Andres memandangi sambil mengelus dengan punggung jemarinya wajah gadisnya yang tertidur pulas. Bella yang biasanya akan terbangun dengan sedikit saja sentuhan, kini diam saja seperti putri tidur.
Andres menyentuh lembut kulit dahinya dengan bibirnya lalu berbisik, "te quiero. Te quiero. [Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.]"
Andres mengecup dahi gadisnya lagi, memandangi wajahnya, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia menyadari fakta ke sebelas bahwa dia tidak akan pernah merasa puas dengannya. Dia bisa menghabiskan waktunya hanya dengan memandangi gadisnya, hanya dengan menciuminya, hanya dengan memeluknya, hanya tenggelam dalam pelukannya. Waktu bersamanya mengalir begitu saja. Dia bisa lupa diri, bisa lupa waktu. Dia bisa lupa segalanya.
Andres mengambil handphone pribadinya dan membawanya ke kamar mandi. Dia bersandar di sofa sambil mengetik 'aku sekarat'. Senyum miringnya terukir setelah pesan itu terkirim. Dia tidak bisa berlama-lama memendam amarah pada Dika. Hidupnya terbiasa dengan kehadiran sahabatnya. Dia merasakan kemunculan ruang yang kosong dalam dirinya setelah memblokir nomornya. Pagi ini dia terbangun dengan kondisi tubuh yang jauh lebih sehat begitu pula dengan perasaan dan pikirannya.
Andres tahu bahwa dia selalu mengambil keputusan yang salah ketika marah dan tertekan. Selama beberapa tahun ini dia berangsur-angsur dapat mengontrol emosinya. Sejak Bella datang dalam hidupnya, dia kehilangan kontrolnya. Andres tidak mau menyalahkan gadis itu. Dia sendiri yang memutuskannya datang. Andres tidak menyesal. Itu bukan sebuah kesalahan. Itu adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, mungkin dia salah memilih caranya. Andres tidak sekalipun menyesalinya. Lagi-lagi dia yakin gara-gara itulah gadis itu akhirnya mencintainya begitu pula dengan dirinya.
Cinta memang sulit ditebak. Bella bukan tipenya. Tidak semua kriteria gadis impiannya ada di gadis itu. Dia memiliki rambut coklat lurus yang panjang. Andres memimpikan seorang gadis berambut hitam keriting yang pendek. Pipinya tirus. Andres menyukai gadis berpipi chubby. Namun mata gadis itu adalah mimpinya. Mata bulat dengan iris hitam yang gelap. Hitam, bukan coklat tua. Sudah saatnya Andres melupakan anak kecil itu. Dia sudah melupakannya, dia sudah sering melupakannya. Tapi, sejak melihat wajah Bella di foto yang diberikan ayahnya, mata Bella mengingatkannya lagi. Dia teringat pada cinta pertamanya.
Hari itu hari terakhirnya liburan di Surabaya, liburan terakhirnya di Indonesia sebelum pindah ke kampung halaman papanya di Spanyol seminggu kemudian dari rumahnya di Bali. Saat itu dia berumur delapan tahun. Pagi itu orang tuanya pergi ke pantai Kenjeran. Andres kecil dilarang ikut berenang karena semalaman badannya panas setelah kecapaian tiga hari berturut-turut mendatangi hampir semua tempat wisata di Surabaya dan mendengarkan cerita mamanya tentang perjuangan kemerdekaan. Andres kecil yang memakai topi dan ransel berjalan mengitari garis pantai. Sesekali dia berhenti untuk mengambil kerang, melihatnya lebih dekat, mengaguminya, lalu menaruhnya di tempat semula. Ayahnya, si pecinta pantai, melarangnya mengambil apapun di pantai.
Andres kecil melihat anak kecil perempuan yang berjalan sendirian. Dari jauh dia bisa melihat anak kecil itu menangis. Andres mendekatinya. Anak kecil itu terlihat mencari sesuatu. Andres menutup jalannya. Matanya membulat melihatnya.
Andres kecil tersenyum dan menyapanya, "hai, adik kecil. Siapa namamu?"
Anak kecil itu tidak menjawab. Air matanya terus mengalir. Andres berlutut agar anak kecil itu tidak perlu menengadah memandangnya.
Dia bertanya lagi, "kamu sama siapa ke sini?"
Anak kecil itu tidak menjawab, tidak menggeleng, tidak pula mengangguk. Anak kecil itu diam memandangnya, menatap matanya. Aliran air matanya tidak sederas tadi.
"Kamu bisa bicara?" Tanya Andres kecil pelan-pelan.
Anak kecil itu mengangguk.
"Kamu takut?" Tanyanya lagi dengan hati-hati.
Anak kecil itu mengangguk lagi. Air matanya kembali mengalir deras, tapi tidak terdengar suara tangisnya. Andres kecil membuka tas ransel kecilnya. Tangannya merogoh ke dalamnya. Setelah menemukan figure Doraemonnya, dia mengeluarkannya. Andres kecil menarik satu tangan anak kecil itu dan menaruh figure Doraemon di atas telapak tangan mungilnya. Itu adalah action figur favoritnya yang dibelikan pamannya, adik ayahnya, langsung di Jepang. Pamannya memberinya hadiah satu set action figur tokoh-tokoh dalam serial Doraeman sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 8. Andres kecil selalu membawanya kemanapun dia pergi. Dia takut seseorang akan mencurinya. Anak kecil itu terlihat takjub.
"Ayo kita minta tolong Doraemon agar mengeluarkan pintu kemana saja!" Andres kecil menyuarakan imaginasinya.
"Benelan?" Anak kecil itu bersuara.
Andres kecil tersenyum.
"Iya, tentu saja! Tapi ada syaratnya."
"Apa?" Anak kecil itu berbicara lagi.
"Kamu tidak boleh menangis."
Andres melihatnya mengusap air matanya dengan punggung lengannya yang bebas. Mata bulat berwarna hitam itu memandangnya dengan senyum mengembang. Bibir merah mudanya tertarik dan terbuka, menunjukkan gigi susunya yang masih berderet lengkap. Pipi tembemnya membulat dan rambut hitam keriting pendeknya melambai-lambai tertiup angin.
Andres menghela napas. Dia mencintai Bella, tapi di dasar hatinya dia belum bisa melupakan cinta pertamanya. Andres memejamkan matanya. Dia sudah mencari anak kecil itu. Dia pindah ke Indonesia dan memilih tinggal di kota Surabaya dengan harapan bisa bertemu dengan anak kecil itu lagi. Dia yakin dia akan langsung mengenalinya ketika mereka bertemu. Sudah delapan tahun dia di sini, tidak sekalipun dia bertemu dengannya. Andres sering kembali ke pantai itu, tapi tidak juga bertemu dengannya. Dia kadang melihat gadis berambut keriting yang sekiranya seumuran anak kecil itu sekarang. Andres akan mengejarnya, lalu kecewa setelah melihat mata, bibir, hidung, dan pipinya berbeda. Satu-satunya orang yang mengingatkannya pada anak kecil itu Bella. Itupun hanya mata bulat hitamnya.
Andres sudah berusaha melupakan cinta pertamanya agar bisa mencintai Bella dengan sepenuh hatinya. Di saat sendirian, dia tidak bisa. Hanya ketika bersama Bella, dia bisa. Dia bahkan bisa melupakan semuanya. Andres tersenyum. Bella memberinya dosis terlalu banyak. Sekarang dia merindukannya. Dia merindukan gadis yang hanya terpisah 20 meter darinya, yang baru 20 menit yang lalu diciumnya.
***
Dika sudah menghubungi Mustar berkali-kali sejak keluar dari kamar Nadia, tapi tidak satupun panggilannya diterima. Dika membuka kamarnya, berlari lagi ke dalam untuk mengambil tas medis dan kunci mobilnya, lalu berlari pergi. Dia tidak bisa berpikir. Dia bingung apakah harus membawa tim medis atau pergi sendiri. Dia tidak punya banyak waktu untuk mengumpulkan orang-orang yang bisa dibawa ke luar dan mempersiapkan semua alat dan obat yang dibutuhkan. Dia memberitahu dirinya bahwa ini mungkin akan menjadi program layanan terbaru di rumah sakit orang tuanya. Dika berharap Andres masih bisa diselamatkan. Dia akan langsung membawanya ke rumah sakit.
Dika menelpon staf keamanan lain di rumah Andres yang dikenalnya. Panggilannya diangkat, tapi laki-laki itu tidak tahu menahu keadaannya. Dia mengaku telah dipecat karena mengijinkan teman-temannya masuk semalam. Dika memukul kemudi mobilnya. Dia telah menstarter mobilnya ketika bunyi notifikasi chat WA di dengarnya.
'Lama sekali. Senang aku mati?'
Dika mengumpat. Dia mengeluarkan sumpah serapah sambil memukul-mukul kemudi mobilnya. Dia lalu menelpon pria itu.
"Halo, sudah sarapan? Aku sedang memasak sarapan favoritmu." Jawab pria itu panjang, tidak memberinya waktu menjawab salamnya.
"Andres," panggil Dika.
"Jangan minta maaf. Datang saja. Aku sudah melupakan yang semalam. Tidak perlu berterima kasih."
"Iya, aku sudah di mobil. Aku akan ke sana. Aku menyayangimu."
Dika mendengar tawa Andres.
"Aku juga menyayangimu."
Dika menghela napas panjang. Dia merasa lega. Sangat lega. Hidupnya tidak jadi ambruk. Masih berdiri kokoh. Meski beberapa bagian runtuh dan berlubang. Dika memegang kemudi berniat jalan, namun dia segera mematikan mesin mobilnya. Dia keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju lift. Dia sudah berada di depan pintu kamar Nadia dalam hitungan menit.
Gadis itu segera menoleh ke arahnya begitu pintu dibuka. Dia melihatnya dengan tatapan was-was. Dika tersenyum lebar sehingga gadis itu ikut tersenyum.
"Katakan," pinta gadis itu.
Dika meraih tangan gadis itu dan menaruhnya di dadanya.
"Andres memaafkanku. Dia baik-baik saja. Dia sedang memasak sekarang. Dia menyuruhku datang untuk sarapan bersamanya."
Dika mengambil jeda untuk menarik napas panjang.
"Mengapa kamu masih di sini?" Tanya gadis itu masih dengan senyumnya.
Dika menarik tangannya dari dadanya dan menciumnya. Gadis itu diam saja melihatnya.
"Aku tidak mau kamu mengkhawatirkanku."
Gadis itu tersenyum lagi. Ternyata benar dia mengkhawatirnya. Dika menatap wajahnya lebih lekat.
"Pergilah! Andres sudah menunggumu."
"Iya." Jawabnya.
"Dika!"
Gadis itu berteriak setelah beberapa lama. Dia tidak sadar masih memandanginya dan belum bergerak pergi. Dika mencium tangannya lagi lalu menaruhnya di sisinya lagi.
"Aku ingin menciummu." Katanya, memberi tahu gadis itu.
"Tidak!"
Dika tertawa lalu berbalik untuk berjalan ke luar. Dia berharap gadis itu akan memanggilnya dan mengabulkan permintaannya. Tidak ada suara yang didengarnya. Dia melihatnya masih memandang ke arahnya dengan seulas senyum di bibirnya sebelum pintunya ditutup. Mungkin lain waktu.
Aku patah hati begitu tahu Andres mencintai orang lain selain Zizi hikss