8 Chapter 8 - Merasa Tertantang...

Merasa tertantang, Zen mendekat. Seperti biasa, selalu menemukan cara untuk mengunci akses Daisy untuk tidak bergerak. Dan Daisy bagaikan mangsa bagi seekor predator. Menggoda dan terasa nikmat.

Zen lalu membuang wajahnya. Berbalik dan menuju balkon lagi. Nafasnya tersengal-sengal. Ia tak bisa melakukan hal itu pada Daisy. Tidak sebelum ia dan Daisy menikah. Menjadi sah sebagai pasangan suami istri di muka agama dan negara.

"Kenapa? Aku pikir kamu mau melakukannya denganku," tanya Daisy. Kini Daisy seolah haus akan belaian Zen, tapi rupanya tidak mudah membuat Zen langsung jatuh begitu saja pada lembah milik Daisy.

"Belum waktunya, Daisy. Lagi pula, apa yang membuatmu berpikir aku mau melakukannya?"

"Lebih baik kamu antar aku pulang. Katamu kamu dan keluargamu akan datang ke rumahku, kan?" tanya Daisy kemudian. Ia mencoba mengalihkan suasana lalu bergegas menuju kamarnya untuk bersiap.

Sampai rumah Neva, Zen segera bersiap. Ia sebenarnya agak kebingungan untuk melamar anak orang. Sebab ini pertama kalinya bagi Zen melakukan hal itu. Dulu dengan Kanya ia tidak bisa. Bukan karena tidak mau, melainkan Kanya-lah yang memutuskan untuk tidak menikah dengan Zen.

"Kamu siap?" tanya Neva pada putranya.

Zen mengangguk. "Ya, selalu siap. Papa mana?" Hari ini juga adalah hari pertama Zen bertemu dengan Papanya, Gerald, setelah Neva dan Gerald bercerai. Bagaimana pun juga, dukungan di dampingi orang tua lengkap sangat berarti bagi Zen walau ia masih begitu membenci Papanya sendiri.

"Nah, itu dia. Ayo, kita berangkat," ujar Neva begitu klakson khas Gerald berbunyi.

Saat sampai rumah Daisy, kedatangan Zen dan keluarganya di sambuk baik. Tak perlu berlama-lama atau berbasa-basi, acara lamaran berlangsung begitu cepat. Tinggal menentukan tanggal pertunangan dua bulan lagi, dan pernikahan di dua bulan berikutnya.

"Daisy ternyata cantik, ya. Om bangga karena Zen mendapatkan kamu," ucap Gerald memuji.

Zen hanya diam. Ia membiarkan waktu luang keluarganya untuk berinteraksi dengan keluarga Daisy.

"Terima kasih, Om. Om kok, saya nggak pernah lihat Om ya? Maksudnya saat saya ada di rumah Tante Neva," tanya Daisy polos.

Semua diam. Hening. Memang tidak ada yang memberitahu Daisy mengenai hubungan kedua orang tua Zen. Bahkan Zen pun tak memberitahunya.

Sekarang mereka saling berpandangan. Zen menoleh Daisy dan memberikan gestur untuk memperbaiki pertanyaannya.

"Oh, maaf, Om... lupakan pertanyaan saya tadi."

Gerald tertawa kemudian. Tawa yang menggelegar mengisi isi rumah Daisy. "Nggak apa-apa, Daisy. Mungkin Zen belum memberitahumu. Yah, kita sudah sama-sama dewasa, ya. Tapi Om akan mengatakan sama kamu, kalau Om dan Tante sudah bercerai tiga tahun ini," jelas Gerald.

Daisy malu. Ia pun menunduk dan meminta maaf. Bahkan ia mencoba pamit diri ke belakang demi meloloskan dirinya dari pandangan kesal Zen.

Zen mengikutinya. Berdiri di ambang pintu dapur dengan kedua tangan di saku celana. Tampan dan memesona.

"Aku nggak marah. Memang salahku nggak memberitahu kamu. Maaf," ujar Zen.

Daisy pikir, Zen akan memarahinya atau semacamnya. Begitu tahu Zen mengikutinya hanya untuk menjelaskan, ia merasa lega.

"Maaf, aku juga seharusnya nggak bertanya hal itu. Cuma rasanya memang penasaran, Zen."

Zen mendekat. Menatap Daisy lekat. Matanya yang tajam dengan bulu mata lentik yang jarang sekali ada di laki-laki mana pun, membuat Daisy berdegup kencang.

"Mereka bercerai. Papa selingkuh. Mama korban. Tapi interaksi mereka tetap bagus, demi aku. Hanya itu."

"Lalu Papamu menikah lagi?"

Zen mengangguk. "Ya. Bukan dengan selingkuhannya tapi. Wanita lain."

Daisy menelan salivanya. Terdengar jelas di telinga Zen dan ia tersenyum. "Aneh, bukan? Punya selingkuhan tapi menikah dengan wanita lain. Bukan hal besar yang perlu dipikiri, Daisy. Hanya itu yang bisa aku beritahu sama kamu."

Daisy mengangguk. Ia tak bisa membalas penjelasan Zen, apa pun itu. Baginya, menerima informasi dari Zen saja sudah cukup untuknya.

"Ayo, kita kembali," kata Zen kemudian.

***

Sudah dua hari sejak lamaran itu, Zen belum bertemu dengan Daisy. Mereka hanya berkomunikasi melalui ponsel. Tapi tetap Zen memantau Daisy dari mata-mata yang ada di mana pun. Sehingga sejauh ini Daisy tidak melakukan hal-hal aneh.

Lalu sejak dua hari ini juga, Kanya selalu menghubunginya. Seolah sengaja mengganggu hidup Zen. Padahal uang bulanan untuk anaknya sudah ia kirim sesuai dengan kesepakatan. Namun entah apa motif Kanya yang muncul begitu saja. Membuat Zen tak tenang. Ia takut jika Daisy datang tiba-tiba atau melihat tanpa sengaja.

Zen segera mengerahkan anak buahnya untuk memberitahu jika suatu saat Daisy datang. Ia harus bergerak cepat dan bersembunyi sebelum ia kehilangan Daisy karena Kanya.

"Kanya," ucap Zen saat mereka membuat janji temu di sebuah tempat tersembunyi.

Kanya tersenyum menatap Zen. Tampak tenang dan anggun. Namun Zen membencinya. Sejak tahu bahwa Kanya tak ingin dinikahi, Zen sudah membencinya.

"Ada apa lagi? Aku kira uang untuk Vista udah cukup."

"Ayolah, Zen. Kamu nggak perlu terlalu tegang begitu. Mana Zen yang begitu tenang dan kalem?"

Zen menahan emosinya. Ia tak boleh marah di hadapan Kanya. Karena jika ia terpancing emosi, maka Kanya merasa senang dan puas.

"Baiklah... ada apa?" Kali ini Zen membuat dirinya serelaks mungkin. Sebuah tipuan tapi bekerja secara baik di hadapan Kanya.

"Aku mau memasukkan Vista ke paud. Butuh uang. Yang biasa kamu kirim itu untuk bulanannya aja. Jadi, apa bisa?" tanya Kanya.

"Oke. Akan segera aku transfer." Zen segera memainkan ponselnya. Mengutak atik untuk mengirim sejumlah uang yang banyak ke rekening Kanya.

"Jadi, benar? Kamu punya wanita simpanan?" tanya Kanya di sela kesibukan Zen dengan ponselnya.

Zen belum membalasnya. Sampai suara notifikasi di ponsel Kanya berbunyi. Kanya pun melihat ponselnya dan tersenyum.

"Jawabannya ya dan kamu bisa segera pergi," kata Zen kemudian.

Kanya berdiri meraih tasnya. "Oke. Tenang aja, rahasiamu aman di aku, Zen. Aku bukan perusak hubungan orang."

Tanpa ucapan dari Zen, Kanya berbalik dan pergi dari hadapan Zen. Baru setelah itu Zen mampu bernafas lega. Ia lalu melihat layar ponselnya untuk melihat pergerakan apa yang sedang Daisy lakukan melalui CCTV.

"Apa? Kenapa kamu baru bilang sekarang, Zen? Mama kan, bisa mengurus Kanya kalau dia berkeliaran begitu," ucap Neva yang sedang berkunjung ke kantor Zen.

Zen merasa kepalanya pusing. Ia hanya duduk sembari menyentuh pelipisnya. Ia terpaksa memberitahu Neva mengenai kemunculan Kanya sebab Neva melihat ada yang berbeda pada putranya itu.

"Dia sudah diam, Mam. Saya sudah mengirim uang sesuai kebutuhannya," ucap Zen tenang.

Neva tak bisa tenang. Ia mondar mandir di hadapan Zen dengan kedua tangannya dilipat. "Ini nggak bisa dibiarkan! Dia tahu kamu punya segalanya termasuk uang, sudah pasti dia hanya memerasmu, Zen! Kalau nggak, kenapa juga dia nggak mau kamu nikahi? Wanita jalang!"

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah Neva ketika marah. Seperti Zen yang mengikuti jejak sifat Neva. Mudah marah dan emosi. Apalagi Neva seorang wanita, tentu ia tahu bagaimana situasi ini terjadi.

"Bagaimana Daisy?" tanya Neva kemudian.

"Aman. Dia baik-baik saja, Mam."

"Jangan biarkan dia atau keluarganya tahu. Kanya mungkin bukan perusak hubungan orang, tapi kita nggak tahu Zen, jangan sampai dengan rahasia kamu memiliki anak, dia gunakan pada Daisy untuk memerasmu. Kamu paham kan, maksud Mama?"

Zen mengangguk. Ia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hanya saja kemunculan Kanya memang mengejutkannya.

Suara pintu terketuk. Zen dan Neva saling berpandangan. Biasanya siapa pun selalu masuk begitu saja. Sementara yang selalu mengetuk pintu ruangan Zen adalah... Daisy?

Zen membelalakkan matanya. Entah apakah Daisy mendengarnya atau tidak, Zen tak bisa tenang.

avataravatar
Próximo capítulo