webnovel

Eternal Kindness - Princess Giania And The Witch From The Past

Giania merupakan Putri Raja yang kabur dari Istana karena menginginkan kebebasan sekaligus ingin memperdalam ilmu sihirnya. Dalam pelariannya, tanpa sengaja dia bertemu dengan seorang pria misterius yang memiliki kekuatan luar biasa. Pria yang tampan, dingin, kejam, namun menyimpan berjuta misteri yang membuat Giania penasaran. Awalnya, dia meminta pria itu untuk menjadi pengawalnya selama berpetualang, namun siapa sangka perasaan cinta perlahan mulai tumbuh di hatinya pada pria asing tersebut. Lalu bagaimanakah nasib percintaan Giania sedangkan sang pujaan hati selalu bersikap dingin padanya? Berhasilkah dia meluluhkan hati pria itu serta mengungkap misteri tentangnya? Ikuti terus petualangan Giania dan si pria tampan misterius yang penuh dengan misteri, kejadian horor yang membuat mereka harus berhadapan dengan banyak penyihir ilmu hitam yang jahat.

Ellakor · Fantasia
Classificações insuficientes
329 Chs

KUTUKAN PART 4

Kakek itu menggeram marah sembari menatap nyalang sosok Zero yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya dari arah belakang. "Siapa kau? Berani sekali menggangguku?!" Suara sang kakek menggelegar kencang untuk mengungkapkan kemarahan yang tengah memuncak di dalam dirinya.

Namun Zero menanggapinya dengan begitu santai, dia tersenyum miring sebelum suaranya mengalun, "Lepaskan nona itu."

"Apa kau pikir aku akan menuruti perkataanmu begitu saja? Hahahaha ... Dasar bodoooooooh!!"

Bersamaan dengan teriakan kencang kakek itu, bayangan-bayangan hitam berjubah keluar dari tubuhnya. Lalu mereka menyerang Zero. Zero terus melompat menghindari serangan dari bayangan-bayangan tersebut. Mereka bayangan yang sama persis dengan yang menghisap hawa kehidupan penduduk desa setiap malam.

Sesekali aku melihat Zero melemparkan sesuatu ke arah bayangan-bayangan itu sehingga satu persatu dari bayangan itu mulai menghilang. Namun jumlah bayangan itu cukup banyak membuat Zero tampak kesulitan menghindari mereka.

Saat kuperhatikan dengan seksama, ada perbedaan yang begitu mecolok dari bayangan-bayangan berjubah yang kini sedang dihadapi Zero. Mereka bukan bayangan transparan yang aku lihat di rumah penduduk desa, melainkan bayangan hitam dan mampu melakukan serangan seperti memukul. Meskipun gerakan Zero sangat cepat, tapi aku melihat beberapa kali Zero terkena pukulan bayangan-bayangan itu.

Wajah Zero yang selalu terlihat santai itu kini sangat berbeda. Wajahnya terlihat sangat serius, dia menghentikan gerakannya. Tatapan matanya sangat tajam dan menatap lurus ke arah bayangan-bayangan itu. Bibir Zero terlihat bergerak, entah apa yang sedang dia ucapkan.

Aku yakin ini bukanlah sebuah halusinasi, satu persatu bayangan yang ditatap oleh Zero menghilang. Hingga kemudian semua bayangan itu akhirnya menghilang. Sebenarnya apa yang dilakukan Zero pada mereka? Pertanyaan ini begitu mengganjal di hatiku, ingin kutanyakan pada Zero tapi aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya.

Si kakek tua terlihat murka, kini dia melakukan serangan tanpa menggunakan bayangan-bayangan itu lagi. Meskipun kakek itu sudah sangat tua, tapi tidak dapat dipungkiri gerakannya sangat cepat hingga sulit rasanya untuk mengikuti gerakannya dengan mata telanjang. Berulang kali dia mampu membuat Zero terdesak. Tongkat kakek itu bahkan berkali-kali berhasil melukai tubuh Zero.

Pertarungan di antara mereka sangat sengit. Mereka berdua memiliki kekuatan yang amat besar. Kakek itu terus menyerang Zero dari jarak dekat, tampaknya Zero cukup kewalahan. Zero melompat untuk sedikit membuat jarak dengan kakek itu. Zero membungkuk lalu dia menggenggam sesuatu. Jika aku tidak salah lihat, aku yakin dia menggenggam tanah di dekat kakinya.

Kakek itu kembali menyerang Zero dari jarak dekat. Yang dilakukan oleh Zero hanyalah menghindari serangan si kakek. Dia sama sekali tidak balas menyerang, membuatku sangat gugup dan panik melihatnya. Aku sangat takut, Zero akan mengalami kekalahan.

"Wuaaaaaaaaaaaaaaaa!!"

Sebuah teriakan kencang tiba-tiba terdengar. Suara teriakan itu berasal dari si penyihir jahat. Dia merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi, namun akhirnya aku mengetahui penyebab kakek itu berteriak ketika aku melihat kepala kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Sesuatu berwarna hitam menempel pada kepala sang kakek. Benda hitam itu, aku yakin merupakan tanah yang sejak tadi digenggam oleh Zero. Yang membuatku merasa heran, tanah itu mengeluarkan asap seakan-akan tanah itu sangat panas. Jika melihat kulit kepala kakek itu yang melepuh, aku semakin yakin bahwa tanah yang digenggam Zero itu memang menjadi sangat panas.

Selama ini aku selalu heran dengan kekuatan Zero. Semua benda yang dia genggam mampu berubah menjadi senjata yang mengerikan. Aku masih mengingatnya dengan jelas ketika sehelai daun layu bisa menjadi tajam bagaikan pisau. Kini tanah itu berubah menjadi lahar yang sangat panas. Aku semakin mengagumi kekuatan Zero yang luar biasa tersebut.

"Tidak akan kumaafkan. Beraninya kau melukaiuuuuuuuuuuuuu!!!"

Kakek itu kembali meneriakkan kemurkaannya karena tampaknya dia masih belum menyerah menghadapi Zero meski dia tahu kekuatan Zero sangat luar biasa. Si penyihir jahat tampaknya sedang melafalkan sebuah ayat hina karena bibirnya tiada henti berkomat-kamit. Lalu tiba-tiba tubuhnya diselimuti cahaya berwarna hitam pekat dan seketika itu juga sang kakek menjadi semakin kuat. Meskipun dia sudah renta tapi kekuatannya yang luar biasa membuatnya dengan mudah memukuli Zero dengan bertubi-tubi. Gerakan kakek itu lebih cepat dibanding sebelumnya, sehingga Zero tidak memiliki kesempatan untuk menghindarinya.

Kakek itu berhasil memojokkan Zero hingga Zero tumbang ke tanah dalam kondisi terlentang. Memanfaatkan kondisi Zero yang sudah terpojok, si kakek menindih tubuh Zero kemudian dengan kejamnya dia mencekik leher Zero dengan menggunakan kedua tangannya yang mencengkeram erat leher Zero seolah-olah berniat mematahkan tulang leher Zero. Kedua matanya memelotot seolah kapan pun bisa menggelinding keluar dari kelopaknya disertai tawa puas penuh kemenangan yang terus keluar dari mulutnya.

"Matiiiii kauuuuuu ... Matiiiiiiiii!!!"

Aku yakin Zero sedang kesulitan bernafas saat ini, tidak mungkin aku hanya berdiam diri menyaksikan kejadian ini. Zero datang ke tempat ini untuk menyelamatkanku. Tidak akan aku biarkan dia kehilangan nyawanya karena aku.

Meskipun aku masih merasakan kekakuan pada tubuh dan mulutku. Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang kumiliki, aku mencoba berontak. Aku membuka mulut dan dengan kencang meneriakkan ayat hina yang aku pelajari secara diam-diam saat aku masih tinggal di istana.

"Like fire the wind blow with anger... the evil sleep the evil wake the evil laugh."

Angin berhembus dengan sangat kencang. Entah ini hanya perasaanku saja atau sebuah kenyataan, aku merasakan angin ini berhembus lebih kencang dari biasanya. Mungkinkah kekuatan ini muncul karena keinginankuatku untuk menyelamatkan Zero?

Sepertinya ayat hina ini berhasil mengalihkan perhatian kakek itu. Dia melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Zero dan berusaha melindungi dirinya dari angin kencang yang terus berhembus ke arahnya. Sekali lagi aku mengakui bahwa kakek itu memang penyihir yang kuat, karena jika dia manusia biasa, aku yakin tubuhnya sudah terlempar sama seperti prajurit Ivan yang mengejarku dulu.

Aku tidak tahu sampai kapan angin yang berhembus kencang ini mampu bertahan. Aku tidak henti-hentinya berharap di dalam hatiku agar Zero melakukan serangan untuk mengalahkan kakek itu di saat perhatiaannya teralihkan seperti ini.

Kelegaan yang tiada tara aku rasakan ketika harapanku ini terkabul. Aku melihat Zero kembali bangkit berdiri dan dengan menggunakan tangan kanannya, dia menusuk perut kakek tua itu. Zero terus menusukkan tangannya semakin dalam sehingga aku melihat tangan Zero menembus keluar dari punggung si kakek. Bagiku ini merupakan pemandangan yang sangat mengerikan sehingga refleks teriakanku meluncur mulus tanpa kehendakku, "Aaaaaakh ... Apa yang kau lakukan Zero?! Kenapa kau membunuhnya?!"

Zero sama sekali tidak memedulikan perkataanku. Dengan kejamnya dia menarik keluar tangannya yang menancap di perut kakek itu. Darah menyembur dari mulut si kakek, kemudian dia pun tumbang menimpa tubuh Zero.

"K ... Kau ... Bu ... Kan ... Ma ...!!"

Bruuuuuuk!

Ucapan si kakek yang merupakan penyihir jahat itu tak bisa kudengar dengan jelas. Zero melempar tubuh kakek itu sebelum dia menyelesaikan perkataannya yang terbata-bata dan masih menggantung. Setelah itu, tubuhnya berhenti bergerak. Pemandangan mengerikan pun terjadi tepat di depan mataku. Tubuh kakek itu perlahan berubah, daging-dagingnya seakan-akan meleleh dan busuk hingga sekarang hanya menyisakkan tulang-belulangnya saja yang tergeletak di tanah.

"A-Apa ini? Kenapa tubuhnya meleleh?" Karena terlalu terkejut melihat kondisi jasadnya, tanpa sadar pertanyaan ini keluar sendiri dari mulutku.

"Dia seorang penyihir yang telah bersekutu dengan setan. Seharusnya dia sudah mati sejak dulu, satu-satunya yang menopang kehidupannya adalah hawa kehidupan penduduk desa yang dia hisap."

Penjelasan Zero ini membuatku menyadari bahwa tindakan yang dilakukan oleh Zero tadi merupakan hal yang tepat. Entah apa yang akan terjadi jika Zero tidak membunuhnya?

"Semuanya sudah berakhir. Kita pergi dari sini!"

Tanpa menunggu jawabanku, Zero melangkahkan kaki. Aku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauhiku, dan diam-diam bibirku mengulas senyum. Untuk kesekian kalinya dia telah datang untuk menyelamatkanku. Kali ini aku bertekad untuk mengucapkan terima kasih padanya. Jika bukan karena dia, mungkin aku sudah kehilangan nyawaku di tangan si kakek jahat.

"Zero!"

Zero menghentikan langkah begitu mendengar teriakanku yang memanggil namanya. Dia lalu berbalik badan dan menatap ke arahku.

"Terima kasih karena kau datang untuk menyelamatkanku," ucapku tulus disertai senyuman lebar.

Namun Zero hanya mendengus, "Aku hanya ingin mengetahui kekuatan dari penyihir itu. Itulah satu-satunya alasan aku datang kemari."

Ya, ya, katakan apa pun yang dia suka karena tetap saja di mataku, dia datang demi menyelamatkanku. Dia adalah penolongku dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya yang sudah berulang kali menyelamatkan nyawaku.

Zero kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda, kali ini tidak akan aku biarkan dia pergi meninggalkanku lagi. Sudah aku putuskan, dia aku pilih untuk menjadi teman perjalananku.

"Zero!" teriakku sembari berlari mengejarnya.

"Apa lagi?"

"Jadilah pengawalku. Aku membutuhkan kekuatanmu untuk melindungiku."

Zero hanya terdiam dengan tatapannya yang menatap lurus ke mataku. Akhirnya kuutarakan keinginanku, entah seperti apa responnya setelah ini. Satu hal yang pasti, aku akan tetap mengikutinya meskipun dia menolak permintaanku ini. Zero, sudah kuputuskan kita akan melakukan perjalanan ini bersama-sama.