"Makanlah roti ini. Mungkin ini hanya sedikit tetapi semoga bisa membuatmu kenyang ya?" seru seorang wanita dengan rambut di Cepol. Rambut-rambut tipis berada di dekat wajahnya. Wajah yang terlihat lesu sangat jelas tergambar.
Tangan Jihan mengambil roti dan menyobeknya lalu ia memasukkan sedikit demi sedikit roti itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah dengan penuh kenikmatan. Rasanya cukup membuat perutnya sedikit terisi. Setelah selesai perempuan itu membawakan air putih untuk Jihan. Jihan segera meminumnya.
"Di luar sangat dingin ya? Oh ya, siapa namamu?" tanya perempuan itu dengan wajah ramah.
"Namaku Jihan dan siapa namamu?"
"Namaku Julia dan ini anakku Lucy enam tahun dan William empat tahun," jelas Julia dengan wajah bersinar. Ia terlihat senang dengan keberadaan Jihan.
Jihan melambaikan tangan di samping pipinya. Ia berusaha ramah kepada dua orang anak itu.
"Jadi kalian tinggal tempat ini? Hanya kalian?" tanya Jihan melihat sekeliling rumah yang kecil.
"Ya, Suamiku meninggalkan aku dan anak-anakku. Jadi aku sebagai karyawan di restoran burger di sebrang jalan dan aku merawat kedua anakku. Kami tinggal disini sudah tiga tahun," jelas Julia dengan wajah sedih namun ia berusaha tersenyum di depan Jihan.
Jihan hanya mengangguk. Ia malu dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa kabur sejak dulu dari ayahnya. Seharusnya ia bisa hidup sendiri tanpa ayahnya dan hidup berkecukupan dengan pekerjaan yang normal. Jihan merasa sangat menyesal ia baru mendapatkan kekuatan untuk kabur dari ayahnya.
"Hei Jihan? Kau melamun? Apa yang kau pikirkan?" tanya Julia dengan memegang lengan atas Jihan.
Lucy dan William tampak merasa penasaran dengan wajah Jihan. Gadis dengan rambut panjang itu menarik nafas dan menghembuskannya pelan.
"Aku malu dengan kalian semua. Aku ini adalah seorang kupu-kupu malam. Selama satu tahun aku menjadi seorang wanita malam dan ayah yang menjadikan aku seperti ini," Suara serak Jihan mulai terdengar. Ia menelan saliva untuk menahan tangis.
"Seharusnya aku kabur sejak dulu dan bisa bekerja dengan normal. Aku menyesal baru kabur setelah melakukan pekerjaan gelapku," Jihan menunduk dan air mata jatuh seketika. Namun ia cepat-cepat menghapus tangisnya.
Julia mengelus punggung Jihan dengan lembut. Julia melihat betapa nelangsa hidup seorang Jihan.
"Menangislah jangan kau tahan," ucap Julia sembari mengelus kembali punggung Jihan.
Jihan menegakkan kepalanya.
"Tidak, tidak aku tidak ingin menangis lagi. Aku benci menangis. Aku tidak suka kalau aku lemah," kata Jihan berusaha tersenyum.
Julia menatap Jihan dengan iba. Sementara Jihan merasa lebih baik setelah bercerita dengan perempuan di depannya.
"Jadi ibumu kemana?" tanya Julia tiba-tiba membuat Jihan melongo.
Jihan bingung akan mengatakan apa.
"Aku tidak tahu di mana ibuku. Aku bahkan tidak pernah melihatnya," jawab Jihan dengan senyum palsu. Seolah menertawakan hidupnya sendiri.
"Jadi bagaimana ceritanya?"
"Ya ayahku tidak mau menceritakan apapun tentang ibuku. Jadi aku sama sekali tidak tahu," kata Jihan dengan datar.
"Kau tidak pernah mencarinya?" tanya Julia membuat Jihan termenung.
Bibir tipis itu terdiam. Sementara kedua matanya memandang dengan kosong. Pikiran Jihan mulai mencari jawaban. Ia bahkan tidak pernah mencari ibunya. Tapi kenapa ia tidak melakukan tindakan apapun untuk mencari ibunya? Jihan mulai menyalahkan dirinya sendiri. Jihan merasa di pukul palu besar di kepalanya. Ia benar-benar di sadarkan oleh pertanyaan yang selama ini tidak pernah tertuju padanya. Kini pertanyaan itu membuat dia begitu sedih.
"Aku tidak pernah mencarinya. Jangan tanya kenapa aku tidak pernah mencarinya. Aku tidak tahu jawabannya," jelas Jihan menatap wajah Julia perempuan tanpa seorang suami itu.
Julia memandang gadis di depannya itu dengan tenang. Tangannya menyentuh lengan Jihan dengan lembut. Lalu mengelus-elus mencoba membuat Jihan lebih tenang.
"Tidak apa Jihan. Aku tidak akan menanyakan tentang itu. Tetapi ingatlah kau ada di dunia ini itu karena ibumu. Ibumu melahirkanmu dengan susah payah. Dia bahkan mengandungmu sampai usia sembilan bulan. Itu sangat berat Jihan. Selama itu juga ibumu seakan membawa beban berat sampai tiga kilo atau bahkan empat kilo bobot saat kau masih di dalam perut," jelas Julia memberitahu dengan suara lembut. Suara mirip dengan ibu-ibu yang sudah berpengalaman.
Jihan menghembuskan nafas seolah membuat dirinya lebih nyaman.
"Aku hanya bisa menasehatimu. Mungkin saat ini ibumu merindukan dirimu. Kau tidak mau kan hidup tanpa tau wajah ibumu. Suatu saat nanti pasti kau akan sangat merindukan ibumu. Aku harap kau berusaha mencari ibumu," kata Julia lalu mengulum bibirnya. Ia sangat berharap Jihan suatu saat bisa bertemu dengan ibunya.
"Terimakasih banyak Julia. Aku berharap bisa melakukan itu," ucap Jihan dengan singkat. Ia juga tidak tahu bagaimana nanti cara untuk menemukan sang ibu.
Malam sudah sangat dingin dan semakin sepi. Di luar suara kendaran juga sudah hampir tidak ada. Jihan berbaring bersama Julia dan kedua anak Julia yang kecil. Ya mereka tidur di tempat yang sama. Kasur yang tipis membuat mereka dingin tetapi mereka tidak bisa mengelak dengan takdir. Mereka hanya bisa menyelimuti dirinya sendiri sambil meringkuk.
Hanya kedua mata Jihan yang tidak terlelap. Semua yang ada di tempat tidur itu terlelap dengan mata rapat. Jihan benar-benar merasa tidak nyaman. Ia lelah namun matanya tidak bisa di ajak bersahabat.
Pikirannya terus berputar putar. Banyak sekali gambaran dalam benaknya. Jihan bingung setelah kabur dari kota ini akan bekerja sebagai apa. Dia juga takut untuk bergabung dengan manusia lain. Ia juga membayangkan wajah ibunya seperti apa. Apakah sang ibu bermata besar atau sipit. Berwajah tirus atau berbadan gembul. Apakah wajahnya mirip dengan dirinya. Ataukah ibunya sudah meninggal?
Pertanyaan itu membuat dada Jihan sangat kaget. Ia bernafas dengan susah payah. Badannya duduk sendiri dengan cepat. Berdiri lalu berjalan menuju ke pintu dan membukanya dengan satu gerakan. Ia keluar dan menghirup udara. Itu cukup membuatnya sedikit lega. Meski ia merasa tubuhnya dingin. Namun ia mencoba memeluk tubuhnya sendiri dengan hangat.
Tiba-tiba kedua kelopak matanya menitikkan air hangat. Jarinya mencoba menyeka sudut matanya. Namun semakin dirinya melakukan itu. Semakin air matanya mengalir deras di pipi putihnya. Jihan berpikir keras. Mengapa selama ini ia tidak ada usaha untuk mencari ibunya. Jihan mulai berbicara dengan dirinya sendiri.
"Aku akan sangat menyesal jika ibuku meninggal dunia. Ya Tuhan, jangan sampai hal itu terjadi padaku. Aku tidak akan bisa hidup seperti itu. Mungkin hanya ibu satu-satunya keluargaku yang bisa membuatku nyaman. Karena ayah sama sekali tidak membuatku nyaman. Ya Tuhan, aku sangat berharap bisa menemukan ibu. Aku ingin sekali memeluk ibuku dengan hangat. Aku ingin seperti anak lain yang bisa merasakan betap lembutnya kasih sayang ibu."
Malam itu Jihan hanya bisa menatap langit yang luas dan sama sekali tidak bisa memejamkan matanya hingga beberapa jam. Namun setelahnya ia terlelap sendiri di luar.