webnovel

Hanya Sekadar Teman

"Bagaimana keadaannya Dok?" tanyaku mengabaikan si suster, dan memegang bahu Dokter di depanku. Berharap agar ia akan memberikan jawaban sesuai yang kuminta. Tapi, lama waktu berlalu, tak ada jawaban darinya.

Suasana hening terasa hening. "Dok? Operasinya berhasil kan?" lirihku tersenyum, menatap wajah dokter yang masih mengenakan masker dan pakaian operasinya.

"Maaf Nona ... kami tak bisa. Pasien sedang meregang nyawa saat melakukan perjalanan dari TKP ke rumah sakit." Deg! Kalimat dari dokter meremas bagian terdalam dari lubuk hatiku. Napasku tercekat, dengan pandangan buram dipenuhi kristal bening dengan bentuk cair. Tanganku mengepal, dan bergerak mengayun memukul dada. Berharap bisa menepis semua rasa.

Itu semua tak mungkin benar! Ya, tak mungkin! Fero tak akan pernah meninggalkanku semudah ini. Bertahun-tahun memendam rasa sendirian, penuh luka dan siksaan untuk berjuang agar terus hidup. Kini telah dibalas, dan aku sadar. Sedari awal, aku tak memendam rasa ini sendiri. Fero juga sama.

Ingatan tentang masa-masa sebelumnya ....

Kepala Fero terangkat ke langit, sinar mentari yang berada di samping membuatnya bercahaya dalam pandanganku. Setiap melihat wajahnya, jantungku selalu berdebar tak karuan, seakan ingin loncat. Dulu, selalu bertanya-tanya, perasaan apa ini. Namun secara perlahan, kutahu ini adalah cinta.

"Lan, kamu tau? Aku suka sama seseorang yang dulu sangat biasa di mataku, namun kini terlihat sangat spesial setiap detik saat bersamanya." Waktu itu, aku mengira kalimat itu, jika dia menyukai orang lain. Dadaku terasa diremas, kepalaku menunduk. Netraku terasa basah.

"Andai suatu saat aku mati, kuberharap bahwa perasaan ini sudah terungkap. Dan dia tau tentang itu. Aku masih belum berani mengungkapkannya. Bahkan, aku merasa tak layak untuk berada di sisinya."

Aku menoleh, melihatnya memegang dada dan tertunduk, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyuman yang mengibaratkan rasa sedih, senang dan sakit secara bersamaan. Sungguh beruntung orang yang dicintai olehnya.

Setiap titik sudut ekspresi pada wajahku terasa berat dan penuh rintangan untuk tersenyum. Tapi aku tetap berusaha. Karena ingin menguatkannya, bergantian setelah dia menguatkanku untuk terus hidup dan berjuang. "Aku adalah orang pertama yang mengaminkan do'amu dengan kencang dan sungguh-sungguh!" seruku tersenyum, dengan mata menyipit.

Menyembunyikan perasaan sakit setiap kalimat itu terucap melalui bibirku. "Terima kasih Lan. Sebenarnya ... orang yang aku suka telah mengetahui perasaanku, tapi mungkin tak menyadarinya," balas Fero menolehkan kepala ke arahku dan tersenyum.

Degg! Mungkin dia akan segera menjadi milik orang lain, apa aku harus membuang perasaan ini? Bibirku bergetar. Tanganku menyangga tubuh, dan segera bangkit, lalu berbalik ke arah pintu keluar rooftop satu-satunya. "Eh, udah dulu nih. Aku ... aku mau ke toilet bentar, kebelet pipis!" seruku tanpa melihatnya.

Langsung berlari membuka pintu, dan menuruni tangga. Brak! Tubuhku langsung terhempas ke lantai. Rasa sakit mendera bagian kepala, dengan sensasi hangat, bersama bau amis mulai tercium pada hidungku. Aku mulai bangkit dengan menyangga tubuh menggunakan tangan. Saat akan berdiri, nyeri luar biasa menyapa pergelangan kaki. Tak ada pilihan lain selain duduk.

Menoleh ke kanan dan kiri, tak ada orang, hening. Tanganku mengepal di atas keramik, sambil menyangga tubuh. Pandanganku kembali berkaca-kaca, seperti biasa, ada apa-apa, aku selalu memikirkan Fero sebagai penyelamat. Tapi, mulai sekarang tak bisa seperti itu. "Seseorang ... tolong aku," lirihku pelan.

Aku ingin menangis. "Lania!" suara teriakan menggema dari atas, aku langsung mendongkak, menyadari siapa empunya suara.

"Fero," gumamku tak bisa menahan bendungan air mata untuk bisa terus bertahan di balik kelopak mata. Aku ingin move on darimu, tapi ini tak akan mudah. Kau selalu muncul di saat aku butuh. Mau itu penyelamat, sahabat, superhero, sekaligus sosok hangat. Seperti ayah dan ibu orang lain.

Sebab, ayah atau ibuku tak akan seperti itu. Ibu telah pergi, sementara ayah terus menyalahkanku akibat masalah lalu. Kemudian kedua kakak yang terus menyalahkanku dan membenciku. Tak ada yang bisa jadi pegangan untukku. Semua menjauh kala aku butuh. Dan tidak pernah mendekat. Kecuali Fero.

Sebuah tangan langsung memeluk pinggang, dan meraih tanganku untuk bergerak memeluk pundaknya. "Kenapa bisa gini? Suaranya sampai kedengaran di atas lho!" serunya menatapku khawatir. Tak bisa kujawab pertanyaannya. Jadi, hanya bisa terdiam.

"Lan? Bertahan, kalau kamu gak bisa jalan aku gendong!" ungkapnya membuatku tersentak. Sontak saja kepalaku menggeleng. Tapi Fero seakan tak peduli. Dalam sekejab, ia membuatku berada dalam gaya bridal style khas pengantin baru. Permukaan wajahku terasa panas.

"Bertahan! Kita ke UKS!" serunya khawatir, berlari ke UKS di lorong-lorong sepi waktu pelajaran. Di mana kami saat ini membolos. Dari bawah, aku melihat ukiran wajah tampan dengan kacamata aksesoris berwarna hitam yang membuatnya terlihat semakin mempesona dan berdamage, setiap kupandang.

"Bagaimana bisa kamu begitu tampan?" lirihku. Kemudian aku tersentak. Kuharap Fero tak mendengarnya sama sekali. Aku tak ingin hubungan kami menjauh hanya karena dia mengetahui bahwa, aku memiliki rasa terhadapnya.

Tak ada respon sedikit pun terhadap kalimatku. Secara diam-diam, napasku terhela dengan panjang secara lirih, mengisyaratkan bahwa ada perasaan lega, kala dia tak mengetahui kalimatku. Bolehkah aku mengungkapkan.

Sebenarnya, aku sangat nyaman berada dalam posisi ini, walau sangatlah memalukan untuk dilihat orang lain. Di saat-saat seperti ini, aku berharap waktu berhenti. Membiarkanku nyaman dalam pelukan sementara di dada bidangnya. Sambil menikmati debaran jantung yang begitu indah untuk kudengar.

Kembali kutatap wajah tampan dengan kacamata itu, angin berembus dan cahaya kembali berpihak. Di antara lorong-lorong, angin mengajak daun yang rontok untuk bersamba mengiringi perjalanan singkat menuju UKS.

Brakk! Suara gebrakan terdengar membuyarkan lamunanku. Ternyata kami sudah sampai, dan mulai masuk ke dalam UKS. Menggeser salah satu tirai putih khas UKS. Fero meletakkanku dengan emm lembut, atau cuman perasaanku?

"Kenapa gak ada orang sih!" kesalnya mengacak rambut. Lalu menatap padaku. "Jangan kemana-mana, di sini aja dulu oke. Aku cari salah satu guru!" pintanya, kemudian berlari keluar dengan cepat, sampai tak bisa kubalas kalimat itu. Apa aku terlihat seperti orang yang bisa jalan?

Mengabaikan kalimat itu, pikiranku mulai tertuju pada adegan di mana jatuh dari tangga. Sebuah luka bisa membuatnya bertingkah romantis. Apa aku harus banyak terluka untuk mendapatkan perhatian lebih darinya?

Tidak-tidak! Kepalaku menggeleng tidak setuju dengan pemikiranku barusan. Apakah akal sehatku tertinggal saat jatuh di tangga? Tentu aku tak boleh berpikir seperti itu. Itu bukan cinta, tapi obsesi. Karena yang kutahu, cinta itu tulus tak mengharapkan apa-apa.

"Cepetan dikit coba! Lihat! Ada teman saya terluka, tapi UKS gak ada orang!" suara Fero membutku mengalihkan perhatian. Hatiku kembali hancur, saat ia mengatakan kalimat teman. Ternyata kami hanya sebatas teman.