webnovel

BAB 22: CINCIN PERNIKAHAN

BAB 22

Hal tersebut membuat Apo bosan, lebih-lebih semua kekasihnya dulu tak ada yang berlaku secanggung ini.

Bagusnya, diantara mereka Bible lah yang memberi kesan paling menyenangkan. Pria itu akan menawarkan pangkuannya apabila Apo mengantuk dalam perjalanan.

"Sini, Phi."

- Puk-puk –

Dia akan terseyum lebar. Menepuk-nepuk pahanya, lalu menarik Apo berebah di sana.

"Iya, Bible."

Sayang bayangan itu hilang dalam sekejap.

Apo pun buru-buru mengalihkan pandangannya dari Mile sebelum menarik perhatian si iblis.

"Kita sampai."

Audi hitam Mile pun berhenti di parkiran sebuah toko perhiasan besar. Hanya dengan me-notice plang megah di halaman, Apo tahu iblis itu membawanya ke tempat yang berkelas.

"Tunggu, apa tidak cari toko lain saja?"

"Kenapa?"

Apo pun memandang keramaian customer yang keluar masuk ke dalamnya. "Umn, di sini agak-"

"Aku yang membayar semuanya," sela Mile. "Lagipula kau bilang ingin desain beda untuk kita. Jika kau tetap membantah, mau dikemanakan harga diriku?"

"Ah."

"Tindakanku mungkin tak bisa disebut melamar, tetapi kau harus menerima keputusan ini."

Lagi-lagi, Apo tak punya alasan cukup kuat untuk menolak. Karena itulah dia mau digandeng Mile masuk ke dalam.

Mile bilang, kontrak perkawinan mereka dari jiwa ke jiwa. Jadi, sebenarnya tidak perlu cincin atau resepsi untuk mengikat. Namun, Apo penasaran sejauh dan sekuat apa hubungan itu? Apa benar-benar tidak bisa dibatalkan? Semisal iya, apa memang punya efek buruk seperti yang Jeje katakan?

"Iblis memang suka menghancurkan siapa pun. Dicintai atau tidak dicintai, dia akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, bila hati iblis diberikan secara utuh ... dia lah yang rusak pertama kali sebelum orang lain mampu melukaimu."

Jadi, apakah artinya Mile akan ikut kesakitan bila Apo terluka? Ah, bukan. Mungkin lebih tepat jika Mile refleks melindunginya dari bahaya?

Apo pun berpikir, mungkin dia harus cari tahu lebih banyak soal iblis dari orang lain. Dengan begitu, fakta tentang hubungan mereka takkan dia telan mentah-mentah dari perkataan Mile atau Jeje saja—

"Apo," panggil Mile tiba-tiba.

DEG!

"Eh, ya?"

Seorang petugas wanita mengulangi perkataannya. "Tuan Natta, boleh saya pinjam cincin yang desainnya ingin digandakan?"

Apo pun segera melepas cincin lamarannya dari Bible. "Maaf, tadi aku tidak mendengarmu."

"Terima kasih." Senyum pun mengembang di bibir berlipstik itu. "Sebentar, ya. Biar kami cek detailnya di dalam."

"Baik."

"Dan untuk cincin couple baru, Anda pilih-pilih dulu. Kami punya model terbaru pekan ini."

"Baik, terima kasih."

Apo pun mengelus tengkuk. Sedikit banyak, Mile pasti menyadari gerak-gerik janggalnya. Ah, sial. Untung Mile tak punya kemampuan membaca pikiran seperti sang kakak.

"Umn, Mile. Bagaimana bila kita pakai yang ini?" kata Apo. Untuk pengalihan, dia segera mengambil sembarang desain yang terlihat menarik mata.

"Kau memilihnya karena suka?" tanya Mile ingin memastikan.

Jawaban Apo refleks saja. "Ya?"

"Kalau begitu, coba kulihat sebentar."

Saat kotak cincinnya diambil, Apo pikir Mile akan mencoba ukuran dirinya sendiri. Namun, iblis itu justru menarik jari manis Apo dan memasangnya di sana.

Deg ... deg ... deg ....

Rasanya aneh. Apo seperti diikat selamanya oleh Mile meski baru coba-coba seperti ini (walau hanya dengan stempel tanda sebenarnya sudah begitu).

"Ini cocok," komentar Mile. Ibu jarinya mengelus gemerlap emasnya di setiap mili cincin. "Apa rasanya agak dingin jika dipakai?"

"Iya."

"Tapi kalau masih ingin desain lain, pilih saja."

Apo buru-buru menarik jarinya sebelum merasakan sesuatu dari sentuhan Mile. "Tidak, cukup. Ini saja sudah nyaman."

"Baiklah."

Mile sepertinya sadar diri untuk mencoba cincinnya sendiri. Iblis itu hanya manggut-manggut saat ukurannya begitu pas, dan Apo nyaris memaki mendengar harganya yang setara mobil Porsche.

"Tidak, tunggu dulu, Mile ... jangan—"

"Bungkus saja."

Petugas wanita itu pun menatap Apo sebelum menerima kartu Mile. Senyumnya masam, tetapi juga sarat makna karena tingkah menggemaskan Apo.

"Kau ... hm, maaf. Aku tidak tahu kalau harganya setinggi itu."

"Bukankah kau menyukainya?" tanya Mile.

"Iya, tapi kan—"

"Kalau begitu masalah selesai."

Apo pun menelan ludah kesulitan. Sampai sini dia makin haus informasi mengenai Mile. Bagaimana bisa sang suami menjalani kehidupan yang begitu megah, padahal Apo tak pernah melihatnya bekerja? Memang bagaimana cara Mile berbaur dengan manusia? Apa dia bisa menggandakan tubuh juga?

"Setelah ini kau ada rencana lain?" tanya Mile saat mengeluarkan mobil dari parkiran.

"Sebenarnya tidak ada," kata Apo. "Tapi di rumah rasanya terkadang bosan. Aku jadi ingin beli beberapa buku."

"Oh."

"Ditambah dua kalung cantik," kata Apo. "Little Cattawin dan Shigeo pasti suka dengan aksesori pertama mereka."

Mile tak perlu menjawab dengan kata-kata. Dia mengantar Apo ke toko-toko tujuan, bahkan pindah beberapa kali karena kurang puas memilih. Iblis itu tidak protes sekali pun, padahal mereka berputar-putar hingga senja muncul.

"Kita makan malam sekalian sebelum pulang," kata Mile. Dia menggandeng Apo masuk ke sebuah restoran berbintang, meski lelaki itu tampak sangat heran.

"Bukankah Mile tidak butuh makan makanan manusia? Lalu kenapa membawaku ke sini?" pikir Apo.

"Pilih menu-nya sesukamu," kata Mile. "Pesananku sama denganmu."

"Eh?"

"Kenapa?"

Apo memandangi buku menunya. "Tidak. Maaf tadi pikiranku kemana-mana. Kupikir kau tidak butuh makan."

"Tidak butuh bukan berarti tak bisa," kata Mile.

Pelayan yang menunggu pun tersenyum manis. "Boleh saya rekomendasikan sesuatu?"

Awalnya Apo pikir wanita itu benar-benar akan membimbingnya. Namun, ketika membolak-balik halaman, tulisan menu-menu Italia itu jadi buram. Lima detik kemudian, kernyitan di kening Apo muncul karena ada baris-baris pesan menyala seperti api.

[Apo. Aku mengawasimu beberapa hari ini. Jujur saja, kau sangat ingin lari dari suamimu, kan? Kalau mau, aku bisa membantumu melakukannya]

Lima detik berikutnya, pesan itu sudah menghilang.

"Ada apa, Apo?" tanya Mile.

Apo pun menggeleng pelan. "Ah? Tidak. Aku hanya belum familiar dengan menu-menu sini," katanya segan. "Kau tahu? Bisa bahasanya belum tentu paham segalanya soal Italia."

Pelayan wanita itu tersenyum lebih mencurigakan. "Halaman tujuh, Tuan. Anda mungkin bisa menemukan yang lebih cocok untuk lidah Asia."

"Baik."

[Setelah memesan cepat pergi dari sana. Buat alasan. Apapun lah. Temui aku di belakang. Dan jangan khawatir soal suamimu. Aku sudah memberinya tabir tujuh lapis agar dia tidak tahu soal ini]

Mendadak pesan kedua terlihat sebelum Apo memilih makanan. Dan tentu saja dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Apo pun izin buang air ke toilet sementara Mile menunggui pesanan di meja. Dan meskipun dia tidak sungguh-sungguh ingin meminta bantuan, Apo harap iblis ini bisa memberitahunya beberapa informasi tentang bangsa mereka.

"Di sini." Sebelum masuk toilet pria, lengan Apo ditarik ke koridor lain. "Ikut aku."

Mereka berdiri berhadapan di sebuah lounge dengan sofa-sofa panjang. Namun karena terburu waktu, iblis tampan berbadan atletis itu tidak mengajaknya duduk. "Aku Bas Asavatapr. Atau setidaknya itu nama Asia-ku." Belum sampai Apo menjawab, sebuah telapak tangan meraupi matanya. "Diam sebentar. Aku akan memberimu penglihatan menuju ranahku. Karena jika lama suamimu pasti menaruh curiga." (*)

(*) Maksud Bas "ranahku" itu wilayah yang dia kasih tutup tabir. A power with no Mile. Yang artinya Mile gak bisa nembus bagian itu.

"Tunggu, Bas—"

"Kau benci gelap, kan? Aku tahu." Bas menggenggam tangan Apo yang sempat bergeliatan.

Apo membatin, "Iya, tapi aku perlu tahu sedikit lagi tentangmu-"

"Baik, saat kau membuka mata nanti, aku hilang," sela Bas. "Dan kembalilah ke meja segera. Suamimu pasti mulai bertanya-tanya. Dan jangan bingung. Nanti kau akan tahu setelah pulang."

Apo tak tahu ada yang seperti ini, tetapi iblis barusan sungguhan hilang seperti asap. Apo bingung, tetapi Mile sepertinya sungguh-sungguh tidak tahu pertemuan mereka. Ada yang aneh.

[Jangan bingung. Sekarang aku ada dalam kepalamu]

"Bas?!" batin Apo. Putaran mie-nya pada garpu sampai berhenti karena gaung telepati tersebut.

[Pertemuan singkat masih bisa diberi tipuan, tapi untuk membicarakan kepentingan kita, harus lewat cara ini saja]

Tanpa mengangguk, Apo pun menjawab dalam hati. "Aku paham."

[Makanlah. Lakukan kegiatanmu seperti biasa. Tapi, aku akan hilang jika ada Jeje di sekitar. Dia itu kelemahanku, karena bisa membaca pikiran. Jadi, kau pun harus berhati-hati]

Apo tersentak saat Mile menyumpit gulungan mie di garpunya. "Eh? Ada apa?"

"Kau terlihat kepikiran sesuatu," kata Mile. "Apa itu?"

[Baik. Hal seperti ini harus kau hindari, Apo. Sekali boleh, tetapi berikutnya usahamu harus ada agar tak ada masalah]

"Ugh, maaf. Aku sendiri tak sadar," kata Apo. Dia belum tahu Bas berniat baik atau tidak. Yang pasti, Apo akan menurut sampai mereka bicara leluasa nanti.

"Badanmu baik-baik saja?" tanya Mile lagi. "Kita keliling kota seharian. Kalau lelah, setelah ini kita langsung pulang."

"Umn, mungkin. Tapi aku merasa tidak masalah."

Mile pun menyipitkan mata. "Yakin?"

"Iya."

Percuma. Sepertinya, semakin Apo jujur soal kondisinya, kekhawatiran Mile malah makin naik. Mengagumkan, memang. Dia bahkan berhenti di toko syal terdekat untuk Apo sebelum membawanya pulang.

"Mile, aku sungguh tidak apa-apa—"

Di balik kemudi, Mile mencuri kecupan di bibirnya. "Ya, tapi salju di sekitar juga turun," katanya. "Jadi, alam lebih kupercayai daripada dirimu sekarang."

"...."

"Dan ingat, esok lusa kau adalah pengantinku di altar," kata Mile lagi. Iblis itu tidak mengatakan apa-apa sampai mereka masuk mansion. Setelah mandi pun langsung menemaninya tidur di sisi ranjang. Dia seperti pangeran meski dalam balutan piama.

Beda dari biasanya, Mile juga tidak memeluk Apo. Kedua lengannya terlipat di atas dada, seolah akan lepas kendali bila menyentuh pasangannya malam itu.

"Bas?" batin Apo memanggil. Namun, tak ada sahutan apa pun. Tunggu, kenapa? Jangan bilang akses ranah iblis dibatasi oleh--

[Mmnnhh ... sakit, Brengsek!]

DEG

Apo pun terbelalak mendengar erangan merdu tersebut. Dia ingat bagaimana tatapan Bas yang sayu sebelum gelap terlihat. Di koridor. Di lounge. Dia yang begitu tampan dan tinggi, apa benar-benar ada di pelukan seseorang?

[Jeje-stop! Kumohon jangan di tempat ini-nnhh ....]

Pipi Apo langsung terbakar. Dia tak menyangka hubungan Bas seintim itu dengan kakak suaminya. Tapi, jika mengingat kata-kata Mile, ada benarnya seks mereka tidak berarti apa pun.

"Aku tak mau mendengar ini ...." batin Apo. Dia berbalik memunggungi Mile dan meremas selimutnya. Ah, gawat. Ini seperti mendengar BLCD! Apo sampai membekap kedua telinganya sendiri, meski itu sia-sia. Telepati ini dalam kepalanya! ARRRGH!

[Jeje, ugh ... LEPAS! Aku ini ada urusan. Serius-mpffh!]

BRAKH!

"Tolong, aku tidak suka ini," batin Apo. Refleks, perut dan telinganya panas. Bahkan lebih daripada suhu wajahnya.

Mile sampai terbangun dan mengusap bahunya dari belakang. "Hei, Apo. Kau kenapa?"

"Mile?"

Adrenalin membuat Apo makin meringkuk. Sudah bagus Mile tidak menyentuhnya malam ini. Kenapa malah ....

"Tunggu, apa perutmu terasa sakit?" tanya Mile khawatir.

Apo segera menggeleng keras. "Tidak-"

Mile justru makin salah paham. Iblis itu duduk, lalu menekan perutnya dari belakang.

"Benar?"

[Aahhh... ahhh ... umnn ... Jeje ... Ahh ....]

Telinga Apo makin memerah. "Iya, kok." Sembari menggenggam tangan Mile, dia mengubur wajah di dalam bantal.

"Kau punya maag atau sesuatu?"

Bulu kuduk Apo meremang. "A-Aku ... bisa kau jauh sedikit?" Jantungnya berdebar makin kencang dan Mile tampak bingung karena tangannya disingkirkan.

BRUGH!

"Kenapa?"

"Hah?"

Kini Apo malah tak bisa bergerak karena diblokade Mile. Kanan kiri, lengan iblis itu menahannya. Tak ada pilihan lagi selain patuh. Sebab kedua mata kuning itu berpendaran karena begitu cemas.

"Bilang."

"...."

"Apo, aku bisa tahu kejadian apa pun yang menimpamu, tapi tidak dengan penyakit di dalam tubuh," kata Mile. "Jadi, aku menunggu jawabannya sekarang."

[Ummnhh! Jangan di sana-ah!]

Tatapan Apo pun menjadi nanar. "Ini memalukan. Bagaimana bisa suara erotis membuatku kepikiran?" batinnya.

"Boleh aku ke kamar mandi?" pinta Apo. Jemari lelaki itu bergeliatan, dan Mile justru menggenggamnya sangat erat.

"Untuk?"

Semburat Apo makin menyebar di seluruh wajah. "A-Aku-mau pipis? Aku ingin buang air besar juga. Rasanya mendadak sekali."

Mile diam sejenak sebelum melepaskan. "Baiklah," katanya. "Kalau sudah segera kembali."

Meski kemungkinan Mile berpura-pura, Apo tak mau memikirkannya. Dia segera turun dan melipir ke kamar mandi.

Ugh, kapan terakhir aku sentuh diri? Ini rasanya sedikit aneh. Apo pun menggigit punggung tangan agar Mile tak mendengar erangannya dari luar sana.

"Mnnh ... nngh ...."

Ngomong-ngomong siapa Bas sebenarnya? Apa kekasih Jeje? Dan apa tujuannya membantu Apo?

"Aku harus memastikan dia baik atau tidak," pikir Apo. Dia memandangi sisa pelepasan klimaksnya di telapak tangan, lalu segera bersih-bersih diri. Ahh, jangan sampai Mile mencium aroma aneh darinya nanti—

"Lega?"

DEG!

Wajah Mile muncul tepat kala Apo membuka pintu kamar mandi.

Bersambung ....