"Bang, kok ini ada surat tagihan listrik ya?" aku menemukan surat penagihan itu tergeletak di bawah pintu, sepulang aku berbelanja.
"Mana?" bang Anwar balik bertanya sambil mengelap rambutnya yang basah selesai mandi, akhirnya ia mau mandi juga.
Selesai membaca, ia hempaskan selebaran itu begitu saja, tanpa berkomentar apapun.
"Sudah dua bulan, Bang! Kenapa gak dibayar-bayar?" aku langsung kesal dibuatnya.
Ingat sebulan yang lalu, bang Anwar meminjam uang arisan yang aku dapat, katanya mau ia pakai dulu untuk membayar listrik. Uang hasil narik kurang karena sering dipakai untuk ke bengkel, akhir-akhir ini angkotnya sering mogok, begitu alasan bang Anwar waktu itu. Sontak saja surat peringatan dari PLN ini membuatku terkejut.
"Bang, jawab dong. Kok diam aja?" cecarku pada bang Anwar.
"Iya nanti aku bayar!" sahutnya sambil mengenakan baju.
"Terus uang arisanku kemarin kamu pakai apa?" aku benar-benar kesal.
Susah payah aku membayar arisan itu, berharap uangnya bisa sedikit aku belikan perhiasan agar tampilanku tak terlalu polos, aku juga ingin bergaya seperti ibu-ibu lainnya. Lihat diriku sekarang? Anting saja tak punya, jadi jangan berharap aku memakai perhiasan lainnya. Seringkali umi menawariku perhiasan yang ia simpan namun selalu aku tolak. Aku juga masih menghargai bang Anwar yang pasti terluka jika melihat aku memakai perhiasan dari orang tuaku sendiri, bukan pemberian darinya.
Namun sekarang, setelah aku melihat kenyataan ini. Rasanya aku sangat menyesal memberikan uang itu pada bang Anwar, andai saja aku egois mempertahankan uang itu, setidaknya aku masih punya perhiasan yang bisa dijual saat keadaan kepepet. Kalau sudah begini? Uang entah ke mana, tak ada bukti. Tagihan pun tetap berjalan.
Kesal, kesal, kesal! Seribu kali rasa kesalku, darahku serasa mendidih "Bang, uangnya ke mana? Jawab yang jujur!"
"Aku pakai ke bengkel." jawab bang Anwar asal saja.
"Ke bengkel? Bukannya terakhir kali kamu ke bengkel sebelum dapat uang arisan? Terus baru ke bengkel lagi berapa hari yang lalu, itu pun cuma karburatornya, kan?" argumenku cukup membuat bang Anwar terdiam.
"Bang, aku butuh jawaban!" sentakku pada bang Anwar yang terus diam.
Bang Anwar berdecak "Nanti saja aku jelasin, aku mau narik!"
Untuk urusan yang menyangkut angkot, aku sering mencatatnya. Terkadang aku juga meminta bukti pembayaran ke bengkel pada bang Anwar karena aku merasa bertanggung jawab juga pada kendaraan pemberian abahku itu. Semacam amanah yang harus aku jaga. Angkot ini dibeli abah sekitar satu setengah tahun yang lalu saat aku dinyatakan positif hamil Ayla dan bang Anwar dalam keadaan menganggur. Pekerjaannya sebagai supir kantor berhenti karena kantornya mengalami gulung tikar, membuat semua karyawan otomatis diberhentikan termasuk bang Anwar.
Abah yang tak tega melihat kondisi ekonomi keluargaku yang carut marut karena suamiku tak punya penghasilan, akhirnya merelakan sawahnya dijual untuk dibelikan angkot agar bang Anwar bisa kembali bekerja. Untung kak Nurul dan suaminya tak protes dan iri, mereka memahami kondisi keluargaku saat itu. Mungkin juga karena gaji suami Kak Nurul yang seorang ASN di instansi pajak sudah lebih cukup sehingga mereka tidak iri sedikitpun pada kami saat abah memberikan angkot itu.
Ditambah kak Nurul pun bekerja sebagai seorang guru walaupun masih honorer tapi tentu saja bisa menambah pundi-pundi keuangan mereka. Hidup kak Nurul memang sangat berkecukupan, berbeda jauh sekali denganku. Kak Nurul memang anak yang penurut sejak kecil, ia habiskan masa sekolahnya di pesantren. Bertemu dengan mas Danar Wijaya, suaminya pun melalui proses ta'aruf, diperkenalkan oleh guru ngaji kak Nurul. Aku tidak iri pada kehidupan kak Nurul tapi aku menyesali masa laluku, andai aku bisa mencontoh kakak kandungku itu, mungkin hidupku lebih baik.
"Jangan suka bilang begitu, Mir. Itu artinya kamu kecewa pada takdir Tuhan, gak baik seperti itu!" begitu ucap kak Nurul setiap aku curhat karena menyesali hidup, menyesali masa laluku.
***
"Listriknya harus kami putus sekarang juga, Bu!" ucap petugas PLN yang datang pagi ini.
"Apa gak bisa kasih waktu, Pak?" aku begitu panik, tak terbayang bagaimana kalau listrik kami sampai dicabut.
"Gak bisa, Bu. Ini sudah nunggak dua bulan." petugas itu ngotot.
"Tunggu sebentar ya, Pak! Saya telpon suami dulu." pintaku mengulur waktu.
Gegas aku ke kamar mengambil hape. Si kembar masih tertidur, sementara Ayla terbangun karena gerak gerikku saat masuk kamar. Aku mencoba menelpon bang Anwar sambil menggendong Ayla yang mulai rewel, biasanya bangun tidur seperti ini, ia memang minta ASI.
Sudah tiga kali panggilan tapi tidak diangkat, aku mulai mendumal. Tidak biasanya ia pergi narik sepagi ini tapi saat dibutuhkan seperti sekarang, dia malah sudah jalan sejak habis shubuh tadi.
"Bu, bagaimana Bu?" seru petugas PLN dari depan, sepertinya ia tidak mau berlama-lama menunggu.
"Saya minta waktu ya, Pak?!" aku memohon seraya memasang wajah penuh kesedihan, nyatanya aku memang sedih membayangkan rumah kami tanpa listrik.
"Bagaimana ya, Bu? Yang ada saya yang ditegur atasan kalau begini," tutur petugas itu tetap bersikeras dengan tugasnya mencabut listrik rumahku.
"Kasih waktu sampai besok, Pak! Kalau sampai besok belum dibayar juga, Bapak bisa datang lagi." aku asal bicara, yang terpenting hari ini listrik rumah kami tidak dicabut.
"Tapi benar besok ya, Bu? Kalau belum dibayar juga, besok saya datang lagi." dengan berat hati petugas itu pun pergi.
Usai petugas PLN itu pergi, aku bingung sendiri. Dari mana aku dapat uang enam ratus ribu hari ini juga? Mengandalkan bang Anwar sepertinya tidak mungkin.
Tak ada pilihan, aku harus ke rumah orang tuaku. Sebenarnya aku malu karena terlalu sering merepotkan mereka, sejak menikah sampai sekarang aku belum bisa memberi kepada mereka walaupun mungkin mereka tidak mengharapkannya tapi sebagai anak, aku pun ingin bisa memberi kepada orang tua. Tapi kenyataannya aku yang masih tergantung pada kedua orang tuaku.
Selesai membereskan rumah dan merapikan ketiga anakku. Segera aku memesan taksi online, sebenarnya uangku tidak cukup untuk ongkos yang sekitar lima puluh ribu ke rumah orang tuaku itu, aku pikir nanti bisa minta umi atau abah bayar.
"Bu, kita bener mau ke rumah Kakek?" tanya Raka yang terlihat senang.
"Iya," jawabku singkat.
Seketika Raka berteriak diikuti Rai yang ikut berloncatan. Mereka memang senang kalau sudah diajak ke rumah kakek dan neneknya karena mereka pasti dimanjakan dengan berbagai makanan dan juga jajanan di sana.
Aku mengirim pesan pada bang Anwar, memberitahu ia bahwa hari ini aku pergi ke rumah abah dan umi. Selesai mengirim pesan, sebuah notifikasi dari aplikasi taksi online muncul. Aku membukanya, seketika hatiku bergetar saat membaca nama dan melihat profil drivernya.
"Apa mungkin dia?" nama dan wajahnya sangat familiar bagiku.
Mobil Avanza hitam dengan plat yang sesuai dengan yang tertera di aplikasi datang, tepat di depan rumahku. Gegas aku menyuruh si kembar masuk terlebih dahulu kemudian aku menyusul, selesai duduk dan menutup pintu, driver taksi tersebut menoleh.
"Mirna? Kamu Mirna Hapsari, kan?"
"Ya Tuhan, ternyata benar dia!"
****