Irma masih berada dalam kondisi yang sangat lemah, saat Tatjana kembali menjenguknya bersama Dion. Adiknya Tatjana, Tita masih sedih dan tak bersemangat. Matanya masih sembab karena tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir melihat penderitaan Irma. Hatinya hancur, sehancur keluarganya kini. Tita ingin marah, namun ia tak sekuat kakaknya. Yang terbaik yang bisa Tita lakukan menjaga dan merawat Irma sebaik mungkin. Tita tidak punya keberanian dan power seperti Tatjana. Tita pun heran kenapa berani melawan Gunawan pada hari itu. Mungkin naluri seorang anak. Tidak rela ibu yang melahirkannya disakiti dan dianiaya.
Tatjana datang membawa roti kesukaan Irma. Irma terlihat sumringah saat melihat anak sulungnya datang. Tatjana ikut bahagia melihat senyum di bibir Irma.
"Mi, sehat yah…ini aku bawain roti kesukaan mami. Dimakan mami. Kamu juga Tita, jangan nangis terus. Makan yang banyak, biar gak kurus."
Dion yang datang bersama Tatjana, tersenyum menatap interaksi antara Tatjana dan keluarganya. Dion mendekati Irma dan mencium tangannya. Ia menyapa wanita paruh baya itu yang masih terlihat cantik, walau sedang sakit,"Mi, cepat sehat yah. Makan yang banyak."
Irma pun tersenyum dan bertanya balik pada Dion, "Iya Dion, terimakasih. Kamu apa kabar? Jangan terlalu capek kerja. Ngikutin Tatjana memang gak akan selesai selesai. Kalian harus banyak istirahat yah!"
Dion pun menjawab lembut, "Iya Mi, kami semua sehat. Mami juga banyak istirahatin. Bukan badan saja yang istirahat tapi juga pikirannya. Jangan terlalu stress,ada kami disini."
Irma hanya tersenyum, sambil memperbaiki posisinya. Ia bangkit dan duduk. Irma membuka kotak roti dari Tatjana. Ia memakan roti. Rotinya sangat lembut, manisnya pas. Irma memakan roti itu sampai habis. Tatjana senang karena nafsu makan Irma telah kembali
Tita membawakan beberapa cangkir minuman hangat untuk Tatjana dan Dion. Setelah di suguhkannya minuman itu, layaknya adik manja, ia pun ngelendot ke pelukan Tatjana. Tatjana memeluknya sambil membelai rambut adik kesayangannya itu. Irma ikut tersenyum melihat kedua putrinya yang begitu dekat. Kendati sebenarnya hatinya sangat perih, bila mengingat betapa suaminya telah menyia-nyiakan keluarga sehangat ini. Tak terasa air matanya kembali jatuh. Tatjana mengusap lembut air mata Irma yang mengalir di pipinya, namun ia tak ingin berkomentar apa-apa. Perempuan paruh baya ini masih terlihat cantik. Irma adalah sosok wanita paruh baya yang sangat elegan, terawat dan juga berpendidikan. Tatjana tak habis fikir, mengapa papinya tega mengkhianati wanita sebaik, secantik dan setulus ibunya. Lelaki tak bersyukur.
Dion seakan mengerti kegalauan kekasihnya walau dalam diam. Ia mengusap-usap punggung Tatjana memberikan dukungan moral untuk menguatkan gadis cantik itu. Nafasnya berat terasa, karena ada hal yang lebih berat yang Dion ingin sampaikan. Dion masih berfikir. Apa harus bicara sekarang atau tunggu waktu yang tepat?
Kali ini tangan Dion menggenggam tangan Tatjana. Tatjana masih bergeming. Ia masih memandangi Irma. Dada Dion bergemuruh, seakan niat dan tekadnya yang ingin ia sampaikan mendadak menjadi tantangan tersendiri, yang membuat nafasnya hampir sesak. Namun ia melihat Tita dan Irma tersenyum amat bahagia sambil memilih roti manalagi yang akan dimakan. Dion pun membulatkan tekadnya. Apapun yang terjadi, terjadilah.
"Mami, Tita, Tatjana, ada yang Dion ingin sampaikan." Dion memulai pembicaraan.
Tatjana terlihat sedikit bingung. Pelan-pelan Dion merogoh saku celananya, meraih sebuah kotak beludru berisikan cincin berlian untuk Tatjana. Kali ini mata Dion tertuju pada kekasihnya, "Sayang, kita sudah menjalani hubungan kita dengan sangat serius dan aku menyukainya. Aku ingin memilikimu selamanya. Dan aku harap, dengan aku di sampingmu lebih dekat, aku juga bisa merawat mami dan Tita lebih baik. Jadi hari ini, Tatjana, aku mohonkan padamu, maukah kamu menikah denganku?" Tangan Dion meraih jemari indah Tatjana sambil menyodorkan kotak beludru hitam yang sudah terbuka, dan menunjukan sebuah cincin berlian yang jelita.
Irma dan Tita terlihat kaget, bercampur bahagia. Dion orang yang baik. Irma sangat setuju jika Dion menjadi menantunya. Dion bukan hanya mencintai Tatjana. Tapi Dion juga begitu perhatian pada Tita dan Irma selama ini.
"Maaf, Dion. Aku ngga bisa." Tanpa disangka, yang keluar dari mulut Tatjana justru malah sebuah penolakan.
Dion ternganga seketika, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Begitupun dengan reaksi Irma dan Tita yang tak kalah kagetnya.
"Kenapa babe, kenapa?" tanya Dion lirih. Ia sangat kecewa dan terluka.
Tatjana kali menggenggam tangan Dion, sembari menutup kotak beludru yang telah terbuka sebelumnya. Gadis cantik itu menengok kearah Irma sambil menahan air mata, seakan meminta Dion untuk ikut juga melihat keadaan Irma.
"Kamu fikir, dengan semua yang telah terjadi, aku bisa menikah dengan kamu?" tanya Tatjana pada Dion dengan mata nanar. "Aku menjadi trauma untuk menikah karena melihat pernikahan orangtuaku. No, I am not available for marriage. Sorry Dion, tapi saat ini bagiku yang terpenting adalah mami dan Tita." Tatjana berlari menuju kamarnya. Tita mengejar Tatjana. Gunawan sudah tidak pulang ke rumah sejak penganiayaan itu.
Dion menatap Irma nanar. Ia memperlihatkan kekecewaannya. Irma menyentuh bahu Dion.
"Hey, it's fine. You know her better than anyone, Dion. Kamu tahu kan tabiat Tatjana? Dia tidak akan melanjutkan sesuatu jika masih ada masalah hang belum diselesaikan. Mami dan papi Tatjana belum selesai. It's all about time. Dia bukan menolak kamu, dia hanya butuh waktu. That's all she needed right now."
Tentu saja Dion kecewa. Namun apa mau diharapkan? Dion mengertiperasaan Tatjana. Mau tak mau Dion harus menerimanya dengan besar hati. Tapi tetap saja lelaki itu tak bisa menutupi kekecewaannya. Ia lalu pamit pada Irma. Dion ingin menenangkan diri. Sumpah! Hari yang buruk. Dion duduk di teras dan menghubungi adiknya.
"Vino."
Suara di seberang sana tak jelas terdengar. Mungkin karena sambungan telepon satelit yang tidak sebaik telepon biasa.
"Yes, my brother! How can I help you?" Vino terdiam beberapa detik. Suara berisik di seberang sana seakan berangsur hilang. Tanda bahwa Vino menemukan tempat yang lebih baik untuk menerima sinyal, "Perasaan gua gak enak nih. Kenapa?" tanya Vino lagi. Kali ini Dion tak kuasa menahan sesak, dengan gemetar ia menjawab, "Tatjana nolak lamaran gue, Vin" Dion menahan tangisannya. Dion un lalu menceritakan masalah keluarga Tatjana pada adiknya.
"Well, to be honest, that's a great news bro!"
Jawaban Vino membuat Dion kaget, "What do you mean?" tanya Dion heran.
"Come on, are you blind? Lo udah tahu sehancur apa keluarganya saat ini gara-gara bokapnya. Dan lo nekad mau nikahin dia? Are you kidding me?" Vino terdengar mulai ngotot.
"But, I love her!" sahut Dion.
"Of course, Love! That makes you blind" Vino malah mengejek Dion.
"Seriously, dude?" Dion pun lalu mengakhiri teleponnya dengan kesal. Ia tidak terima dengan respon adik yang satunya itu. Bukannya sedih lamaran kakaknya di tolak malah senang. Seharusnya Vino bisa lebih empati dan mendukungnya. Bukan malah judgemental seperti itu. Papinya Tatjana memang bajingan. Tapi itu bukan salah Tatjana. Bahkan Tatjana adalah pribadi yang jauh berbeda dari Papinya. Mengapa Vino tidak bisa melihat dari sisi itu?.