webnovel

Gosip Nyinyir

Lydia berhasil beradaptasi dengan cukup baik di hari keduanya menjabat sebagai asisten seorang Reino Andersen. Rapat pertama Lydia juga berlangsung dengan sangat baik, tanpa ada masalah sama sekali.

Atau lebih tepatnya hanya ada satu masalah. Reino tidak berhenti meliriknya.

Kelakuan Reino itu jelas membuat Lydia yang duduk agak jauh di sebelah kanan bosnya itu merasa risih. Siapa juga sih yang tidak risih dilirik terus?

Untungnya seharian ini Polar Bear sialan itu tidak melakukan hal-hal yang aneh. Hanya menatap dirinya. Saking intensnya tatapan itu, Lydia yakin kalau Reino tidak berkedip sama sekali.

Namun masalah tidak selalu datang dari Reino, tapi juga seluruh kantor. Terutama setelah kejadian tadi pagi di lobi. Thalita adalah orang pertama yang mencari masalah dengan Lydia.

“Kudengan kau banyak utang?” tanya Thalita dengan mata menatap Lydia dengan pandangan menghina, ketika wanita itu keluar dari ruangan Reino untuk ke toilet.

“Karena itu ya kamu jual diri ke Pak Reino?”

Lydia tidak langsung membalas dan hanya menghembuskan napas lelah. Dia sedang tidak ingin berdebat karena sedang lelah. Lelah karena beban kerjaan yang ternyata lumayan banyak dan karena Reino yang terus menatapnya. Tapi rupanya Thalita terus memprovokasi.

“Apa sih yang dilihat Pak Reino dari wanita murahan sepertimu? Lekukan saja tidak ada.”

“Masih mending juga kali gak ada lekukan daripada yang banyak lekukan tapi murahan. Murahan karena dipamer ke mana-mana, sampai semua orang bisa melihat dengan gratis,” balas Lydia kesal sekali.

“Kau.” Thalita yang tadinya duduk kini berdiri dan menunjuki wajah Lydia.

“Terserah kamu mau menggosipiku seperti apa, tapi yang jelas orang punya mata mana yang murah dan yang tidak.” Lydia menatap Thalita dari atas sampai bawah, kemudian berdecih cukup keras.

“Perempuan seksi gak selamanya nakal dan perempuan sok alim sepertimu gak selamanya benar-benar alim. Aku yakin kau lebih murahan dariku.”

“Sudah kubilang aku tidak peduli omonganmu. Selama aku tidak melakukan hal yang salah aku tidak peduli,” balas Lydia sebelum melangkah pergi ke toilet. Dan itu membuat Thalita geram setengah mati.

Niatnya sih Lydia akan terus mengabaikan Thalita. Namun ternyata selain sekretaris Reino itu, masih banyak orang lain yang mulai menganggapnya murahan.

“Lyd, itu beneran gosipnya?” tanya Kiara yang kini semeja dengan Lydia di kantin.

“Gosip apaan?”

“Tapi kamu jangan marah kalau dengar ya,” pinta Kiara terlihat sedikit ragu.

“Soal aku didatangi rentenir ya?” Lydia balas bertanya.

“Eh, jadi itu bener ya?” pekik Kiara cukup terkejut. “Apa gosip lanjutannya juga benar?”

“Kamu jangan aneh-aneh deh, Ra. Mana mungkin Lydia begitu,” pungkas Revan yang sedari tadi hanya menyimak saja.

“Apa memangnya? Ada yang bilang kalau aku jual diri ke Pak Reino untuk nutupin utang ya?”

“Apa itu benar?” tanya Revan dengan mata melebar.

Lydia langsung mendengkus mendengar pertanyaan Revan. Padahal tadi dia hanya asal ngomong saja, tapi tidak tahunya benar. Dan kalau sampai terbukti Thalita yang menyebar gosip tak bermutu ini, Lydia bersumpah akan menggilasnya.

“Terserah kalian mau percaya atau tidak, tapi itu hanya gosip tidak berdasar,” jawab Lydia tenang saja.

“Keluargaku memang punya utang pada rentenir, tapi aku tidak menjual tubuhku,” tambah Lydia dengan suara agak keras.

Lydia sengaja mengeraskan suaranya karena setelah diperhatikan baik-baik, rupanya ada beberapa orang yang memasang kuping di sekitarnya.

Yah, walau mungkin tidak semua orang yang akan percaya pada omongannya, tapi yang penting Lydia sudah membela diri. Dan lagipula dia memang tidak jual diri, jadi untuk apa merasa tersinggung?

Namun tentu semuanya tak semudah itu. Rasanya setiap Lydia berpapasan dengan seseorang atau sekelompok orang, dia masih bisa mendengar bisikan mereka.

“Gak nyangka ya. Padahal kelihatannya anak baik-baik.”

“Padahal rata begitu, kok bisa bos mau?”

“Pantasan bisa tiba-tiba jadi asisten, Pak Reino.”

Kalimat terakhir itu Lydia dengar dari mulut Pak Trisno. Mantan supervisornya dulu di divisi keuangan. Lelaki nyinyir yang entah kenapa tidak menyukai dirinya.

Diperlakukan seperti itu selama setahun belakangan membuat Lydia jengah. Dia tidak lagi bisa diam karena sudah lelah untuk diam selama setahun ini.

“Maaf, Pak. Apa anda merasa tersaingi karena saya tiba-tiba dekat dengan Pak Reino?” tanya Lydia cukup keras, agar bisa didengar Pak Trisno yang sudah berlalu.

“Kamu bicara sama saya?” tanya Pak Trisno menunjuk dirinya sendiri.

“Oh, artinya memang Bapak merasa tersaingi,” jawab Lydia dengan senyum mengembang.

“Kau.” Pak Trisno menunjuki Lydia dengan wajah memerah marah, tapi Lydia justru berbalik pergi.

Lydia masih bisa mendenga Pak Trisno menyebutnya sebagai perempuan murahan, tapi dia sama sekali tidak menggubrisnya. Tapi rupanya, Revan yang tadi mendengar itu tidak terima.

“Pak, tolong...”

Lydia sudah menahan tangan lelaki itu dan menggeleng pelan. Dia tidak ingin Revan jadi kena masalah hanya karena menolongnya.

“Tapi dia ngehina kamu lho, Lyd,” protes Revan tidak terima.

“Dari tadi juga banyak yang menghinaku,” jawab Lydia terlihat tenang.

“Ya kali, Lyd. Mereka gak menghinamu sejelas Pak Trisno tadi, dia memang keterlaluan,” Kiara ikut protes.

“Sudahlah, biarkan saja dia. Nanti kalian bisa kena masalah kalau ajak dia ribut.”

Yang dikatakan Lydia memang benar. Tidak ada gunanya cari gara-gara dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi, lagipula Pak Trisno juga sudah agak jauh.

Lydia pribadi sih tidak mau ambil pusing. Dia tidak bisa menutup mulut semua orang, jadi yang bisa dilakukannya hanyalah menutup telinga. Selain itu Lydia juga masih punya masalah lain yang harus diurusnya. Masalah utang ratusan juta.

“Apa yang harus kulakuan,” gumam Lydia membenturkan kepalanya ke meja kerja.

“Apa yang kau lakukan?” teriak Reino yang baru masuk ke ruangannya setelah makan di luar.

“Oh. Maaf, Pak.” Lydia segera berdiri untuk menyambut bosnya itu.

“Eh, kenapa ada cewek di ruanganmu sih Babe?”

Lydia tertegun melihat ada perempuan seksi yang mengekori Reino masuk ke ruangan. Pasalnya, pria itu tidak pernah membawa perempuan dari luar ke kantor. Setidaknya itu yang beredar di antara orang kantor.

Disisi lain, Reino tidak menjawab pertanyaan perempuan itu. Dia hanya melotot dengan ekspresi tak suka. Tentunya tak suka dengan panggilan manja perempuan itu.

“Sorry,” seru perempuan tadi dengan wajah memelas.

Polar Bear masih tidak berbicara. Dia mengalihkan tatapannya pada Lydia hanya hanya berkedip pelan. Niatannya sih dia ingin memperlihatkan pada Lydia kalau dia bisa mendapat perempuan lain dengan mudah, tapi itu tentu tidak berpengaruh pada Lydia.

“Oh. Maaf.” Lydia buru-buru merapikan mejanya.

“Saya akan keluar dan kembali 30 menit lagi. Itu cukup kan, Pak? Soalnya kita masih ada rapat sejam ke depan,” tanya Lydia dengan polosnya.

***To Be Continued***