webnovel

Hanya Teman

"Kalau gitu sampai jumpa besok ya, Ma!"

"Okey, Pa!"

Sambungan telepon kami berakhir. Yang baru saja itu bukan percakapan suami istri, melainkan percakapan laki perempuan yang hanya teman saja.

Nurma dan Dipa nama mereka. Sepasang laki perempuan yang sudah berteman sejak TK. Dipa duluan yang memanggil Nurma dengan kosa kata terakhir. Awalnya Nurma geli, tapi akhirnya dia ikut-ikutan juga.

"Ya ampun! Sudah bertahun-tahun aku mendengarnya, tapi kenapa masih geli juga!" seru kakak Nurma yang baru saja lewat. Nurma hanya tertawa menanggapinya.

Nurma dan Dipa sudah saling kenal sejak kami masuk ke TK yang sama. Saat itu Dipa adalah anak yang jahil dan Nurma adalah anak yang pendiam. Adalah sebuah kesenangan bagi Dipa untuk mengganggu Nurma. Tak jarang Nurma menangis. Bahkan sampai tiba di rumah pun Nurma belum bisa diam. Tapi namanya anak-anak, saat itu Nurma hanya tak suka pada Dipa. Nurma sama sekali tak ada pikiran untuk pindah dari TK itu.

Gara-gara Dipa, mamanya setiap hari harus meminta maaf pada Nurma dan ibunya. Hubungan kedua orang tua ity kemudian menjadi dekat seiring seringnya kenakalan Dipa pada Nurma.

"Kenapa sih kalian nggak pacaran aja?" tanya Nuri, kakak Nurma yang sekarang ikut nimbrung duduk di samping Nurma yang sedang menonton TV.

"Hahaha, siapa pacaran? Aku? Sama Dipa? Makasih deh, Kak," jawab Nurma sambil terkekeh.

"Kenapa enggak? Dipa ganteng, lho!"

"Ya udah kakak aja sana yang pacaran sama Dipa," jawab Nurma menahan tawanya.

"Ya kali, Dek. Lihat umur juga!"

"Nurma juga sama yang lain aja, Kak."

"Yang lain tu siapa? Kamu gaulnya cuma sama Dipa doang gitu kok."

"Ya besok, deh. Nurma cari yang keren dulu, deh!"

"Lhah, kamunya aja slebor gitu! Nggak pernah dandan, mau cari yang keren."

"Dandan kok, Kak!" elak Nurma.

"Pakai bedak sama lipbalm doang, kamu ih!"

"Hahaha."

Setelah puas mengobrol, keduanya masuk kamar masing-masing karena hari semakin larut. Nurma kembali membuka ponselnya, mendapati Dipa sudah mengirim banyak pesan padanya. Saat dibuka, isinya cuma sepele sekali. Tentang kaos mana yang bagusnya Dipa pakai buat jadi dalam esok hari.

[Yang putih aja, Pa!]

[Aduh biasa banget nggak, sih?]

[Tolong, deh. Kamu itu mau sekolah!]

[Ya barangkali terusan main gitu sama kamu.]

[Dih, ngajakin main?]

[Ya bawa aja baju ganti]

[Hish! Ya!]

Jam menunjukkan pukul 23.00 dan Nurma baru bisa benar-benar terlelap setelah tak ada lagi yang dia bicarakan dengan Dipa. Padahal tiap hari bertemu, tapi selalu ada yang mereka bicarakan.

Esoknya, seperti biasa, Nurma datang di jam yang mepet. Parahnya sampai kelas, Dipa belum ada. Sampai bel masuk berbunyi Dipa belum juga kelihatan.

"Suami kamu belum datang, Nur?" tanya Rully, teman sebangku Nurma. Dia lumayan dekat dengan Nurma.

"Telat kalik."

"Emang nggak dibangungin tadi?"

"Lhah, tahu sendiri, aku aja mepet."

"Dasar! Nggak khawatir kamu?"

"Nggak, tuh."

Guru pelajaran pertama masuk kelas. Murid-murid di kelas Nurma semuanya bersiap untuk menyerap ilmu matematika yang diberikan. Meski banyak juga yang sebenarnya bosan, mengantuk walau jam pertama, masuk telinga kiri keluar telinga kanan, bisik-bisik ngegosip dan lain-lain. Jam pertama, matematika, mengawali hari dengan pusing-pusing.

Saat guru mengabsen, memanggil nama Dipa lalu tidak ada yang menyahut. Bu guru juga menanyai Nurma. Seantero sekolah tidak ada yang tidak tahu kalau mereka sedekat itu.

"Kemana Dipa, Nur?"

"Saya tidak tahu, Pak."

"Kok tidak tahu, kan kalian biasa kemana-mana berdua."

Nah kan, aku lagi, batin Nurma.

"Mungkin lagi pertengkaran rumah tangga, Pak. Jadinya Dipa dicuekin!" celetuk salah satu teman Nurma.

"Oh, begitu. Lekas baikan, deh kalian!" kata pak guru menanggapi.

"Lhah, si Bapak," kata Nurma lirih.

"Tolong bilangin ke Dipa kalau dia sudah bolos pelajaran saya tiga kali. Jangan sampai saya jadi kasih nilai merah nanti untuk raportnya. Mengerti Nurma?"

"Baik, Pak!" jawab Nurma malas. Dipa yang bolos, Nurma yang kena marah.

Selesai jam pelajaran matematika Dipa muncul di pintu sambil cengengesan. Mana bajunya keluar sebelah lagi. Nurma merengut, menggembungkan pipinya sebesar mungkin sambil menatap Dipa sebal. Selesai menyapa teman-teman cowok Dipa menghampiri Nurma.

"Ciyat-ciyat, habis ini ada piring, gelas melayang!" seru salah satu murid laki-laki. Yang lain ikut menyoraki.

Dipa kemudian berjongkok, tangannya yang ia letakkan di atas meja Nurma dan dagunya ia letakkan di atas tangan. Nurma masih menatapnya dengan sinis.

"Khawatir, ya?" tanya Dipa tanpa rasa bersalah.

"Bodo, ih! Kamu yang bolos, aku yang kena semprot tauk!" jawab Nurma ngegas.

"Maaf, maaf."

"Enak aja!"

"Ya enak dong, nanti dibeliin susu coklat. Ya?"

"Hm. Kenapa telat?" Gara-gara dengar susu coklat, Nurma melembek. Dasar maniak coklat. Hal itu jadi andalan Dipa banget.

"Sengaja, lagi males aja pagi-pagi belajar matematika. Mana trigonometri lagi, pusing pala berby!"

"Ya lagian ngapain pakai masuk IPA, malih! Salah ambil jurusan kau ni!"

"Ya kamu diajakin ke IPS aja nggak mau!"

"Halah!"

"Babang Dipa tu nggak bisa jauh dari istrinya lho, Nurma!" kata Rully nimbrung.

"Tuh, dengerin Rully, Ma!"

"Kalian ni, kalau kayak gini aja, kompak banget! Lagian Rul, yang telat Dipa, yang kena semprot aku, yang marah aku, yang cengengesan Dipa. Kok kamu tega belain Dipa, hiks?"

"Nah, kan. Mulai drama. Udah ah, makasih ya, Ma. Kamu udah gantiin aku dimarahin. Bye!"

Dipa kemudian berdiri lalu ngeloyor pergi menghampiri teman-temannya. Nurma mengibas-ngibaskan tangannya mengusir Dipa sejauh mungkin.

"Heleeh, nanti kangen!" goda Rully.

"Kagak, dih!"

Pletak!

Dipa yang duduk di meja kena pukul pak guru PKn jam kedua di lengannya. Dipa sontak turun dari meja lalu meringis.

"Balik sana tempat duduk kamu! Nggak sopan!" seru kan guru PKn marah. Dipa langsung ngacir.

"Tolong dijaga tata kramanya ya anak-anak. Apalagi kalian ini sudah kelas XII. Sebentar lagi kalian akan terjun langsung ke masyarakat," kata pak guru PKn memberi nasehat. Para murid hanya mendengarkan, tak berani menatap pak guru, terutama Dipa dan kawan-kawan.

"Apalagi kamu, Dipa. Saya perhatikan kamu ini yang paling menonjol nakalnya diantara teman-teman kamu. Mau jadi apa kamu nantinya kalau attitude kamu seperti itu? Mau kamu punya kuasa kalau attitude kamu 0, kamu nggak akan pernah dihargai oleh bawahan kamu. Perbaiki sikap kamu, Dipa!"

"Baik, Pak!" jawab Dipa.

Nurma hanya menghela nafas. Ini juga salah satu alasan Nurma nggak mau jadi pacar Dipa, meskipun kata banyak orang kalau Nurma bisa mengubah Dipa jadi lebih baik.

Bualan macam apa itu? Bahkan mamanya Dipa saja angkat tangan. Kalau iya Dipa jadi lebih baik, harus sekeras apa usaha Nurma? Dipa itu batu, kalaupun Nurma adalah setitik air yang bisa membuat batu berlubang, tetap butuh waktu lama, kan?

Belajar saja Nurma sudah lelah, kenapa Nurma harus berusaha keras untuk merubah orang lain? Bukannya masa depan Dipa itu tanggung jawab dia sendiri, ya?

Eh, tapi Nurma sudah mau lulus. Masa nggak punya kehidupan pacaran di masa putih abu-abu, sih? Rully aja punya, berondong malah. Tapi kalau harus sama Dipa ya no way lah ya.

Kelas tetap tenang meskipun ganti pelajaran sampai bel istirahat berbunyi. Sepertinya Dipa dan kawan-kawan kena mental.

"Dipaa!!" Terdengar suara perempuan yang melambaikan tangannya di ambang pintu kelas. Nurma dan Rully saling tatap.

Belum terjawab pertanyaan siapa, gadis itu nyelonong masuk ke dalam kelas lalu memeluk Dipa. Semua mata tertuju pada mereka.

"Waduh, bakal ada perang dunia lagi, nih kayaknya!" celetuk seorang kawan Dipa.

InsyaAllah update setiap hari. Semoga kalian suka ya teman-teman.

Kata_Halusinisacreators' thoughts
Próximo capítulo