum dan menghabiskan tehnya. Ia juga mengambil satu tangkap biskuit yang disodorkan ibu Nayla. Nanda bergegas pulang. Hatinya menghangat.
Tanpa disadari, ada sosok lain di luar sana, di ujung jalan yang memerhatikan rumah kecil itu dengan tatapan yang tak terbaca.