Zizi tidak menemukan pria itu ketika keluar dari kamar mandi. Seharusnya dia bisa menahan diri untuk tidak berlama-lama berendam di bathtub. Air hangat, aromaterapi, dan bubble bath. Sejenak dia bisa melupakan semua masalah yang dihadapinya sampai-sampai dia lupa waktu. Zizi mengingatkan dirinya untuk segera meminta maaf ketika pria itu datang lagi.
Lama berdiri sambil melamun, Zizi baru menyadari tempat tidurnya telah dirapikan. Tirai jendela terbuka penuh. Lantai kamarnya bersih. Pandangannya terus berkeliling sambil memikirkan rencana apa yang akan dilakukannya seharian ini. Zizi kemudian membuka pintu kamar dan melongok ke luar. Lorong putih itu sepi. Dia menutup pintu lagi, khawatir pria itu akan marah jika menemukannya keluar kamar.
Zizi memberanikan diri membuka pintu lemari satu persatu. Beberapa dipenuhi pakaian perempuan. Sisanya masih kosong. Siapapun pemiliknya, perempuan itu memiliki ukuran tubuh yang sama dengannya. Dia menebak perempuan itu saudara pria itu atau mungkin kekasihnya atau mungkin istrinya. Pria kaya dengan wajah setampan itu tidak mungkin hidup sendirian. Zizi mendengar hembusan keras napasnya. Dia kecewa? Dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Zizi menutup pintu lemari di depannya lalu berjalan ke depan meja hias. Tangannya membuka laci dan menemukan banyak peralatan make up. Zizi mengenal semua merknya. Aneh sekali menemukan merk kecantikan pasaran yang biasa dipakainya berada di laci perempuan kekasih atau istri pria kaya itu. Deg. Zizi meraih satu produk dan membukanya. Masih baru. Dia membuka beberapa produk lainnya. Semuanya belum pernah dipakai seakan-akan khusus dibeli untuknya. Zizi berlari menuju lemari dan meraih satu baju secara acak. Dia menciuminya. Harum, tapi tidak berbau pakaian baru. Zizi menggeleng. Dia terlalu banyak berfantasi. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa lalu menutup mata.
Lagi-lagi Zizi merasa bosan. Tidak ada yang bisa dilakukan di kamar ini selain tidur dan melamun. Dia telah puas tidur dan juga puas melamun. Zizi membuka pintu kamarnya dan menelusuri lorong. Niatnya bukan kabur karena rasanya itu sulit dia lakukan dan tentu saja kalau sampai ketahuan bisa-bisa menyulut kemarahan pria itu. Zizi bergidik membayangkan kemungkinan-kemungkinan hukuman yang akan diterimanya jika sampai berbuat senekat itu. Zizi terus melangkah. Rumah ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun yang dilihatnya, bahkan dia tidak mendengar suara apapun kecuali langkah kakinya sendiri serta tarikan dan hembusan napasnya.
Rumah ini sangat luas. Dia baru berjalan-jalan di satu lantai dan menemukan banyak ruangan kosong yang pintunya dibiarkan terbuka serta ruangan tempat pria itu menunggunya semalam. Zizi baru menyadari dia tersesat ketika tidak bisa kembali ke kamar. Dia telah melewati satu tempat berkali-kali. Dia mulai kebingungan. Dadanya berdetak kencang. Dia berusaha lagi menelusuri lorong di depannya, mengambil arah yang seingatnya tidak pernah dia ambil meski dia tidak yakin karena ukuran dan tampilan semua lorong hampir sama. Zizi berhenti ketika melihat ujung lorong yang tertutup tembok. Napasnya memburu, tubuhnya menggigil, dan kakinya melemas. Zizi diserang ketakutan menyadari dirinya benar-benar tersesat dan tidak tahu bagaimana caranya meminta pertolongan.
Tiba-tiba dia merasakan sentuhan di pundaknya. Zizi berteriak kaget sambil melompat ketakutan. Pria itu berdiri di belakangnya dengan kehadiran menyerupai hantu. Bibir pria itu tersenyum tipis dengan pandangan menyapu wajahnya. Zizi menyentuh dadanya, tempat jantungnya yang hampir saja copot.
"Mau kemana?" tanyanya sambil melangkah mendekat.
Zizi berjalan mundur sambil menatap wajahnya. Dengan penerangan cahaya dari luar yang tidak masuk sepenuhnya ke dalam lorong karena terhalang tirai, wajah tampannya terlihat dingin dan menyeramkan. Bagaimana kalau pria itu mengira dia mencoba kabur?
Tangan pria itu telah berhasil menyentuh lengannya.
"Mau kemana?" tanyanya lagi.
Zizi tidak bisa mundur karena tertahan cengkeraman kuat tangannya. Satu hentakan dan tubuhnya tertarik ke dalam pelukannya.
Pria itu berbisik lebih pelan di depan wajahnya dengan pertanyaan yang sama, "mau kemana?"
Aroma napasnya yang segar terasa hingga di pangkal tenggorokannya. Zizi merasa tubuhnya kembali menggigil menyadari tubuhnya berada dalam pelukan hangat pria itu dan wajah mereka yang sangat dekat hingga dia merasakan hembusan napasnya di wajahnya. Pria itu perlahan mendekatkan wajahnya. Zizi tidak bisa melakukan penolakan ketika bibir mereka menyatu. Pria itu menghisap bibirnya dengan lembut kemudian menekannya lagi dan menghisapnya lagi.
"Bibirmu manis," desah pria itu yang membuat tubuhnya semakin menggigil.
"Baumu harum," katanya lagi sambil mencium rambutnya dan turun hingga ke lehernya, menciumi kulitnya.
Zizi berhasil berbicara dengan terbata-bata, "kumohon hentikan."
Pria itu menarik wajahnya.
"Apa?" tanyanya pelan namun terdengar tajam.
Matanya berkilat-kilat. Zizi semakin takut.
"APA?!" Teriaknya memaksa sambil mencengkeram rahangnya.
Pria itu marah.
"Kumohon hentikan," ulang Zizi dengan suara bergetar yang hampir tidak terdengar meski dia sudah berusaha.
Pria itu tersenyum sinis dan mencium bibirnya lagi. Zizi hanya bisa menangis sebagai bentuk penolakan yang terakhir. Pria itu menghentikan ciumannya. Matanya menyapu wajahnya lalu tangannya terangkat menyeka air matanya. Zizi menarik kepalanya, menolaknya, namun tidak bisa menghentikan jemari pria itu yang berusaha menghapus air matanya yang terus mengalir dan mengalir semakin deras. Mengapa hidupnya jadi seperti ini? Zizi tidak tahu kapan ini berakhir dan apa yang akan dialaminya setelah ini. Masa depannya semakin gelap dilihatnya saat ini. Pria itu kemudian merangkulnya, memeluk tubuhnya erat.
"Jangan takut. Aku tidak akan melukaimu," bisiknya sambil mengelus rambutnya.
Bagaimana bisa dia tidak takut padanya? Ucapannya adalah sebuah kebohongan yang nyata.
"Jangan menangis. Tadi itu aku hanya bercanda," perintahnya diikuti sebuah pengakuan yang juga sulit dipercaya.
Pria itu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup wajahnya yang basah dengan air mata.
Pria itu kembali berbisik, "aku tidak sejahat yang kamu pikirkan. Semalam itu kecelakaan. Juga tadi pagi dan barusan."
Raut wajahnya terlihat jujur. Pria itu menghela napas lalu mencium keningnya. Hidungnya perlahan turun menelusuri tulang hidungnya dan berhenti di ujungnya dengan kening yang menyatu. Gerakan itu bersamaan dengan tangan pria itu yang bergerak ke belakang leher dan satu lagi di pinggangnya.
"Aku tidak akan memaksamu percaya," gumam pria itu sambil menyelami iris matanya.
Bulu mata pria itu hampir menyentuh miliknya saking dekatnya. Posisi ini bertahan beberapa menit. Perlahan rasa takutnya menghilang digantikan rasa lain, sebuah gelombang yang sangat kuat dan mendebarkan dada. Mungkin pria itu juga merasakan hal yang sama karena bibirnya kembali menciumnya dengan intens dan panas.
"Ini yang terakhir," kata pria itu terdengar seperti sebuah janji namun lagi-lagi sulit dipercaya.
Bibir pria itu tersenyum dan tangannya mencubit pipinya dengan gemas lalu diakhiri dengan mengelus ubun-ubunnya. Zizi menatapnya dengan mata melebar. Cepat sekali perubahan sikapnya.