webnovel

Broken wedding

18+ Yang selalu Amara bayangkan dari sebuah pernikahan adalah laki-laki yang mencintainya, rumah tangga yang harmonis dan ... anak-anak yang menggemaskan. Tapi, bayangan itu semua hancur saat dia harus menikah dengan laki-laki dingin bernama Daneil Brown. Karena hutang budi, Amara tak dapat menolak saat kedua orang tua laki-laki itu memintanya untuk menikah dengan anak mereka. Sedari awal Amara tahu, pernikahan yang ia jalani adalah sebuah pernikahan yang rusak. Ia tahu pondasi awal pernikahan mereka sudah salah lebih dulu, jadi hanya menghitung waktu untuk bangunannya roboh. Tapi, Amara tak ingin pernikahannya benar-benar rusak. Ia terus berusaha untuk memperbaiki pondasi bangunannya. Ia terus berusaha mempertahankan pernikahannya meskipun ia tahu dirinya berjuang sendirian. Tapi, setelah berjuang yang tak ada artinya bagi sang suami. Pada akhirnya Amara menyerah. Dia biarkan bangunan itu roboh. Siapa sangka, ditengah keputusasaan Amara. Daneil malah berbalik arah, menginginkannya. Dia menahan Amara disaat wanita itu akan pergi. Tapi, semua sudah terlambat. Amara sudah pernah berjuang dan memberikan lelaki itu kesempatan, tapi lelaki itu menyia-nyiakannya. Dan kini, waktu yang Amara berikan sudah habis. Tak ada lagi kesempatan untuk laki-laki itu. Inilah pernikahan yang rusak.

CucokStory · Urbano
Classificações insuficientes
160 Chs

Lima

"Non, non, bangun non." Tepukan pelan di bahunya membangunkan Amara yang tak sadar tertidur di meja makan. Gadis itu sengaja menunggu suaminya, untuk makan malam bersama. Tapi, entah berapa lama Ia menunggu hingga akhirnya dia ketiduran.

"Kenapa Bik? Apa Daneil sudah pulang?" Amara mengucek kedua bola matanya, pandangan gadis itu terlihat sayu menahan kantuk. Sebelum kemudian Ia lirik jam dinding yang ternyata sudah menunjukan angka sebelas malam.

Bik Asih memandang kasihan pada majikannya. "Sudah sedari tadi Tuan Daneil pulang," ujar Bik Asih pelan.

Entah mengapa, tiba-tiba saja kantuk yang menyerangnya menghilang. Ia pandang pembantunya terkejut, "kenapa Bik Asih nggak bangunin Aku dari tadi," Amara mulai bangkit berdiri.

Bik Asih tak berucap saat melihat majikannya itu berlalu terburu-buru menaiki undakan anak tangga. Bisa Ia tebak setelah ini apa yang akan terjadi. Pasti, Tuannya Daneil tak akan mau memakan makan malamnya. Padahal Nyonyanya sudah menunggu lama, dan menahan rasa laparnya mungkin.

Amara dengan segera membuka gagang pintu kamar miliknya dan milik Daneil. Pemandangan pertama yang Ia lihat saat pintu terbuka adalah tubuh atas suaminya yang bertelanjang dada. Mungkin lelaki itu baru selesai mandi, terlihat dari rambut basahnya.

Tanpa kata Amara langsung membalikan tubuhnya memunggungi Daneil. Nyatanya walaupun sekarang mereka sudah menjadi suami-istri, melihat pemandangan tubuh atas telanjang suaminya masih terasa risih untuknya.

"Oh, Maaf. Aku tidak tahu," ujar gadis itu kembali kali ini terdengar malu, bahkan pipinya bersemu merah.

Daneil yang mengetahui itu, dengan segera mengenakan kaosnya. "Ada apa?" tanyanya kemudian.

Amara membalikan tubuhnya, Ia bernafas lega saat melihat tubuh atas suaminya sudah mengenakan baju. "Aku sengaja menunggumu, agar kita bisa makan malam bersama." Gadis itu menunjukan senyum manisnya.

Daneil terlihat tak acuh, bahkan lelaki itu berlalu menuju ranjang. "Aku sudah makan malam," Ia duduk di pinggir ranjang, memandang Amara yang tak bergeming dari depan pintu.

Amara menelan gumpalan kecewa dalam tenggorokannya. Sebisa mungkin, gadis itu mempertahankan senyumannya. "Tapi, kata Bik Asih kamu selalu makan malam di rumah."

Daneil mengulas senyum sinis, mengejek. "Itu sebelum kamu datang,"

Amara terperangah, entah kenapa perasaan ngilu mulai menyerang dirinya. Apakah usahanya hanya akan sia-sia? Ah, ini masih hari pertama. Semangatnya dalam hati.

Ditengah perasaan kecewa yang melandanya, nyatanya gadis itu masih dapat mempertahankan senyumannya. "Baiklah kalau begitu, aku kebawah dulu untuk makan malam. Apa kamu yakin kamu tidak lapar? Aku bisa menghangatkannya jika kamu merasa lapar." Amara masih berusaha, dengan menatap penuh harap pada suaminya. Setidaknya hargailah dirinya yang sudah bersusah payah untuk memasakannya makanan juga menunggunya pulang.

Daneil mendengus, "apa kamu tuli, aku bilang aku tadi sudah makan malam di luar. Dan sekarang aku ingin tidur, jadi jangan mengangguku lagi."

Amara mengangguk, Ia menatap suaminya yang kini merebahkan tubuhnya di atas kasur. Gadis itu mulai melangkah keluar kamar dengan menutup pintu secara perlahan, takut jika suara pintu yang bergesekan dengan engsel akan mengganggu suaminya.

🌹🌹🌹

"Loh, Bik Asih masih disini?" Amara terkejut saat memasuki dapur Ia melihat pembantunya masih berkutat di depan kompor.

Bik Asih menoleh, tersenyum tipis pada Nyonyanya. "Iya Non, Bibik baru manasin masakannya Non. Non mau makan kan?"

Amara tersenyum mengetahui hal itu, pembantunya ini ternyata sangat pengertian. "Iya Bik," angguk Amara pelan.

Bik Asih tersenyum, "kalau gitu Non tunggu aja di meja makan. Nanti saya yang bawa ke sana Non,"

Perasaan lelah karena usahanya yang tak dihargai Daneil. Membuat Amara hanya mengangguk, lalu mulai melangkah menuju ruang makan. Gadis itu tersenyum saat pembantunya mulai menghidangkan menu makan malam di meja makan.

"Ayo Bik, ikut makan!" Ajak Amara menepuk kursi di sebelahnya.

Bik Asih tersenyum, kemudian menggeleng. "Bibik tadi udah makan Non, Non aja." Ujarnya menolak halus tawaran Amara.

Amara terlihat memberenggut. "Nggak perlu malu, ayo, temenin aku makan Bik. Kalaupun udah makan, makan lagi nggak papakan?" Ujar Amara keukeh.

Bik Asih menggeleng tak terima dengan ucapan Nyonyanya. "Serius Non, saya tadi udah makan. Saya udah tua Non, kalau makan banyak-banyak takutnya kolesterol naik." Ucapan itu disambut tawa kecil Amara.

"Yaudah kalau gitu, duduk aja Bik. Nemenin aku makan,"

Bik Asih mengangguk, mulai ikut duduk di samping Nyonyanya. Ia menatap gadis yang kini mulai memakan makanannya dalam diam. Bisa Ia lihat, jika Nyonyanya sesekali menghela nafas. Tapi berusaha untuk tak menunjukan kesedihannya.

"Bibik yakin, Non pasti bisa mendapatkan hatinya Tuan Daneil!" ujar Bik Asih tiba-tiba, terdengar sarat akan semangat.

Amara yang mendengar itu tentu langsung tertawa, merasa lucu dengan ucapan pembantunya. "Bik Asih lucu," gadis itu menggeleng pelan, lalu kembali menyuap makanan.

"Loh, Bibik serius Lo non." ujar Bik Asih tak terima saat Amara membalas ucapannya dengan tawa kecil, seolah ucapannya hanyalah bahan candaan.

Amara mengangkat wajahnya, kini tak ada ekspresi di wajahnya. Gadis itu kemudian tersenyum tipis, "iya," lirihnya pelan.

Melihat wajah Nyonyanya kembali murung, membuat wanita lanjut itu merasa tak enak. "Non hanya perlu berusaha, jangan mudah menyerah ya non?" Pinta Bik Asih.

"Apa menurut Bik Asih Aku bakal bisa mempertahankan pernikahan ini?" tanya Amara ragu memandang dari balik bulu matanya pada Bik Asih.

Bik Asih mengangguk cepat, "pasti! Bibik yakin itu Non!" jarnya semangat, yang lagi-lagi dibalas tawa oleh Amara.

🌹🌹🌹

Amara menggeliat, kedua tangannya mulai mengucek kedua bola matanya. Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Ia kemudian bangkit duduk. Gadis itu menoleh dan mendapati suaminya masih tertidur pulas. Tanpa sadar hal itu mengundang senyum tipis di bibirnya, semalam sempat terjadi percecokan antara dirinya dan Daneil mengenai dimana Ia tidur. Namun, pada akhirnya lelaki itu mengalah dengan membiarkannya tidur di kamarnya.

Selang beberapa menit, Daneil terlihat menggeliat. Sebelum kemudian kelopak mata lelaki itu terbuka. Melihat dirinya yang memandanginya, sontak membuat Daneil terperanjak hingga terduduk.

"Selamat pagi," sapa Amara tersenyum manis.

Daneil mendengus, sama sekali tak berminat membalas sapaan itu. Lelaki itu lebih memilih bangkit berdiri, lalu mulai berjalan ke arah kamar mandi.

Seolah tersadar Amara dengan segera bangkit dari ranjang. Pertama-tama gadis itu menata selimut dan bantal hingga terlihat rapi. Kemudian Ia mulai melangkah menuju lemari pakaian suaminya, memilihkan pakaian untuk suaminya kenakan ke kantor. Dan pilihan Amara jatuh pada kemeja merah jambu dan celana hitam. Setelah meletakan setelan baju itu di atas kasur. Amara dengan segera berlari menuju dapur, Ia harus menyiapkan sarapan untuk Daneil.

Memasuki dapur, ternyata pembantunya sudah terlebih dahulu disana. Terlihat berkutat dengan sayur-mayur. "Masak apa Bik hari ini?" tanya Amara berjalan mendekati pembantunya sambil menggelung rambutnya.

Bik Asih menoleh, memandang Nyonyanya yang berjalan mendekat padanya. "Pagi Non, ini saya mau masak sayur lodeh sama ikan digoreng." Jelasnya menunjukan bahan masakan yang ada di meja.

Amara mengangguk, "biar aku bantu Bik," ujarnya mengambil pisang lalu mulai memotong terong.

Tak butuh waktu lama, makanan itu sudah tertata rapi di meja makan. Berbeda dengan Amara yang tersenyum bangga melihat hasil masakannya, tentunya dengan Bik Asih. Bik Asih terlihat hanya menghela nafas, melihat semangat pada wajah Nyonyanya.

Mendengar suara langkah kaki menuruni tangga, Amara dengan segera berjalan mendekat. Senyum gadis itu luntur, saat Ia melihat Daneil yang tak mengenakan setelan pakaian yang sudah Ia pilihkan. Lelaki itu terlihat mengenakan kemeja putih dan celana semu biru tua.

Kembali memasang senyum, Amara berjalan hingga berada dihadapan suaminya. "Daneil ayo sarapan, aku sudah memasakanmu." ujarnya menyentuh lengan lelaki itu.

Daneil mengangkat lengannya, melepas pegangan Amara dari sana. "Kamu tahu apa jawabankukan?" tanya Daneil tanpa ekspresi.

Amara terperangah, "tidak," ujarnya kini tanpa senyuman.

"Keras kepala," gumam Daneil melangkah meninggalkan Amara yang masih terpaku.

Daneil kembali berhenti, tapi tidak menoleh. "Berhenti melakukan sesuatu yang sia-sia Amara," ujarnya kembali melanjutkan langkahnya.

"Jangan!"

Daneil berhenti mendengar ucapan yang mengandung perintah itu. Ia membalikan tubuhnya, memandang dengan alis berkerut pada istrinya.

Amara mengangkat wajahnya, memandang mata hitam milik suaminya. Gadis itu kemudian melangkah hingga dihadapan Daneil. "Jangan menyuruhku untuk berhenti, walaupun kamu terus menolak dan tak menghargai usahaku. Tapi aku mohon jangan menyuruhku berhenti,"

Daneil terdiam, Ia kemudian berdehem. "Kalau begitu terserah," ujarnya tak acuh berlalu pergi dari sana.

Amara mengangguk, sama sekali tak menghalangi suaminya. Untuk beberapa saat Ia masih terdiam dengan pikiran berkecamuk. Hingga panggilan dari Bik Asih menyadarkannya.

"Sudah non, Tuan Daneil memang tidak pernah sarapan." Hibur Bik Asih.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

CucokStorycreators' thoughts