webnovel

Calon Imamku (Tamat)

Faezya Farzan, seorang mahasiswi jurusan PGMI, dia sering sekali bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih berparas rupawan dengan senyu manis, pria itu selalu mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya. Faeyza jatuh cinta dengan seorang pria dama mimpi tersebut, berusaha mencari dan terus mencari hingga hatinya tak mampu terbuka untuk pria lain, tak perduli bahwa dirinya akan dianggap gila. Dia hanya ingin bertemu dengan bersama pria tersebut. "Aku hanya inginkan dirimu, calon imamku."

Firanda_Firdaus · História
Classificações insuficientes
88 Chs

Episode 52

Istri mana yang tidak akan dilanda panik, cemas dan ketakutan bila Suami yang sangat dicintai pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit?

Faeyza berdiri di depan ruang IGD seperti orang gila, tatapan matanya kosong dan pandangannya hampa.

Tangannya terus menggenggam dompet milik sang Suami, sedikit pun tidak ada niat untuk membuat. Bahkan membayar tagihan rumah sakit masih diurus Angga, pria itu paham bagaimana perasaan istri dari Boss besarnya.

Baginya tidak masalah jika harus membantu, toh nanti bisa meminta ganti pada sang Boss.

Tak lama kemudian, Maulana datang bersama dengan Fransis dan Sui. Mereka segera menghampiri menantunya, tapi niat untuk bertanya diurungkan ketika melihat sang menantu begitu ketakutan hingga seperti orang tak waras.

"Faeyza, kamu jangan terlalu takut. Ayah dulu juga pernah sakit seperti Suamimu, tapi Ibu mu juga kuat. Sekalipun dia sering mencari orang untuk melampiaskan kesedihannya itu, percayalah, suamimu akan baik-baik saja, " kata Maulana memberi nasehat.

"Iya, Ayah. Aku berharap Maz Zein akan baik-baik saja, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa kalau Maz Zein meninggalkan ku." Air mata gadis itu tak bisa dibendung lagi, dia sungguh sangat khawatir dan tidak bisa membayangkan kalau sampai kehilangan sang Suami tercinta.

"Ini... Ini milik Maz Zein, Ayah. Aku tidak membukanya sama sekali, aku yakin isinya tidak sedikit. Aku takut untuk menggunakannya." Wanita itu menunjukkan dompet dan ponsel milik sang Suami.

Maulana tersenyum lembut, dia merasa menantunya itu sangat lucu. Apa yang salah jika seorang Istri menggunakan uang suaminya? Kenapa juga harus terlalu kaku seperti itu?

"Nak, itu milik Suamimu. Kalau kamu butuh untuk membayar tagihan rumah sakit, atau untuk keperluan mu, kamu gunakan saja. Suami mu sedang sakit, dia mungkin tidak terlalu bisa memikirkan uang belanjamu."

Faeyza mengangguk, tak lama kemudian dokter yang memeriksa Zein keluar dari ruang IGD. Wanita itu tidak berani untuk bertanya, dia takut kalau hasilnya akan buruk dan ia tak sanggup untuk menerimanya.

"Tenang, pasien sudah sadar. Dia hanya butuh istirahat, sekarang akan dipindahkan ke ruang perawatan."

Maulana mengangguk, dia tidak bertanya lebih lanjut karena mungkin itu permintaan sang buah hati agar Faeyza tidak cemas berlebihan.

Setelah sampai di ruang rawat, Faeyza  merosot terjatuh di samping ranjang sang Suami. Kakinya terasa sangat lemas, air matanya kembali tumpah tapi jemari mungilnya tetap menggenggam tangan sang Suami dan menciumnya.

"Mas, aku sangat takut. Mas jangan sakit lagi, Mas harus berobat. Aku tidak bisa menahan tangisan ini, huhuhu."

Zein meraih tangan sang Istri, untungnya dia punya Ayah yang sangat pengertian. Ketika berada di ruang rawat, Ayahnya itu langsung membawa orang-orang keluar meninggalkan dirinya dan sang Istri.

"Sayang, ayo bangun. Jangan duduk di bawah begitu, maafkan Mas ya. Mas juga tidak tahu kalau ini akan terjadi, tapi Insya Allah, Mas akan menjalani pengobatan. Tapi Mas minta kamu bangunlah." Dia ingin bangun dari posisi tidurnya tapi sangat sulit karena tubuhnya masih sangat lemah.

"Kaki ku lemas, Mas. Dari tadi aku manahan ketakutan dalam hati, aku bahkan tak berani menyentuh makanan apapun," balas Faeyza sambil menghapus air matanya.

Zein tersenyum, ia mencoba untuk bangun meski rasanya sangat sulit tapi tidak ingin membuat wanita itu semakin khawatir padanya.

Cklek...

"Biar aku saja, Maz. Aku akan bantu kak Faeyza, Mas Zein istirahat saja." Untung saja Ulfi datang tepat waktu, dia segera menghampiri kakaknya dan membantunya untuk berdiri.

"Ulfi, Mas sangat berterimakasih. Maaf sudah merepotkan," balas Zein tidak enak hati.

"Mas jangan sungkan, kak Faeyza adalah kakakku. Lagi pula Mas juga sedang sakit, jadi aku tidak akan keberatan untuk membantu," jawab Ulfi sambil tersenyum.

"Ulfi, kok kamu kesini Dek? Apakah Ibu juga kesini, Dek?" tanya Faeyza.

"Iya aku tahu datang mang kenapa si kak?" Ulfi mendekatkan bibirnya di telinga Faeyza.

"Siapa tahu aku bisa lihat Mas Zein tidak pakai baju," bisiknya.

Mata Faeyza membulat sempurna, dia menoleh ke arah Adiknya itu. Tangannya langsung mencubit lengan sang Adik dengan gemas.

"Aw..."

Zein terkejut, dia mengalihkan perhatiannya pada kedua gadis tersebut.

"Kenapa?"

"Ahahah... Tidak apa-apa, Maz. Maz istirahat saja, aku akan menunggu Mas di sini," kata Faeyza tertawa garing, mana mungkin dia akan mengatakan yang sesungguhnya.

"Ih, kak Faeyza. Berbohong itu dosa lo kak, sakit tahu dicubit," omel Ulfi mengelus lengannya yang terasa panas.

"Maz, apakah Mas tidak ingin menikah lagi? Bukankah pria itu boleh menikahi dua orang wanita atau lebih, aku mau kok Mas jadi istri kedua. Aku jamin servis ku lebih baik dari kak Faeyza."

Zein tersenyum aneh, tidak menyangka kalau adik iparnya juga menginginkan dirinya untuk menjadi Suami.

"Nggak, aku tidak setuju. Aku tidak setuju kalau Maz Zein nikah lagi, Maz Zein hanya akan memiliki seorang Istri yaitu aku, Faeyza Farzan," serah Faeyza sambil memeluk Suaminya erat, seakan sedikit saja dilepas maka pria itu akan diambil orang.

"Ulfi, selain mas hanya ingin menikahi satu orang wanita, menggabung dua orang saudara kandung itu juga dilarang oleh Allah. Hal ini tercantum dalam surat an nisa ayat 23,coba Ulfi baca," kata Zein lembut dan sabar.

"Nah, tu. Kamu jangan sembarangan! Mas Zein bukan pria yang mudah digoda, tapi suka menggoda." Faeyza memerah saat mengatakan bahwa Suaminya suka menggoda.

"Ah, terserah kalian deh. Aku mau pulang saja, oh aku lupa bilang. Sebenarnya aku agak malu si, tapi mau bagaimana lagi aku sungguh sangat butuh." Ulfi menatap kakak dan kakak iparnya tidak enak, dia ingin mengatakan kalau belum bayar uang kuliah dan orang tuanya belum ada uang.

"Ulfi, apakah ini mengenai biaya kuliah?" tanya Zein penasaran.

Ha?

Faeyza menoleh pada sang Suami, entah kenapa pria itu terlihat lebih perhatian pada Adiknya membuat hatinya tidak tenang saja.

"Mas, kok Mas lebih tahu si?"

"Aduh kakak, Maz Zein itu bukan lebih tahu tapi pengertian. Nggak kak Faeyza, aku harus gimana dong kak? Ayah dan Ibu belum ada uang, bagaimana kalau kakak pinjami dulu? 2 juta," kata Ulfi sedikit jengkel pada saudaranya itu.

"Mas, boleh tidak?" tanya Faeyza dengan tampang memohon, dia tidak tega juga kalau melihat adiknya kebingungan membayar uang kuliah.

Zein tersenyum."Istriku, aku sangat senang kalau kamu bersedia membantu orang yang membutuhkan. Tidak perlu kamu pinjami, kasih saja. Itu juga untuk menuntut ilmu."

"Wah, Maz Zein memang sangat pengertian." Terlalu senang, Ulfi hampir saja memeluk pria rupawan tersebut kalau saja Faeyza tidak merentangkan tangan di depan adiknya.

"Ah, padahal aku sudah sangat senang kalau bisa memeluk Maz Zein. Sudahlah, aku yang penting sangat senang. Besok jangan lupa kakak datang ke ruang TU dan bayar uang kuliahku. Aku pulang dulu...dah.." Ulfi sengaja menggoda kakaknya, setelah puas dia langsung membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruang rawat kakak iparnya tersebut.