webnovel

2. Be Realistic

Hari minggu yang biasa Arui gunakan untuk berkencan dengan Fian, kini ia gunakan untuk bertemu teman-temannya di sebuah cafe agak jauh dari rumah. Sebenarnya teman Arui hanya ada dua, Merry dan Sora. Dua perempuan itu adalah teman baik yang sudah Arui kenal sejak kuliah.

Cafe yang bernuansa ruang baca ini adalah pilihan Merry yang sudah terbiasa menjelajah banyak tempat makan bersama pacarnya.

"Maaf aku memaksa bertemu hari ini, teman-teman. Aku membuat kencan kalian batal."

Merry mengerutkan dahi. "Jangan bicara padaku seperti orang asing begitu. Kita memang harus bertemu sesekali, bukan hanya dengan pacar saja."

Sora tergelak dibuatnya. "Aku satu-satunya yang belum punya pacar di sini, jadi santai saja. Kamu bisa mengajakku bertemu kapan saja, Arui."

"Astaga, kamu dan kak Dion masih belum ada perkembangan sejak kuliah?"

Sora mencubit perut Merry agar berhenti bicara. Ia tidak ingin ada orang yang mendengar ucapan memalukan temannya tadi. Tapi Merry justru hanya tertawa terbahak.

"Diam, semua orang mendengarmu, Merry."

"Baiklah, baiklah. Aku akan diam. Tapi jujur saja aku penasaran dengan hubunganmu."

Sora menutup mulut Merry dengan kedua tangannya. "Daripada penasaran tentangku, lebih baik kamu penasaran kenapa Arui tiba-tiba mengajak kita bertemu."

Arui menaikkan alisnya begitu mendengar ucapan Sora. "Memangnya aku kenapa? Aku hanya ingin bertemu kalian saja, kan sudah lama kita tidak mengobrol santai seperti ini."

"Bohong sekali. Wajahmu tidak terlihat seperti ingin mengobrol santai dengan kami."

Ucapan Sora begitu menusuk tepat di jantungnya. Entah mengapa di antara mereka bertiga, Sora yang paling peka akan perasaan orang lain, tapi justru dia sendiri yang belum memiliki pasangan.

"Kamu sedang ada masalah, Arui?" Merry ikut bertanya penuh simpati.

Arui merasa sudut matanya memanas, tapi ia menahan diri agar tidak menangis. Ini bukan masalah besar, Arui pasti bisa mengatasinya dengan baik.

"Bukan apa-apa, hanya saja sepertinya aku membuat kesalahan."

"Kesalahan apa?"

"Fian tiba-tiba berubah, tapi aku yakin sekali ini gara-gara aku yang terkadang memancingnya tentang pernikahan. Sepertinya dia dendam padaku."

"Bagaimana detailnya? Dia dendam padamu dan selingkuh? Atau dia minta putus lalu berkata kasar padamu?" Merry sangat terlihat penasaran.

"Bukan seperti itu. Dia memikirkannya. Aku pun kaget karena ternyata dia memikirkan ucapanku. Kemarin dia bilang akan menikahiku."

"Dia dendam tapi akan menikahimu? Aku agak tidak mengerti maksudmu." Sora menggaruk tengkuknya, bingung.

"Aku sendiri tidak mengerti, Ra. Dia memang mengajakku menikah, tapi dia ingin aku berhenti kerja. Tadinya dia ingin aku berhenti kerja setelah menikah, tapi setelahnya dia ingin aku berhenti kerja sekarang."

"Wah, dia seperti pahlawan saja. Lalu, dia bilang akan mengurus seluruh keperluanmu nanti? Kalau begitu bagus, kamu jadi tidak perlu lelah bekerja seharian lagi."

Jawaban Merry barusan justru mendapatkan tatapan tajam dari dua temannya, membuatnya agak canggung.

"Apa aku salah bicara?"

"Salah besar, Merry. Dia memintaku berhenti kerja agar aku bisa membantu ibunya bekerja di ladang. Apa kamu bisa membayangkannya? Aku yang sudah susah payah kuliah dan punya pekerjaan bagus ini tiba-tiba saja harus ke ladang. Aku benar-benar sakit hati mendengarnya."

"Fian bicara seperti itu? Wah, kurang ajar sekali dia. Kupikir dia laki-laki baik selama ini. Tidak bisa dibiarkan, putus saja dengannya, Arui."

Arui menunduk lesu. Itulah yang membuatnya ingin bercerita pada dua temannya ini tentang masalah yang sedang dia derita. Rupanya memang semua orang akan berpendapat sama. Rencana Fian benar-benar tidak masuk akal.

"Tapi aku bimbang. Ucapannya jahat, aku pun tidak setuju tentang rencananya, tapi tidakkah kalian pikir akan sayang sekali jika aku dan dia putus? Hubungan kami sebentar lagi menyentuh lima tahun. Kami bukannya baru pacaran kemarin sore. Jadi, rasanya menyesakkan tiba-tiba berpisah dengan orang yang sudah lama bersama."

Sora menyodorinya tisu, yang membuat Arui makin terisak. Ia malu sekali karena ternyata ia lemah sekali tentang cinta.

"Aku minta maaf karena merusak pertemuan kita begini. Tapi aku tidak punya tempat untuk bercerita. Aku tidak bisa menceritakan ini ke kakakku karena aku takut membuatnya terbebani."

Baik Merry maupun Sora menggeser kursi mereka dan menepuk pelan bahu Arui. Merry bahkan ikut terisak sembari memeluk lengan Arui.

"Aku paham, Arui. Aku yang melihat sendiri bagaimana romantisnya kisah cintamu dulu. Kenapa tiba-tiba jadi begini sekarang?" Merry makin terisak.

Sora mengedarkan pandangannya, sedikit agak malu dengan pengunjung lain karena terlalu berisik. Padahal sudah jelas cafe ini adalah cafe perpustakaan. Semua pengunjung pasti mengharapkan ketenangan di tempat ini.

"Hei, berhenti menangis. Orang-orang terganggu karena kalian berisik sekali."

Pelan tapi pasti, baik Arui maupun Merry mencoba untuk diam. Sora hanya bisa menghela napas lelah. Dua perempuan di hadapannya ini benar-benar seperti anak kecil yang sedang rewel.

"Arui, aku tahu kamu sangat menyayangi pacarmu. Tapi tolong lebih realistis lagi. Aku tahu ucapanku menyakitkan, tapi ini tentang masa depanmu. Sudah jelas kalau kamu akan melanjutkan hubunganmu dengannya, kamu yang akan tersakiti. Apa kamu penasaran dan ingin mencobanya lebih dulu baru bisa sadar?"

Arui kembali tertunduk. Dia tahu bahwa ucapan Sora seratus persen benar. Realita itu keras. Arui harusnya bisa menghadapi ini dengan baik seperti yang ia katakan pada dirinya sendiri.

---

Arui baru saja keluar dari toilet cafe perpustakaan ini. Ia membenahi pakaiannya yang agak kusut di depan cermin wastafel dan juga memperbaiki make up yang luntur akibat menangis tadi.

Ia benar-benar keluar dari toilet setelahnya untuk segera pergi dengan Merry dan juga Sora. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika seorang karyawan tiba-tiba saja menjatuhkan tumpukan buku yang ia bawa di hadapan Arui.

Arui langsung berjongkok untuk membantu karyawan cafe itu, tapi laki-laki yang memakai topi itu menahan tangannya pelan.

"Tidak usah, kak. Biar aku saja. Aku yang menjatuhkannya."

"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya ingin membantu."

Karyawan laki-laki itu hanya bisa terdiam membiarkan perempuan di hadapannya menumpuk kembali buku-buku yang berserakan di lantai. Matanya justru terpaku pada wajah perempuan itu. Terutama saat mereka berdua bertatapan dan perempuan itu tersenyum manis ke arahnya.

"Chiko?"

Lamunan lelaki itu terhenti saat mendengar namanya dipanggil perempuan itu. Rasanya seperti berhalusinasi karena tidak mungkin ada pengunjung yang tiba-tiba tahu namanya.

"Ya, kak?"

"Namamu Chiko, ya?"

"Kakak tahu namaku?"

Perempuan itu menunjuk papan nama di baju seragamnya. "Tertulis di situ. Aku hanya membacanya. Hati-hati saat membawa buku-buku ini ya, Chiko. Tadi pasti sangat berat. Kenapa tidak dicicil saja membawanya?"

Laki-laki bernama Chiko itu menggaruk tengkuknya, canggung. "Terima kasih bantuannya, kak. Maaf sudah merepotkan. Aku terburu-buru karena shift kerjaku sudah hampir berakhir."

"Oh, begitu? Mau aku bantu bawakan ini agar cepat selesai? Kamu akan membawanya ke mana?"

"Eh, tidak perlu, kak. Aku akan mencicilnya seperti saranmu."

Arui tersenyum lagi setelahnya. "Baiklah, aku pergi dulu. Temanku sudah menunggu."

Chiko hanya bisa tersenyum mendengar perempuan itu akan segera pergi. Lidahnya bahkan terlalu kaku hanya untuk sekadar menanyakan nama perempuan yang baru saja menarik perhatiannya itu.

-TBC-