Di sebuah bar sesak bernama The Lotus
Kartu domino sudah berjejer di atas meja. Lima orang wanita dengan pakaian beragam memegangi serangkaian kartu yang berada di tangan mereka.
Salah satu dari mereka yakni wanita berambut paling acak-acakan menyeringai karena merasa dia akan menang malam ini, walau uangnya sudah tinggal lima ratus ribu rupiah saja.
'Uangku sudah mepet, jadi aku harus menang ronde ini,' batin wanita itu.
Sementara itu salah satu wanita perokok berat tak henti juga untuk membusungkan dadanya, karena di malam ini juga dia bisa memenangkan perjudian ini dua kali berturut-turut.
'Dua kali berturut-turut. Aku bisa beli wisky setelah pulang,' riang perokok berat di dalam hati.
Dan wanita yang lain di antara mereka tenggelam bersama kekalahan yang telak karena sudah tidak bisa mengeluarkan kartu lagi. Uang mereka akan benar-benar habis malam ini.
"Kampret!" maki salah satu dari mereka yang kalah.
Salah satu dari wanita-wanita itu adalah Tante Arum. Tante Arum sebenarnya bisa memenangkan pertandingan dengan taruhan terbanyak pada babak ketiga ini. Tapi dia selalu saja memainkan taktik agar dia bisa kalah.
Wanita berambut acak-acakan itu mengeluarkan kartu paling ampuh miliknya. Dia meletakkan kartu itu pada sisi terjauh dari tangannya. Matanya yang berbinar karena sudah melihat uang menggunung di depannya. Dia sudah tidak kuasa untuk membelalak.
"Aku menang. Aku menang! Ayo ke sini, Anak-anakku." Wanita itu meraup semua uang yang ada di atas meja. Tapi wanita perokok berat itu menahan bahu wanita berambut acak-acakan.
"Maaf, punyaku lebih bagus." Wanita perokok berat itu lalu menyandingkan kartunya pada sisi terdekat dari tangannya. Melihat betapa orang-orang sudah tidak bisa mengeluarkan kartu lagi akhirnya mereka semua berdecih, karena merasa kalah telak.
"Kau curang. Mana bisa kau menang dua kali berturut-turut? Kembalikan uangku!" tuntut salah satu wanita yang dari tadi selalu kalah saat berjudi.
"Aku tidak curang. Dewi fortuna saja yang bersamaku, di samping skill-ku yang memang dewa judi. Hahahaha," tawa wanita perokok berat. Lalu doa meraup semua uang itu dengan buru-buru dan bernafsu. Kemudian uang-uang itu ia lesakkan ke dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain.
"Ngomong-ngomong soal skill, Arum itu sudah sangat berkembang. Sebenarnya dia bisa menang. Lihat kartunya yang bagus-bagus itu!
"Hey, Arum, kenapa kau tidak mau mengeluarkan kartumu itu sedari tadi?" tanya seorang wanita gendut yang juga sedang dilanda sial malam itu.
"Aku tidak tau kalau kartuku bagus. Aku kalah, ya sudah, ambil saja uangku." Tante Arum mengangkat bahu. Dia pun menenggak arak yang berada di tangannya. Satu tegukan arak yang dia persembahkan untuk Daniel, putranya.
"Kupikir kau terlalu percaya diri soal gadis itu, ya? Pasti kau ingin membuat gadis itu membayar utangmu lagi kan?" senggol wanita berambut acak-acakan yang berada di samping Tante Arum.
Gadis yang dimaksud di sini adalah Luci.
Sebenarnya Tante Arum sudah memiliki skill berjudi yang cukup mumpuni. Satu tahun terjun di kehidupan seperti ini – karena depresi yang melandanya – telah membuatnya sudah lihai bertarung di arena judi dengan cermat.
Bukannya Tante Arum kalah, tapi justru dia harus kalah agar nanti utang judi Tante Arum menjadi semakin banyak. Setelah itu utang-utang itu akan diatas namakan Luci, dan Luci diharuskan membayar semua utang itu.
Tapi walau begitu kekalahan Tante Arum harus dibatasi, dan tidak boleh membuat Luci sampai tidak mampu membayarnya. Karena jika Luci tidak mampu membayar, bisa-bisa yang kena masalah Tante Arum. Oleh karenanya Tante Arum bisa dibilang sangat cerdik dan licik.
"Kalian juga akan melakukan hal yang sama jika menjadi aku," jawab Tante Arum sembari mengamati es batu yang berada di dalam gelasnya.
"Bukankah hakim sudah memutuskan kalau anakmu tidak mati dibunuh oleh gadis itu? Kudengar semuanya hanya kecelakaan saja kan?" tanya perokok berat dengan wajah maju karena penasaran.
Selama ini Tante Arum memang selalu bungkam dan menghindar jika ditanyai soal kasus kematian Daniel.
"Apa pun putusan hakim aku tidak peduli. Yang jelas aku melihat celurit itu mengenai tubuh anakku. Dan gadis itu yang sedang memegang celuritnya. Hakim tidak di sana untuk menyaksikannya kan?" Tante Arum berdecih.
Mata Tante Arum yang sudah sayu karena mulai mabuk itu sedang dilahap oleh kobaran dendam dan api.
Baginya, Daniel bisa meninggal itu karena kesalahan Luci. Entah itu kecelakaan atau bukan, Tante Arum tidak peduli.
Jika memang itu adalah sebuah kecelakaan maka tetap saja yang salah adalah Luci, karena jika Luci tidak di sana pasti Daniel masih tetap hidup sampai sekarang, begitu pikir Tante Arum.
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan tetap membalaskan dendam? Bahkan kudengar anak tirimu saja tidak kau urusi." Wanita rambut acak-acakan bertanya kembali.
Dentuman musik menggelegar di sekitar mereka dengan lampu disko yang menyala berkelip-kelip. Tapi di atas mereka berlima ada sebuah lampu kuning yang mana menerangi jalannya perjudian itu.
"Seorang ibu hanyalah seorang ibu. Kami hanya ingin menuntut keadilan," tutup Tante Arum. Wanita itu lalu bangkit pergi. Tante Arum sempat meraih sebuah puntung rokok milik si perokok berat.
Tante Arum lalu menyalakan rokok itu dan keluar dari bar tanpa berkata apa-apa.
Musik yang berdengung di sekitarnya seperti sebuah lagu duka untuk anaknya – Daniel – yang harus mati di tangan seorang gadis yang sangat Daniel cintai.
"Padahal aku berada di tempat kejadian saat itu. Jelas-jelas aku melihat gadis itu menggenggam celurit di tubuh Daniel. Hakim sialan!" racau Tante Arum dengan kepala mulai pusing.
"Padahal aku sudah berlatih minum. Baru beberapa gelas saja aku sudah mabuk," lanjutnya.
Tubuhnya terseok saat melewati kerumunan orang yang sedang menari di bawah lampu kelap-kelip bar. Musik sudah seperti lagu tidur baginya. Kakinya yang rapuh karena kehilangan anak hampir tidak bisa bertahan lagi. Tapi dengan sekuat tenaga Tante Arum kelaur dari bar.
Wanita itu lalu sempat muntah di bawah pohon palem rendah yang berada tak jauh dari bar. Lalu setelah dia selesai muntah, di depannya ada seseorang yang tiba-tiba sedang berdiri.
Orang yang berdiri di depan Tante Arum itu memiliki tubuh yang tinggi dengan senyum lembut penuh kasih sayang. Pandangan matanya akan selalu tersenyum walau dia tidak tengah tersenyum. Kehangatan yang terpancar walau orang itu tidak melakukan apa pun.
"Dan – Daniel – anakku." Tante Arum gemetaran ketika menyentuh udara kosong di malam hari. Tapi di matanya udara kosong itu adalah Daniel, anaknya yang meninggal setahun yang lalu.
"Apa kau bahagia, Nak? Apa kau merindukan Ibu?" tanya Tante Arum dengan wajah frustasi karena saking rindunya. Wanita itu pun maju untuk memeluk tubuh Daniel, tapi tentu saja yang dipeluk Tante Arum adalah kehampaan.
Mengira anaknya sudah pergi Tante Arum pun meraung dan menangis histeris di samping jalan raya.
"Anakku, anakku, kembalikan anakku! Jangan bawa dia pergi! Dia masih ingin bersamaku! Anakku!" Tante Arum meraung sangat hebat. Tubuhnya terguncang seolah dia baru saja tertabrak oleh sebuah kendaraan yang mana memiliki kecepatan kilat.
Matanya memandang liar ke sekitar, pupilnya mengecil dan membesar tak tentu. Dia masih mencari Daniel yang tiba-tiba saja hilang dari pandangannya.
"Anakku! Kembali, Dan …. Daniel. Ibu akan membalaskan kematianmu. Kembali pada Ibu, Nak. Daniel! DANIEL!" Tante Arum merangkak seperti orang buta.
Tangannya bahkan menyapu paving di pinggir jalan. Di dalam matanya paving-paving itu adalah dedaunan yang mana telah menyembunyukan sosok Daniel yang masih hidup.
Tapi nihil, Daniel tidak bisa ditemukan. Jemarinya sudah bergetar hebat dengan tubuh tak bisa diam. Badai menghantam kehidupannya. Pecutan dunia telah membolak-balikkan kesadaran dan kebahagiaannya.
"Aku hanyalah seorang ibu yang sedang mencari keadilan," bisik Tante Arum sebelum pingsan karena mabuk.
***