Di sebuah kamar di pelosok masih di kota yang sama.
"Apa rasamu pada Dea masih?" tanya seorang wanita pada pria yang sedang berdiri di depan kaca dan sedang memakaikan gel pada rambutnya. Pria itu masih diam dan tidak ada niat menjawab pertanyaan sang istri yang dia tahu pasti akan menyulut percekcokan dan adu mulut.
"Alex, aku bertanya pada mu!" wanita itu berteriak marah karena suaminya hanya diam, dan yang menurutnya diamnya sang suami adalah jawaban 'iya aku masih memiliki rasa itu'.
"Apa kamu masih ragu padaku, Ras? Kita sudah menikah dan sekarang aku sudah menjadi milik mu," ucap pria yang bernama Alex itu lembut. Bukannya lega namun Laras masih tidak puas akan jawaban Alex, sang suami.
"Selama menikah empat tahun, kenapa kamu tidak pernah mengatakan kalau kamu mencintai diriku?" tanya Laras mengejar, Alex melangkah menuju ranjang di mana Laras, istrinya berada.
"Apa perhatian dan perbuatan yang aku lakukan tidak menunjukkan itu semua? Apa kau mau aku setiap saat mengatakan 'LARAS AKU MENCINTAI DIRIMU' bulsit! Aku bukan Rama yang bisa mengumbar kata cinta namun akhirnya menghiayanati orang yang aku sayang," emosi Alex meluap, lelah setiap hari hanya itu-itu saja yang di bahas.
Apalagi setelah melakukan video call atau bertelepon dengan Dea, wanita itu pasti uring-uringan.
"Tapi aku tidak bodoh!" Laras berteriak, "kau masih sering menatapnya dengan perasaan cinta, kau masih berharap'kan kalau dia menerimamu? Jangan mimpi!" Laras bangkit dan membereskan pakaian yang akan dia bawa.
Alex duduk di tepi ranjang, memperhatikan gerakan demi gerakan yang Laras lakukan.
"Kita sudah menikah, dan kita sudah ada Lea. Apa itu kurang?" Alex berbicara dengan nada lembut.
"Entahlah," Laras kembali sibuk memasukkan baju-bajunya dan milik Alex, "mama," seorang anak perempuan berlari dan menerobos masuk.
Senyum keduanya mengembang saat mendengar suara anak kecil berumur tiga tahun itu, "maaf ibu, bapak. Non Lea nya masuk," ucap seorang perempuan yang memakai pakaian baby sister.
"Mama, kita jadi pegi sama tante Dea 'kan?" tanya antusias seorang gadis kecil yang bernama Lea. Aleana Anggraini, putri pertama dari pasangan Laras dan Alex yang berumur tiga tahun.
"Iya, Sayang," sahut Laras sambil tersenyum setelah menghapus jejak airmatanya dan mengingsut hidungnya.
"Nanti ada om bule juga?" tanya Lea lagi, om bule adalah panggilan kesayangan Lea untuk Abraham.
"Iya, ada sayang," Laras mencium gemas kedua pipi sang putri yang tembem dan montok. Lea menengok kearah Alex, ayahnya yang sedang menunduk. Lea minta turun dari gendongan sang mama, lalu mendekat ke tempat sang papa duduk.
"Pa, besok kalau Lea udah gedhe, Lea mau jadi cantik kaya tante Dea, biar dapet om bule," ucap Lea polos, Laras dan Alex mengernyit bingung.
"Kenapa pengen kaya tante Dea?" bukan Alex yang bertanya tapi Laras, mama dari Lea. Alex turun dan mensejajarkan tubuhnya pada tinggi tubuh anaknya.
"Karena om bule ganteng," jawab Lea polos, namun membuat hati Alex kesal.
"Lebih ganteng dari om Rama," sambung Lea lagi, Lea memang mengenal Rama namun tidak terlalu dekat karena Rama tidak menyukai para sahabat Dea yang menurutnya menyita perhatian sang istri. Oleh karena itu Rama melarang Dea keluar rumah dan hanya boleh keluar jika dia temani.
"Mbak Lilis, pakaian Lea udah siap? Kalau udah masukin ke mobil saja," suara Laras menginterupsi dan membuat seakan jangan lagi membahas Dea.
"Sudah bu, sudah semua," jawab mbak Lilis sang pengasuh yang masih berdiri di depan pintu dan tidak berani beranjak dari sana.
"Ya sudah, biarkan Lea di sini. Mbak istirahat saja dulu, soalnya nanti perjalanan nya jauh," pungkas Laras dan di tanggapi anggukan oleh mbak Lilis, lalu segera pergi dari sana.
Kamar itu terasa ramai oleh celotehan polos dari Lea, dan membuat keduanya seakan lupa akan perbincangan yang membuat debat berkepanjangan dan berakhir dengan kata 'ya sudah'lah aku yang salah, tidak perlu di bahas lagi.
Setengah jam kemudian Laras mengendong Lea menuruni anak tangga dan di belakangnya ada Alex yang sedang berbicara dengan sahabat mereka. Dulu mereka bersahabat yang terdiri dari Dea, Laras, Alex, Sila dan Panca si kembar.
Di halaman rumah Alex sudah terparkir dua buah mobil, masing-masing mobil membawa pasangan.
"Hai Lea cantik," seorang pria berwajah tampan melambai dari jendela mobil menyapa anak sahabatnya, "om Panca!" seru Lea tidak kalah heboh, Alex mendelik kesal.
"Ayo buruan udah keburu sore, tar kita nyampe sana Dea lagi ehem ehem sama si bule lho," Sila mengompori, "memang Dea itu elu, gituan di sembarang tempat," Panca yang tidak terima sahabatnya di jelekkan.
"Ingat, lu udah ada cewek jangan jelajatan," Panca menoleh ternyata Laras yang menghardiknya, "gue tahu, gue setia kok," jawabnya lalu menengok kearah kekasih Panca dan menaik turunkan kedua alisnya.
Laras mendengus sebal, kadang dia berfikir bahwa dia juga tidak kalah cantik dari Dea tetapi kenapa banyak pria lebih menyukai sahabatnya itu.
Jika Laras di tanya, kenapa mau berteman dengan Dea? Jawabnya adalah Dea itu baik, tidak membedakan sahabatnya, apa adanya, cerewet dan konyol namun ngangenin kalau ngga ada. Dulu saat Dea masih kaya raya, Dea sering menraktir Laras. Dari kesemuanya hanya Laras yang berasal dari keluarga tidak mampu namun Dea dengan kekehnya menjalin persahabatan.
Dan di saat orang tua Dea bangkrut karena sikap boros dan foya-foya sang kakak, Dea masih mau berteman dengan dirinya. Mungkin di sini keistimewaan seorang Dea. Dulu walau sering bertengkar dan adu mulut hebat, Dea dulu yang datang dan meminta maaf, sekali pun Dea tidak bersalah.
"Gue heran ama thu anak, ngajak liburan kok ke Jogja, ke Bali kek, ke luar negeri kek," gerutu Sila, "lagian si bule kan kaya raya, masak masih di Indo aja," gerutu Sila kembali karena tidak mendapatkan tanggapan.
"Tante Sila berisik," ucap Lea polos seraya menutup kedua daun telinga nya dengan kedua telapak tangannya yang mungil.
"Awas aja kamu ya, nanti kalau sampai pantai tante uyel-uyel kamu," ujar Sila dengan nada gemas. Namun Lea hanya menjulurkan lidah dan duduk di pangkuan sang mama.
Kemudian suara mesin menyala terdengar, pertanda mereka akan berangkat. Satu persatu mereka meninggalkan halaman rumah Alex.
****
"Rama kamu hari ini ngga ke kantor?" tanya mama Rama yang heran masih melihat Rama mengenalkan pakaian rumah.
"Rama cuti, Ma," sahutnya dengan malas, "kenapa ngga pulang kerumah Raya aja sih?" pertanyaan yang terdengar mengusir di telinga Rama.
"Kenapa emang kalau Rama di sini? Toh ini masih rumah Rama' kan?" tanya Rama antara bingung dan kesal.
"Kasihan si Raya, kamu cuekin terus!" hardik sang mama. Rama hanya mampu menghela nafas dan memilih masuk kembali ke kamarnya.
"Ini adalah waktunya aku sama kamu, De. Tapi kamu malah ngilang, maaf kalau udah bikin kamu kecewa," Rama menatap foto Dea yang berada di dinding kamarnya. Hanya ada foto Dea dan dirinya, tidak ada foto yang lain.
"Aku tidak akan melepaskan kamu sampai kapanpun, walau aku mati sekali'pun. Kamu duniaku, De," jari jempol Rama mengusap foto Dea, lalu bibirnya mengecup foto Dea, melampiaskan rasa cinta dan rindu dan rasa bersalahnya