webnovel

6. Chaotic People

Kamar yang berantakan, sinar matahari jam 8 pagi yang sangat menyilaukan, dan perempuan yang telentang dengan kantung mata hitam akibat tidak tidur semalaman.

Hari ini tanggal merah. Kebetulan sekali, bukan? Bahkan dunia ini mendukung kepiluan di hatinya.

Tadi malam Arin membuatnya menceritakan seluruh kisah cintanya yang kandas. Arui pikir memang sudah waktunya Arin untuk tahu. Ia tidak bisa menutupi hal ini selamanya. Tapi di luar dugaan, Arin justru ikut menangis begitu tahu seberapa jahat ibu Fian terhadapnya. Arui pikir Arin akan marah-marah, tapi tidak sama sekali.

Arin bilang dia juga takut membayangkan hal itu selama ini. Arin belum sanggup bertemu calon mertua yang bermulut tajam, tapi ia tidak menyangka justru adiknya sendiri yang mengalaminya.

Arona juga semalam ikut menangis setelah menguping di balik pintu kamarnya sendiri. Arui dan Arin bisa tahu karena ada isakan lain yang mencuri perhatian mereka semalam.

Arui paham, Fian begitu baik pada Arona. Pasti adiknya itu sudah menyayangi Fian selayaknya kakak laki-laki.

Kini Arui jadi merasa bersalah. Kalau dia tidak memilih laki-laki yang seperti itu, ia tidak perlu menyakiti semua saudaranya begini. Arin ataupun Arona tidak perlu ikut menangisi hubungannya yang menyedihkan.

Mengapa keluarganya malang sekali?

Saat Arui sedang berusaha meraih tisu di meja kecil samping ranjangnya, pintu kamar justru dibuka.

"Kak, cepat keluar. Kak Arin ribut dengan kak Hana." Arona terengah-engah sambil berbicara, sepertinya dia berlari dengan kekuatan penuh ke sini.

Arui sontak bangkit dari acara tidur-tiduran malasnya. "Apa?!"

"Cepat, kak. Mereka saling menjambak."

Arui langsung turun dari ranjang, ia berlari juga keluar rumah hanya untuk mendapati Arin sedang menjambak rambut Hana, begitu pula sebaliknya. Keduanya menatap tajam satu sama lain. Di sekitar keduanya sudah ramai oleh tetangga yang menonton termasuk Chiko. Beberapa orang bahkan merekam karena menganggap keduanya lucu. Di tengah-tengah mereka ada Mina, kakak Chiko yang mencoba melerai.

"Kamu ini kenapa, sih? Aku baru pulang dari pasar bukan untuk berkelahi denganmu."

"Kamu masih mau pura-pura tidak tahu? Dari semalam aku meneleponmu tapi kamu tidak menjawabnya. Kamu yang sengaja mengajakku ribut."

Hana tersenyum miring. "Entahlah, aku tidak tahu kenapa kamu marah."

Arin semakin emosi mendengarnya, ia menarik rambut Hana lebih keras. Mina semakin ketakutan karena ia tidak berhasil memisahkan dua orang ini.

Arui turun dari teras dan mencoba cengkeraman tangan kakaknya dari rambut Hana.

"Kak, sudah. Malu dilihat banyak orang."

Arin tidak menggubris ucapan Arui sama sekali. Ia masih memelototi Hana dengan sangat kesal.

"Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak dekat-dekat dengan Joan lagi? Hubunganku gagal gara-gara kamu. Kenapa kamu seperti itu lagi? Tidak adakah laki-laki lain yang bisa kamu dekati? Kenapa harus Joan? Kenapa dia lagi?"

"Aku hanya tidak sengaja bertemu dia di pernikahan temanku. Memangnya salah kalau hanya tidak sengaja bertemu?"

"Iya, salah karena kamu mencoba mendekatinya lagi. Kamu terobsesi dengan Joan sejak dia masih dekat denganku. Kalau tidak, kamu tidak akan perlu berfoto dengannya."

Arui kelabakan saat Arin hendak menghantam wajah Hana dengan genggaman tangannya, ia berusaha keras menahan lengan kakaknya, sementara Arona memeluk Arin dan menariknya ke belakang.

"Lagipula dia belum jadi pacarmu. Kenapa kamu ribut sekali? Kamu juga tidak punya hak apapun atas Joan."

"Stop. Hana, kamu harusnya jangan bicara seperti itu. Kamu juga salah karena menggoda calon pacar Arin. Kamu juga, Arin. Berhentilah marah-marah begitu. Itu sudah masa lalu, tidak perlu diungkit lagi."

Ucapan Mina yang begitu tiba-tiba membuat semua orang terkejut. Perempuan itu kesal dan nada bicaranya meninggi, tapi anehnya masih terlihat santun.

Arui mendadak kagum begitu mendengar perkataan Mina yang begitu bijak. Ia heran, mengapa bukan Mina saja yang menjadi kakaknya? Arin terlalu tempramental hingga membuatnya sakit kepala.

---

Duduk di sebuah kursi kosong di depan taman bermain komplek rumahnya, Arui lagi-lagi menghela napas panjang. Di hari yang harusnya bisa ia gunakan untuk tidur-tiduran di atas ranjang dan memikirkan tentang hubungannya yang kandas, ia justru harus berurusan dengan hal memalukan.

Padahal Arui pikir Arin masih sedih karena ceritanya semalam, tapi di luar dugaan, Arin sudah mengajak ribut tetangganya.

Seseorang tiba-tiba saja duduk di samping Arui, dan ia baru sadar jika itu adalah Chiko.

"Eh, Chiko? Kita tidak sengaja bertemu lagi rupanya."

Chiko tersenyum samar. "Tidak, kok. Aku mengikutimu ke sini."

Arui menatap Chiko bingung. "Mengikutiku? Kenapa?"

"Aku lihat pipimu berdarah karena terkena cakaran mereka tadi, jadi aku bawakan obat luka."

Arui bengong untuk sesaat. "Pipiku terluka? Aku bahkan tidak menyadarinya. Di sebelah mana?"

Chiko berusaha menunjuk pipi kanan Arui, tapi perempuan itu sepertinya tidak tahu persis lukanya ada di mana.

"Ah, maaf. Aku tidak bawa ponselku untuk bercermin. Bolehkah aku minta tolong teteskan obat lukanya?"

Chiko mengangguk pelan meski gugup. Tangannya terjulur ke depan untuk meraih pipi Arui. Ia meneteskan obat luka yang ia bawa dengan pelan. Tangannya agak gemetar, entah Arui menyadarinya atau tidak. Ia hanya sadar kalau Arui meringis kesakitan saat obat luka menyentuh pipinya.

Dari jarak sedekat ini, Chiko bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu mungkin Arui tidak merasakan hal yang sama, tapi Chiko tidak bisa menahan diri untuk tidak tersipu.

Kembali gemetar, Chiko meraih plester luka dari saku celana jeansnya dan menempelkannya di pipi Arui yang sudah ditetesi obat luka.

Ia lagi-lagi mencuri pandang, tapi kali ini Arui balik menatapnya. Chiko merasa seperti ada sengatan listrik yang tercipta ketika tatapan mereka bertemu. Ia semakin gugup.

"Eh, apa yang kamu tempelkan di pipiku?"

"Plester luka. Sepertinya akan sangat mengganggu kalau kamu bepergian dengan wajah terluka seperti itu."

Arui meraba pipinya sendiri, merasakan plester luka yang Chiko berikan padanya.

"Wah, terima kasih, Chiko. Maaf sudah merepotkanmu."

Chiko menggeleng malu. "Bukan apa-apa. Aku hanya mengambil milik kakakku di rumah."

Arui menelan ludahnya, entah mengapa suasanya berubah canggung. Apakah karena Chiko yang mendadak hening? Tapi laki-laki itu memang lumayan pendiam sejauh yang Arui tahu.

"Ngomong-ngomong, maafkan kakakku tadi, ya. Dia jadi merusak hari liburmu dan kakakmu."

"Tidak apa-apa, seru juga melihat keributan seperti itu." Chiko tertawa pelan, membuat Arui tertular tawanya.

"Aku jadi malu karena dia kekanak-kanakkkan sekali."

Angin bertiup pelan, memberikan hawa sejuk di pagi ini. Anak-anak kecil bermain pasir sembari ditemani orang tua mereka. Ada beberapa orang yang lari pagi juga melewati taman komplek ini, membuat komplek rumah ini kelihatan berwarna.

Tapi yang paling membuat hati Chiko berwarna adalah perempuan di sampingnya kini. Semenjak pindah ke sini, ia dibuat terhibur oleh tingkah Arui dan bahkan kedua saudaranya juga.

Entah ini benar untuk dikatakan atau tidak, tapi Chiko senang karena ada keributan tadi, jadi setidaknya ia bisa mengobrol lagi dengan Arui. Semalam, ia masih ingin mengobrol lebih lama, tapi sayang sekali ada orang lain yang menginterupsi.

"Kak Arui, apa kamu sudah baikan?"

"Sudah, kok. Kamu sudah mengobatiku." Arui menunjuk pipinya yang sudah tidak terasa sakit lagi.

"Maksudku tentang yang semalam. Apa kamu sudah baikan?" Chiko menatap kantung mata Arui yang cukup tebal dan mengkhawatirkan, nampak sekali jika perempuan itu kurang tidur.

Arui terkekeh sekilas. "Kalau aku bilang sudah baikan, namanya bohong. Tapi aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku yakin lama kelamaan akan terbiasa."

Senyum palsu itu lagi, senyum yang dihiasi kepedihan di dalamnya. Bagaimana mungkin Chiko tidak khawatir jika Arui pura-pura tegar seperti itu?

"Apa kamu ingin aku mengobati lukamu yang itu juga, kak?"

Dengan gerakan pelan, Arui menoleh ke samping kirinya. Ia cukup terkejut dengan pertanyaan Chiko. Tapi melihat Chiko yang tidak tertawa sama sekali membuat Arui paham bahwa laki-laki itu tidak sedang bercanda.

Di taman komplek yang semakin disinggahi banyak orang ini, di bawah langit cerah, keduanya berakhir saling menatap satu sama lain, sama-sama gugup.

-TBC-