webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · Realista
Classificações insuficientes
147 Chs

Melepas dengan Ikhlas

Suara ketukan di pintu membangunkannya. Bukan ketukan. Tapi sudah berbunyi gedoran. Terdengar kencang. Hanjo membuka mata malas. Ia tidak bergerak. Terdengar lagi suara gedoran di pintu kamar. Ia tetap diam di spring bed.

Hanjo menunggu hingga gedoran ketiga. Setelah menunggu beberapa jenak tidak terdengar apa-apa, ia menyambar handuk dengan mulut cemberut. Dalam hati ia memaki-maki orang yang menggedor pintu. Tidak tahu etika. Orang tengah tidur diganggu dengan gedoran.

Pria berambut pendek itu berjalan sambil memaki-maki. Tak jelas pada siapa makian itu ditujukannya. Ia berjakan ke kamar mandi. Makiannya terhenti oleh guyuran air dari shower toilet.

Usai mandi, dengan kaos dan celana jeans longgar berwarna gelap, Hanjo turun ke lantai bawah. Perutnya terasa lapar. Tidak ada orang di ruang tengah. Pun di ruang tamu yang terbagi dua juga tidak ada orang. Sepi.

Hanjo meneruskan langkah ke ruang makan. Sudah tersedia nasi dengan sejumlah lauk pauk di meja makan bulat berkaca hitam. Ia duduk pada salah satu kursi. Beberapa detik ia duduk, Bik Sumi datang tergopoh. "Saya bikinkan teh susu panas, Tuan?" tanyanya.

Hanjo tidak menghentikan tangannya yang tengah menyendok nasi ke dalam piring, ia menganggukkan kepala tanpa semangat. Tidak dilanjutkannya suapan. "Ke mana mereka?"

"Mereka?"

"Lucya dan Melina."

"Oh, sudah kembali ke apartemen," jelas Bik Sumi.

Hanjo memulai suapannya. Setiap kali datang ke Jakarta, kedua putri Mamoi tidak mau nginap di rumah. Alasannya mereka juga punya apartemen. "Waktu datang inilah mesti nginap di sana. Selebih kosong melulu kan," begitu perkataan yang sering didengar Hanjo bila Mamoi bertanya kenapa mereka tidak mau nginap di rumah. Lucya punya apartemen di Slipi. Sementara Melina di Kawasan Blok M. Apartemen mewah.

Bik Sumi datang mengantarkan segelas teh susu panas. "Tadi Lucya pesan, ntar malam mereka mau ke sini. Tuan diminta tidak ke luar," sebutnya.

Hanjo menjawab dengan deheman. "Mau bicara apa?" tanyanya kemudian. Tiba-tiba ia merasa kedua putri Mamoi seperti sudah punya rencana tertentu perihal keberadaan dirinya sebagai ayah tiri yang tidak disukai.

Bik Sumi menggelengkan kepala. "Tidak tahu juga, Tuan. Mau datang itu saja pesan mereka," jelas Bik Sumi.

Tentu Bik Sumi tidak tahu. Ia sendiri juga belum tahu. Namun Hanjo bisa menebak maksud omongan yang akan disampaikan kedua anak tirinya itu. Tidak akan jauh dari persoalan aset yang ditinggalkan Mamoi.

Hanjo pindah duduk ke ruang tamu. Ia mengaku tidak takut berbicara secara resmi. Mengenai hal apa pun. Bahkan ia menunggu karena itu juga perlu bagi dirinya. Hanya saja Hanjo tidak menyangka bila langsung bicara hal itu hanya beberapa jam setelah jenazah istrinya dikuburkan. Tapi tidak masalah. Ia siap.

Hanjo beranjak ke teras. Di halaman depan tampak berjejeran papan bunga ucapan duka cita. Bahkan sampai di pinggir jalan. Terpasang di segenap tempat yang kosong. Mungkin sampai ratusan jumlahnya. Sebagian besar dari rekan kerja, mitra usaha dan teman-teman Mamoi

Mamoi memang punya banyak perusahaan. Ia kenal sebagai pengusaha wanita yang sukses di berbagai bisnis usaha. Ia mengeluti usaha perkebunan kelapa sawit, angkutan cargo, real estate dan perhotelan. Usaha terbaru yang semenja dua tahun ini digeluti adalah media online. Belakangan ini Mamoi seperti sangat syur sekali dengan media online yang fokus dengan berita ekonomi itu.

Mamoi juga aktif pada sejumlah organisasi pengusaha, perkumpulan sosial dan kelompok wanita, grup arisan serta grup atau kelompok lainnya. Pada beberapa organisasi dan perkumpulan ia tercatat sebagai pengurus.

Selesai makan malam sendirian, Hanjo berpindah ke ruang depan. Juga tidak ada orang. Biasanya rumah ini juga tidak banyak penghuninya. Cuman Mamoi dan Hanjo. Serta tiga orang pembantu. Karim yang sopir pulang sehabis kerjanya. Biasanya malam. Sementara dua petugas jaga di depan lebih banyak berada di pos jaga.

Biasanya teman Mamoi yang meramaikan rumah ini. Paling tidak setiap malam Sabtu dan Minggu selalu ramai yang datang. Bila tidak ke luar bersama, bikin acara di rumah. Ada-ada saja yang dibikin. Pasti ramai dan meriah. Kini tanpa Mamoi tentu tidak mungkin lagi mengadakan acara-acara itu.

Biasanya kursi jati Jepara yang dua set serta sofa hitam besar yang berada di ruang depan akan penuh dengan teman-teman Mamoi. Nyonya-nyonya setengah baya yang mulutnya tidak bisa diam dan janda-janda yang duduk menantang.

Kini, tidak akan lagi pemandangan itu. Tidak ada lagi hiruk pikuk yang biasanya sampai tengah malam. Bahkan tidak jarang pula sampai menjelang subuh.

Hanjo pindah ke teras. Meski suka merokok tapi paling tidak suka merokok dalam rumah. Bukan karena ruangan ber-AC. Dari dulu, sewaktu masih bujangan, ia sudah terbiasa tidak merokok dalam rumah. Selalu mencari tempat ke luar. Paling dekat ke teras depan atau samping.

Ia mengeluarkan rokok putih dan membakarnya. Habis beberapa batang belum ada juga yang datang. Dipanggilnya Bik Sumi.

"Jam berapa mau datang? Sudah pukul 8 sekarang," tanya Hanjo.

"Tak tau juga, Tuan. Katanya malam begitu aja."

Hanjo bersungut-sungut tak jelas.

"Mau saya bikinkan minuman, Tuan?"

"Coklat. Yang hangat,"

Halaman depan masih penuh dengan papan bunga. Diterangi lampu taman, bunga-bunga berbentuk tulisan itu seperti bunga yang hidup. Tampak berkilauan. Karena sesekali diterangi sinar lampu mobil yang berputar di pertigaan di depan rumah sebelah kiri.

Hanjo meneguk coklat hangat yang terletak di depan meja. Bik Sumi berdiri menunduk di ujung meja seakan menunggu perintah. Namun Hanjo menyuruhnya masuk. Tidak ada yang mesti dilakukannya.

Tapi belum sampai di depan pintu, Hanjo kembali memanggil Bik Sumi. "Ambilkan HP aku di meja makan," perintahnya.

Tak lama, Bik Bumi kembali. Ia menyerahkan HP. "Mana chargernya?" tanya Hanjo pula.

"Saya ambilkan lagi, Tuan," ujarnya sambil bergerak lagi ke dalam rumah.

"Kamu itu kalau kerja yang selesai. Jangan setengah-setengah."

"Iya, Tuan," angguk Bik Sumi.

Hanjo melirik layar HP-nya. "Sudah setengah sembilan. Belum datang juga mereka," keluh Hanjo.

"Mungkin sebentar lagi, Tuan," kata Bik Sumi menenangkan hati majikannya meski ia juga tidak pasti apakah mereka akan datang atau tidak.

"Ya, udah," Hanjo mengibaskan tangan menyuruhnya masuk. "Eh, kamu punya nomor HP mereka?" tanya pula.

"Lucya dan Melina maksud tuan?"

"Mereka berdua itu. Siapa lagi?"

Bik Sumi menggelengkan kepalamya. "Tidak ada, Tuan," jelasnya.

Hanjo membuka HP. Banyak masuk pesan mengucapkan turut berduka atas meninggalkan Mamoi. Dari kawan-kawan dan mitra kerja. Hanja hanya membaca. Tidak menanggapi atau menjawab.

Setelah cokelat habis dan rokoknya pun ludes, namun Lucya atau Melina tidak datang juga. Hanjo menekan kekesalannya dengan berjalan masuk ke rumah. Ia merasa tidak perlu berbicara lagi dengan Bik Sumi. Ia langsung naik ke lantai dua.

Hanjo duduk di balkon. Tidak ada juga yang mesti diperbuatnya. Tak mungkin pula tidur. Belum mengantuk. Masih belum pukul 21.00 WIB. Usai masuk ke kamar mengambil rokok, Hanjo kembali duduk di teras. Bukan di depan. Tapi teras samping. Ia merasa lebih nyaman di situ.