webnovel

BETRAYAL || MARRIAGE LIFE

Ketika sebuah pernikahan yang sudah hancur di awal, tidak akan bisa bertahan sampai akhir jika salah satunya masih menyembunyikan sebuah rahasia besar dan pastinya membuat semua orang muak. Seo Nayoung, wanita yang menyukai seni lukis ini begitu mencintai suaminya Ahn Jungguk. Sampai tidak sadar, bahwa sang suami bermain api di belakang dirinya selama ini. Tapi yang membuat Nayoung merasa dirinya dikhianati, adalah sahabat yang sudah ia anggap kakak juga mengetahui suaminya berselingkuh tanpa mengatakannya. Bahkan orang-orang terdekatnya juga menutupi itu semua darinya. Dan sekarang, Nayoung berpikir betapa bodohnya dia. Bae Jaemin datang ke kehidupannya, memberi secercah harapan yang mungkin bisa Nayoung raih kembali setelah di hancurkan oleh suaminya sendiri. Pernikahan yang sempurna dan bahagia, itu harapan Nayoung sejak dulu.

Allia_Za · Outros
Classificações insuficientes
9 Chs

BAB 2

Bandara Incheon hari ini di penuhi beberapa orang yang akan pergi atau pulang ke negara asalnya ada juga yang akan menjemput sanak saudaranya yang baru datang dari luar kota atau luar negeri. Termasuk, Seorang gadis yang baru saja keluar dari pintu kedatangan luar negeri.

Penampilannya terlihat seperti gadis pada umumnya, yaitu mengutamakan Fashion berkelas. Gadis itu memakai blazer dan rok pendek selutut berwarna biru muda dengan motif kotak-kotak, tak lupa kacamata hitam yang menempel sempurna di atas hidungnya serta sepatu hak tinggi warna hitam yang ia kenakan membuatnya lebih percaya diri berjalan di antara kerumunan orang-orang yang berada disini.

Gadis itu menyeret koper besarnya sembari mencari seseorang yang akan menjemputnya di bandara.

Ia menghirup udara Seoul setelah sekian lama menetap di negeri orang. Kemudian, melepas kaca matanya dan meletakkannya di atas kepala.

Ia tersenyum mengingat kembali, alasan ia pulang ke tanah kelahirannya. Tentu saja mencari seseorang yang sudah lama tak ia temui dan beberapa alasan lainnya, yang terpaksa membuatnya ke negara ini lagi.

Seseorang menepuk bahunya dari belakang, gadis itu membalikkan tubuhnya.

"Kenapa lama sekali? di sini panas dan aku lelah." ucap ketus. Ia menyerahkan kopernya pada asisten sang ayah, lalu pergi mendahului pria muda itu.

Si pria mengikuti dari belakang, seraya menyeret koper Putri dari atasannya. Yang lumayan berat.

"Dimana mobilnya?"

"Ada di parkiran. Mari ikuti saya, nona."

***

Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di halaman belakang sebuah SMA. Terlihat dua orang siswa laki-laki sedang bertengkar. Di tempat itu ada juga beberapa siswa yang melihat, namun tidak ada yang melerai keduanya sejak 15 menit yang lalu.

"Brengsek, sialan kau."

Si siswa laki-laki berambut coklat itu memukul temannya tanpa ampun. Saat si siswa berambut coklat itu lengah, si temannya yang menjadi bahan pukulan sejak tadi membalasnya dengan memukul kembali kepalanya.

Aksi pukul memukul itu tidak bisa di hentikan, Sampai seorang siswi perempuan berlari ke arah mereka dengan di susul guru laki-laki yang membawa tongkat kayu yang biasa guru itu pegang. Guru Kim membawa tongkat kayu, hanya untuk menakuti beberapa siswa yang terlambat datang ke sekolah.

"Hei, apa yang kalian lakukan. Berdiri," teriaknya pada dua siswa tersebut.

Siswi perempuan yang datang bersama guru Kim, mencoba membantu si siswa berambut coklat dengan hati-hati. Namun di tepis dengan kasar olehnya, membuat siswi cantik itu hampir oleng.

"Kalian juga, bukannya melerai malah membiarkan dan menontonnya. Kembali ke kelas kalian, cepat." Guru Kim memberi tatapan tajam pada semua siswa yang menonton perkelahian itu, dan tentu saja mereka berlari kalang kabut menuju kelas masing-masing.

Guru berperut buncit itu, mengalihkan pandangannya pada dua orang siswa yang terduduk lemah di tanah itu.

"Seo Sobin, Nam Hyunjae. Kalian ikut saya, sekarang!"

"Dan kau, Chae Sarang. Kembali ke kelasmu." Kemudian guru itu pergi dari sana.

"Baik, pak." Sarang menundukkan kepalanya sebentar, lalu melihat ke arah Sobin yang menatapnya dingin.

Dengan langkah malas, Sobin dan Hyunjae pergi mengikuti Guru Kim ke ruangan kedisplinan.

Sarang menghembuskan nafasnya. Ia tertunduk sedih melihat tatapan Sobin tadi.

"Sampai kapan, Kak Sobin seperti itu padaku? Apa salah menyukai seseorang?"

Di ruang kedisiplinan, Sobin dan Hyunjae Mendengar malas ocehan Guru Kim yang menurut mereka sangat membosankan.

"Hah, anak zaman sekarang bisa-bisanya bertengkar hanya karena seorang gadis." keluh Guru Kim sambil memandang dua siswanya ini.

"Aku tidak akan bertengkar, jika dia yang tidak memulai duluan pak. Lagipula, aku tidak memperebutkan seorang gadis dengannya. Dia saja yang terlalu jelek, makanya para gadis yang di sukainya jatuh hati padaku." terang Sobin yang membuat Hyunjae yang di sebelahnya menahan geraman. Ia ingin bersiap memukul Sobin kembali, namun terhenti saat suara guru lain memanggil Guru Kim.

"Guru Kim, Siswa yang akan pindah ke sekolah ini akan masuk minggu depan. Dia akan berada di kelasmu sampai kelas 3."

Guru Kim mengangguk paham. Lalu setelahnya, Guru wanita yang memanggilnya tadi pamit undur diri.

Guru Kim memijit pelipisnya pelan, merasa pusing melihat tingkah dua siswanya. Bukan hanya sekali dua orang ini bertengkar, tapi sudah kesekian kalinya anak didiknya ini bertengkar dengan alasan tak masuk di akal. Dan kesekian kalinya juga Guru Kim memanggil kedua orang tua siswanya ini, dan memberi skor untuk keduanya.

"Bapak tidak mau tau, orang tua kalian harus datang pada bapak besok pagi. Dan kau Sobin, Panggil ayahmu bukan kakakmu mengerti?"

Sobin mendengus pelan. Lalu mengangguk kecil.

"Kembali ke kelas kalian," usir Guru Kim dengan menggunakan tongkat kayunya.

Sobin dan Hyunjae berjalan keluar dari ruangan kedisplinan. Sesekali ia melirik tajam pada Hyunjae yang tertawa mengejeknya.

"Kau yakin, membawa ayahmu? Haha. Hah, aku rasa ayahmu akan langsung mencoretmu dari kartu keluarga jika pria tua itu tau kelakuanmu selama ini." Hyunjae langsung berlari pergi, ketika Sobin ingin memukulnya lagi. Siswa bernama Hyunjae itu, masih sempat-sempatnya mengacungkan jari tengahnya pada Sobin.

Sobin meringis menahan sakit pada sudut bibirnya. Ia menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya dengan menggunakan ibu jarinya.

"Aish, sialan."

Chae Sarang, adik kelasnya tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sambil menyodorkan tisu basah dan obat merah padanya. Gadis cantik itu menundukkan kepalanya, takut.

"Ini. Obati luka kakak dengan ini, tadi aku mengambilnya dari ruangan kesehatan." ucapnya dengan nada khawatir.

Jujur saja, Sarang sudah lama menyukai kakak kelasnya. Mungkin saat dia baru masuk ke sekolah ini satu tahun lalu. Menurutnya, Sobin sangat tampan dan baik. Sarang sering melihat Sobin bermain basket bersama teman-temannya di lapangan, dan Sarang hanya bisa melihatnya dari kejauhan.

Namun, kemarin ketika pulang sekolah Sarang seperti biasa melihat permainan basket Sobin sampai sore dan di temani temannya yang kebetulan punya pacar yang seorang pemain basket juga.

Saat asyik memandang Sobin penuh binar, ia sampai tak sadar ada sebuah bola melayang ke arahnya dan alhasil bola itu membentur kepalanya dengan sangat keras. Ternyata Sobin yang tidak sengaja melempar bola basket dengan kuat.

Ia terkejut, lalu berlari ke tempat duduk Sarang. Gadis cantik itu seketika Pingsang karena lemparan bola salah sasaran tersebut.

Tanpa pikir panjang, Sobin menggendong Sarang ke ruangan kesehatan sekolah untuk diobati. Teman Sarang yang bernama Aera, mengikutinya dari belakang untuk memastikan keadaan Sarang baik-baik saja.

Beruntung Sarang cepat sadar, ia menangis sesenggukan dan memeluk Sobin dengan erat. Adegan itu tidak luput dari pandangan Hyunjae yang menyukai Sarang sekaligus rival Sobin di lapangan basket.

Makanya tadi, dua siswa laki-laki itu bertengkar. Hyunjae menganggap Sobin menggoda Sarang, sedangkan Sobin yang tidak tau apa-apa hanya pasrah menerima pukulan dari Hyunjae. Ia pasrah bukan berarti mengalah, hanya saja ia tidak mau membuat keributan lagi. Tapi ya tetap saja, ia yang di salahkan. Hufft.

Sobin menatap datar pada Sarang, kemudian pergi mengabaikan Sarang yang telah berbaik hati padanya dengan membawa obat untuk mengobati lukanya.

Sarang membalikkan badannya, ia memandang punggung tegap Sobin dengan sendu. Lalu melirik tisu basah dan obat merah yang di pegang nya.

"Tidak apa-apa. Aku harus berusaha lagi mendapatkan hati kak Sobin. Semangat."

***

Nayoung mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia membelah jalanan kota Seoul yang banyak di padati beberapa kendaraan roda empat sepertinya. Sudah pukul 12 siang, itu artinya Eunbyul sudah keluar dari sekolahnya karena memang jam segini waktunya anak-anak sekolah dasar pulang.

Hari ini sesuai janjinya, ia akan ke rumah sakit untuk mengantar makan siang suaminya sekaligus makan bersama nanti. Tentu saja dengan mengajak Eunbyul. Anak itu suka sekali bermain dengan para pasien anak-anak penderita kanker di sana.

Katanya, Eunbyul sering kesepian karena ibu dan ayahnya bekerja sampai malam. Nayoung yang mendengar keluhan sang anak, hanya bisa terdiam. Ya mau bagaimana lagi, ia dan suami belum bisa menambah anak lagi karena memang pekerjaan mereka yang menumpuk belum lagi suaminya sering pulang malam akibat banyak pasien yang mendadak di operasi.

Nayoung menghentikan mobilnya, setelah sampai di parkiran sekolah Eunbyul. Wanita itu turun dari mobilnya, ia mengedarkan pandangannya ke segala arah berharap putrinya ada di antara anak-anak lain yang sudah keluar dari perkarangan sekolah.

Dapat ia lihat Eunbyul tengah berpelukan dengan teman sebayanya di depan gedung sekolah, setelah itu anak seumuran Eunbyul tersebut pergi dengan orang tuanya sembari melambaikan tangan pada putrinya.

"Ahn Eunbyul," seru Nayoung pada anak gadisnya. Eunbyul mengangkat kepalanya, saat ada seseorang memanggilnya dari kejauhan. Ia tersenyum lebar lalu berlari ke arah sang ibu yang sudah bersiap menyambutnya dengan pelukan.

Hap

Nayoung dengan sigap menggendong tubuh mungil putrinya, kemudian membawa gadis kecil itu ke mobil.

"Ibu, kita akan ke tempat ayah?" tanya Eunbyul sembari melingkarkan tangan kecilnya pada leher Nayoung.

"Eum. Kita makan siang bersama ayah nanti."

Nayoung membantu Eunbyul memakai sabuk pengaman mobil pada tubuh kecilnya. Tak lama, kemudian Nayoung menghidupkan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan area sekolah.

"Tadi belajar apa saja? hmm?" tanya Nayoung pada sang Putri. Ia bertanya seperti itu, hanya untuk mendengar keluh kesah putrinya saja agar Eunbyul tidak memendamnya atau menganggap orang tuanya tidak memperhatikannya. Nayoung maupun Suaminya, sangat sayang pada Eunbyul bahkan Jungguk membayar guru les privat yang datang ke rumah mereka dua kali seminggu untuk mengajari Eunbyul yang mulai belajar. Tidak tanggung-tanggung, Jungguk juga memasukkan Eunbyul les menari atas permintaan gadis kecil itu sendiri. Ketika besar nanti, katanya ia ingin menjadi seorang Idol. Eunbyul sering melihatnya di TV, ketika para idol itu menari dan menyanyi di atas panggung musik. Nayoung maupun Jungguk hanya mengiyakan saja mendengar ocehan anak gadis mereka.

"Belajar berhitung, menggambar pemandangan alam. Ibu, tau aku mendapatkan nilai A di pelajaran seni. Tunggu, aku ambil dulu kertasnya."

Eunbyul mengambil tasnya yang ia letakkan di dashboard mobil, lalu membukanya untuk mengambil kertas yang dimaksudnya. Ia memperlihatkan hasil gambarannya yang lumayan Bagus untuk ukuran anak-anak sebayanya.

Nayoung melihatnya sekilas, karena ia mengendarai mobil takut terjadi sesuatu jika ia lengah sedikit saja.

"Wah, anak ibu memang pintar sekali. Nanti perlihatkan pada ayah, siapa tau di kasih hadiah." Nayoung mengusap kepala anaknya dengan lembut. Sedangkan Eunbyul menganggukkan kepalanya antusias.

"Pasti. Aku sedang ingin minta dibelikan jepitan rambut berbentuk bunga yang warnanya pink, ibu seperti punya temanku. Apa ayah akan membelikannya?" tanya Eunbyul sedikit ragu.

Nayoung tersenyum tipis. Eunbyul tipikal anak yang tidak ingin membebani orang tuanya dengan di belikan ini itu yang harganya sangat fantastis, walaupun kedua orang tuanya mampu membelikannya. Ini lah yang Nayoung sukai dari sifat Eunbyul, sedikit menurun darinya. Eunbyul bahkan sudah belajar menabung sejak usia 5 tahun, setiap kakek atau neneknya memberi uang saku lebih pasti di tabung anak itu di dalam celengan berbentuk doraemon miliknya.

"Tentu saja. Apapun yang kau minta pasti dibelikan ayah, sayang. Hanya jepitan saja?" tanya Nayoung lagi. Tak terasa mobilnya, sudah sampai di parkiran rumah sakit.

"Eum. Lain kali saja aku meminta yang lainnya, ibu. Aku ingin terlihat cantik di sekolah besok pagi, hehe." ucapnya sambil tesenyum, menampakkan gigi kecilnya yang tersusun rapi.

Nayoung terkekeh gemas, ia menciumi pipi gembil putrinya. Ia membantu Eunbyul turun dari mobil, lalu mengambil kotak makanan yang ia simpan di dalam paper bag.

"Anak ibu selalu cantik kapanpun. Bahkan tidak mandi saja akan tetap cantik."

Eunbyul mengerucutkan bibirnya.

"Ayo," ajaknya sambil menggandeng tangan Eunbyul.

***

"Ini bayaranmu. Aku akan menelfonmu lagi nanti, pergilah."

Seorang wanita yang terduduk di atas kasur dengan menutupi tubuh polosnya itu dengan selembar selimut tipis, segera memungut beberapa lembar won yang jumlahnya tak main-main tersebut. Si pria yang sudah memakai jasanya, hanya melirik malas pada wanita yang saat ini sedang tersenyum senang melihat uang yang ia berikan tadi.

Ia beranjak dari atas kasur, setelah memakai celana panjangnya berwarna hitam lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari kegiatan panasnya dengan si wanita itu.

Sedangkan si wanita, lantas memakai pakaiannya kembali saat ia datang ke ruangan ini. Ia juga membersihkan kasur yang mereka gunakan untuk berperang panas tadi.

Kemudian, pergi dari ruangan tersebut. Namun sebelumnya, ia berjalan ke meja kantor ruangan ini dan mengambil figura yang berisi foto sebuah keluarga besar yang terlihat bahagia.

Ia tersenyum sinis. Mendengar suara air kamar mandi sudah mati, buru-buru ia meletakkan kembali foto tersebut pada tempatnya lalu berjalan keluar dari ruangan ini.

Sebelum benar-benar pergi dari kantor ini, ia menyempatkan diri terlebih dahulu ke toilet untuk membenahi dirinya. Walau bagaimanapun juga, ia harus tetap Wangi dan bersih. Ia tidak mau orang-orang nanti malah menutup hidung, karena bau badannya yang habis berhubungan intim.

***

Di rumah sakit. Para dokter dan staff mengistirahatkan tubuh mereka, dengan makan siang di kantin yang sudah tersedia di dalam rumah sakit ini.

Termasuk Jaemin, dokter tampan itu berdiri di antrian untuk mengambil lauk pauk yang akan ia santap untuk makan siangnya. Di tangannya sudah ada nampan berisi semangkuk nasi, dan tempat kosong untuk letak lauk pauknya.

Ketika gilirannya, Jaemin tersenyum hangat pada bibi yang menyapanya. Ia dengan hati-hati mengambil daging ayam yang di lumuri kecap, lalu sayuran hijau dan satu buah apel sebagai pelengkap. Ia juga mengambil segelas air putih di atas meja yang bersebelahan dengan tempat ia mengambil makanan tadi.

Jaemin kemudian mencari meja kosong untuk ia tempati. Saat akan berjalan ke arah kanan, namanya di teriaki oleh seseorang. Otomatis ia menoleh pada orang yang memanggilnya tersebut.

"Dokter Bae, ayo makan bersama kami saja. Meja disini sudah penuh," ucap salah satu dari mereka yang di meja ini.

Jaemin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Benar, sudah penuh pikirnya.

"Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum tipis. Ia lekas duduk di sebelah Yeji, perawat yang membantunya menangani Chae Yena.

"Ya, sama-sama Dokter Bae."

Yeji menahan senyumnya, karena di sebelahnya ada dokter Bae yang ia sukai. Ia sengaja mendekatkan duduknya, sampai lengannya bersentuhan dengan lengan kekar Jaemin.

Ia meraih sumpitnya, kemudian ikut makan dengan yang lain. Jujur saja, ia sebenarnya gugup di dekat Jaemin. Bahkan pipinya sudah memerah.

Pria yang duduk di depannya berdecih sebal. Merasa kesal melihat Yeji yang tersenyum malu-malu seperti itu. Gadis itu tidak pernah tersenyum padanya, jika bertemu saja ia selalu kena kata umpatan atau tatapan jengkel setiap hari.

"Hei, Wooyoung."

"Apa?"

"Supmu sudah dingin, kau tidak ingin memakannya?" tegur teman yang di sebelahnya. Pria bernama Wooyoung itu menunduk, melihat sup ayamnya yang memang sudah dingin sejak tadi.

"Aku sudah tidak selera makan lagi. Aku permisi," ucapnya, lalu berdiri seraya membawa nampan makananan nya yang belum ia sentuh sama sekali.

Semua orang yang di meja itu menatap bingung pada pria imut itu.

"Ada apa dengannya?" ucap Yeji.

Yang hanya di balas dengan gendikan bahu.

"Ah, iya. Aku belum melihat Yeonju sejak tadi, kemana dia?" tanya Damyi, perawat wanita yang seumuran Yeji.

"Bukannya dia izin selama 1 minggu ini untuk ke kampung halamannya? kau tidak tau?" ucap Yeji.

"Benarkah? pantas saja aku tidak melihatnya." ujar Damyi. Lalu melanjutkan makannya lagi.

"Dokter Bae,"

Jaemin yang sejak tadi diam sambil menghabiskan makanannya. Setelah ini ia kembali bekerja, karena jadwalnya sampai malam hari ini. Pria itu menegakkan kepalanya.

"Iya?"

"Anak kecil yang kau rawat itu siapa namanya? ha, Chae Yena. Kemarin malam saat aku berjaga, aku melihat anak itu menangis seorang diri di sudut koridor rumah sakit. Saat aku tanya, ia tidak mau mengatakan apa-apa. Hanya menangis, lalu setelahnya dia pergi ke kamar inapnya. Kau tau dia kenapa, dokter Bae? aku sangat khawatir padanya." terang Damyi sembari mengunyah makanannya pelan. Sungguh, Damyi sangat cemas waktu itu. Anak itu tidak mau berhenti menangis setelah di ajak Damyi ke kamarnya kembali. Bahkan Damyi menemaninya sampai tertidur.

Jaemin mengerutkan alisnya. Kenapa dengan Yena?

"Menangis? Aku juga tidak tau. Selama aku bersamanya, Yena tampak ceria seperti anak-anak lainnya. Atau mungkin dia merindukan orang tuanya? Nanti akan aku tanyakan."

"Mungkin saja dokter. Malang sekali nasib anak itu, masih kecil tapi sudah diberi penyakit mematikan tersebut."

"Semoga dia cepat sembuh," Yeji ikut bersuara.

Jaemin berdiri sembari membawa nampan makananya yang telah kosong.

"Aku selesai. Kalau begitu, aku pamit dulu perawat Yoo dan perawat Park. Cepat selesaikan makan kalian, waktu istirahat hampir habis." Setelah mengatakan itu, Jaemin pergi dari sana tak lupa ia melempar senyum pada dua gadis itu.

***

Brukk

Jaemin menunduk, ia mendapati seorang anak perempuan berseragam sekolah jatuh terduduk setelah menubruk kakinya.

Gadis kecil tersebut mengaduh kesakitan pada bagian pantatnya, namun tidak menangis. Jaemin segera berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan gadis kecil tersebut.

"Kau tidak apa-apa? Maafkan paman, karena tidak melihatmu." ucap Jaemin sambil membantu gadis kecil itu berdiri.

"Aku tidak apa-apa paman, tadi aku juga yang salah tidak melihat jalan. Maafkan aku," ucapnya sembari membungkukkan badannya. Ibunya yang mengajarinya seperti itu jika bertemu atau meminta maaf pada seseorang yang lebih tua.

Jaemin terkekeh kecil. Lalu mengusap kepalanya dengan lembut.

"Baiklah. Ah iya, kau dengan siapa kesini? Rumah sakit tidak baik untuk anak-anak sepertimu."

Gadis kecil itu menepuk jidatnya. Ia harus kembali ke ruangan ayahnya. Tadi ia pergi sebentar ke ruangan anak-anak penderita kanker yang biasa ia kunjungi. Saat akan membalas ucapan Jaemin,

"Ahn Eunbyul,"

Gadis bernama Eunbyul melihat ibunya berdiri agak jauh dari belakang tubuh Jaemin.

"Paman aku pergi dulu. Ibuku memanggil, Sampai jumpa." Eunbyul langsung berlari, sampai di hadapan ibunya ia melompat ke gendongan sang ibu.

Jaemin membalikkan badannya, ia melambaikan tangannya pada Eunbyul yang berada di gendongan ibunya yang tidak sempat Jaemin lihat wajahnya.

"Menggemaskan sekali. Hah, andai anakku juga seperti dirinya nanti." Jaemin tertawa kecil.

"Tapi, tunggu siapa nama anak kecil tadi? Ahn Eunbyul? nama yang Bagus, aku suka."

Seperti biasa tinggalkan jejak, agar saya lebih bersemangat lagi menulis kelanjutan ceritanya.

Allia_Zacreators' thoughts