webnovel

Ardiansyah: Raja dari Neraka

Dunia yang kalian semua kenal telah lama hancur, teman dan keluarga kalian kini entah bertamasya di Surga atau membusuk di Neraka. Namun bagi yang terpilih, Sang Pencipta telah membangunkan Dunia baru untuk mereka yang di dasarkan atas sihir dan sains. Dunia yang diisi oleh tiga bangsa, dengan rumah dan tubuh yang berbeda. Ilmuan cerdas di Angkasa, pengrajin kreatif di Daratan, serta seniman yang bermandikan keindahan di Lautan. Kisah Dunia baru ini terlalu panjang untuk kuceritakan dalam satu kali pertemuan. Jadi untukmu temanku, akan kubagi mereka menjadi beberapa bagian. Part 1: Prologue (Vol 1 & 2) Takdir Amartya untuk menjadi raja atas Bumi ini sudahlah ditetapkan. Demi mengagungkan kelahirannya, Sang Pencipta mengalirkan api neraka di dalam darahnya. Namun hatinya jatuh cacat sebagai bayarannya, dan satu-satunya yang bisa menyempurnakannya hanyalah seorang gadis es, dengan kunci di hatinya. Part 2: A Party of 8 (Vol 3 - 7) Makhluk-makhluk nista datang mencemari Daratan, dan atas nama kemurnian tanah suci ini, Mereka yang Abadi mengumpulkan prajurit-prajurit terbaik dari generasi termuda. Manggala dan rekan-rekannya harus bisa menghadapi tantangan ini, dan menyelamatkan apa yang berhak diselamatkan. Part 3: Throne of the Ocean (Vol 8 - 10) (Warning 18+ only) Perang tiada akhir terus melanda seisi Samudra, yang sudah teramat ganas dari detik dirinya dilahirkan. Gumara yang ditinggalkan keluarganya terpaksa mengemban tanggung jawab untuk bangkit, dan kembali membangun kejayaan itu atas nama sang pembawa ular. Dunia ini dipenuhi aturan yang nista, namun bukan berarti kita harus tenggelam di dalamnya.

PolarMuttaqin · Fantasia
Classificações insuficientes
413 Chs

Chapter 26: Sea Fairies

Langit biru cerah nan indah, burung-burung menghias Angkasa, lautan dengan santai bergoyang seirama, dan para penghuni permukaan berterbangan melompati atap mereka. Benar-benar hari yang indah untuk menjelajah Lautan Utara.

Sesampainya di kapal, terdapat banyak manusia pohon kecil berseragamkan kulit kayu mereka, siap mengawaki kapal. Dengan tas terbuat dari akar dan perisai terbuat dari batang, masing-masing dari mereka berjaga di tiap sisi dan sudut kapal. Para gadis Alam memanggil pohon-pohon kecil ini, Koswara.

Setidaknya tiap tujuh Koswara terikat dengan seorang gadis suku Alam, mereka adalah penjaga suci hutan Umanacca yang tumbuh langsung dari akar-akar Pohon Kehidupan.

Para Koswara akan bereinkarnasi menjadi kupu-kupu berwarna merah muda ketika mereka gugur, dan akan terlahir kembali ketika gadis yang menjadi panutan mereka, menyihir kembali wujud tubuh mereka.

Dengan sampainya Ester di geladak, kini tiap kru dan penumpang sudah menaiki kapal. Dengan ini, mereka telah siap untuk berlayar.

"Hei Naema, perlu dirimu ketahui bahwa lebih dari 95% penghuni Umanacca adalah hewan, peri dan manusia pohon." Amartya tiba-tiba saja menumpah fakta.

"Dan para gadis suku Alam termasuk Ester, punya kewajiban untuk merawat mereka."

"Sungguh? Bukankah itu berarti tiap gadis memegang tanggungan yang besar?" Tanya Naema.

"Ya, jadi kepergian Ester cukup— akan sedikit membawa pengaruh pada mereka," Jelas Amartya.

"Oleh sebab itu pergunakanlah kehormatan ini sebaik mungkin."

Naema mengangguk bersama keringat yang menetes gugup.

"Oh, dan pastikan dia kembali dalam keadaan utuh." Pemuda itu tersenyum.

Naema hanya terdiam tidak tahu harus bicara apa. Terlebih lagi, mereka masih belum tahu apa yang akan bertamu ke kapal mereka di lautan luas ini.

"Nyak, siap angkat kang Amartya!"

Sang kapal pun memulai pelayarannya menuju Garabandari, dan tak ada tenaga yang menggerakkannya selain angin dan sihir alam. Di belakangnya, kelopak bunga ceri berterbangan menghiasi lautan, dan di depannya, para peri laut berenang, berlompatan ke sana kemari seraya menuntun perjalanan.

Naema yang penasaran dan terkesima pada eksistensi manusia-manusia ikan ini tiada hentinya memandangi mereka. Wajah rupawan dan tubuh ramping mereka amatlah mirip dengan manusia, hanya saja memiliki garis-garis insang di sisi bawah samping dada mereka.

Lekuk tubuh mereka juga lebih lebar pada bagaian pinggang ke bawah, dengan ekor ikan yang luar biasa besarnya. Alkisah, salah satu dari mereka menyadarinya ketertarikan gadis es kita, dan lekas berenang mendekat ke arah Naema.

Dayang itu pun melompat tinggi ke Angkasa, dengan gerik yang luar biasa cepat, hingga-hingga Naema tersentak kaget dan memundurkan kakinya. Si peri kemudian bertengger pada sisi luar kapal dengan kedua tangannya berbaring di atas pagar kapal. Matanya kian bergemilang, penuh akan cahaya.

Dia memandang Naema dengan tatapannya yang menghipnotis, seakan menggodanya untuk berjalan mendekat. Naema yang tak paham akan apa yang terjadi, terperangkap oleh sihirnya dan secara perlahan berjalan mendekatinya.

Kebetulan saat itu, Amartya tengah menyaksikannya. Ia pun memanggil senapan dari cincinnya, bersiap-siap menembak peri laut itu jika dia berani macam-macam. Akan tetapi, dia tidak sama sekali menghentikan langkah Naema.

Bersama tatapan manja, si peri laut mengelus wajah Naema dengan lemah lembut. Ia dengan lapar menggigit bibirnya, mendekatkan wajah cantiknya pada sang Putri Salju. Matanya membesar dan berbinar-binar seakan melihat sebuah permata. Sementara Naema yang terhipnotis oleh pesonanya hanya terdiam selagi si peri bermain-main dengan dirinya.

Si peri laut menedadak menunjukkan taringnya. Amartya pun spontan mengangkat senapannya dan segera akan menembak dayang itu. Akan tetapi sebelum senjata itu memuntahkan isi perutnya, peri laut yang lain seketika melompat dan menarik peri itu terjun ke laut.

*Hargh!*

Peri laut yang menariknya menggigit kuat lehernya. Dayang penggoda itu kini menggeliat menahan rasa sakit, sementara peri yang satunya terus menancapkan taringnya pada lehernya. Setelah beberapa saat, darah pun mengalir dari luka gigitan tersebut, menyisakan si peri tersenyum lemas, dengan hal yang sama bisa dikatakan untuk sekujur tubuhnya. Rasanya seakan-akan, separuh energinya telah menguap.

Di lain sisi, peri laut yang menggitnya terlihat seperti terisi kembali, mata dan rambutnya bersinar, begitu pula dengan sisiknya. Sementara pada tubuh dan ekornya terlukiskan mantra-mantra air yang bergemerlap.

"..."

Tak butuh waktu lama hingga cahaya itu kembali redup. Sementara Naema yang baru saja terlepas dari hipnotis merinding melihatnya. Sekujur tubuhnya bergetar layaknya baru saja menyaksikan mimpi buruk tersaji di hadapannya.

"Hal apa yang akan terjadi padaku jika tadi dia berhasil menggigit tubuhku?" Gumam gadis malang itu.

Namun tanpa ia sadari sudah ada dua peri laut lain yang bertengger di sebelahnya. Dan di saat yang sama, terpaparlah senyuman yang memancarkan rasa takut pada wajah jelita keduanya. Mata mereka, menampakkan rasa haus akan darah.

Karena termakan panik, Naema pun langsung membekukan tangannya, bersiap untuk melontarkan sihir pada mereka.

"Is—"

Tetapi keduanya dengan cepat menggenggam masing-masing tangan Naema, menahannya, dan menariknya ke atas. Peri di kanan kemudian mendekatkan wajahnya pada Naema seraya menutup mulutnya agar tidak lagi melanjutkan mantranya, sementara peri yang satunya memberi isyarat pada Amartya untuk tidak menembakkan senapannya.

"Nona kacupeng, tahan sudah tangan pu ko itu." Peri di kanan lalu berbicara dengan logat Lautan.

"Hah?!" Naema jatuh panik dan kebingungan.

"Kitorang baru? Bukan kacupeng?" Tanya peri di kiri.

"Hehehe." Peri di kanan tertawa geli.

"Maaf, tapi bisakah kalian berbicara bahasa Penempa Bumi?" Ucap Naema.

"Wah, burung kecil berbicara layak badak bisa juga eh?" Peri kanan bereaksi.

"Aku tinggal di Daratan." Kata Naema.

"Heh? Sejak kapan?"

"Sejak kecil." Jawabnya.

"Ngomong-ngomong kalo boleh tau, nama… kalian…" Naema menoleh perlahan pada kedua wajah di sampingnya. "Siapa?"

"Kami? Sa Sarah, ini sa punya ade Raina." Kata peri di kanan, mereka kemudian melepaskan Naema dari genggaman mereka.

"Lalu mereka?" Naema menunjuk para peri laut di bawah.

"Dorang kawan, bukan sodara." Jawab Sarah.

"Ngomong-ngomong Raina… kenapa, diam saja?" Naema menoleh ke arah peri di kirinya.

"De ini Painima, tak bisa bahasa asing." Kata Sarah.

"Painima?"

"Salah satu tipe peri laut." Amartya menyela pembicaraan mereka.

"Tipe? Seperti spesies? Atau jenis kelamin?"

"Tidak keduanya, peri laut memiliki 3 tipe yang mereka miliki semenjak menetas, Painima, Lukautim, Sanguma." Lanjut Amartya.

"Ya sebenarnya ada tipe lainnya, namun rakyat biasa layaknya mereka hanya itu saja."

"Bisa kakanda jelaskan maksudnya?"

"Tentu, Painima atau pemburu, tipe yang mewakili kelincahan, tugas mereka dalam keluarga adalah mencari makanan." Amartya menunjuk pada Raina, ia seakan ingin menarik badan ikan itu agar Naema bisa melihatnya dengan jelas.

"Tubuh mereka ramping, kuat dan cepat. Mata mereka tajam, ekor mereka lancip dan vertikal, kuku mereka panjang, serta yang terpenting, mereka semua perempuan."

"Hmmm, kalo kamu Sarah?" tanya Naema.

"Sa Sanguma." Jawab Sarah sambil menunjuk kepalanya.

"Apakah Sanguma yang mewakili kecerdasan, kakanda?"

"Benar, mereka bisa disebut penyihir, mereka adalah otak dari keluarga (juga kepala keluarga), mereka sangat pintar dan mampu mengikuti budaya manusia, sayang jumlah mereka hanya sedikit." Tak seperti Painima yang hanya bertugas mencari makan, Sanguma selalu muncul di medan perang. Rasa benci Amartya terhadap jenis ini dapat cukup pekat terasa memancar darinya.

"Tubuh mereka paling kecil di antara ketiganya, lemah dan agak lamban, tentunya perempuan, dan sangatlah cantik—"

"Terima kasih." Sela Sarah yang tak sadar akan emosi Amartya.

Pemuda itu menatap Sarah, namun ia mendahan diri dan menghela dalam nafasnya.

"Tahukah kamu, dulu suku Api sering memakan peri laut karena daging kalian mampu menaikkan ketahanan kami akan air?" Nada yang keluar dari mulut pemuda itu seakan berapi-api.

"Ya, katong di Umanacca dah sumpah setia pada calon penguasa, tak pa sudah bila tuan ingin sa tuk dimakan." Namun Sarah menjawab dengan senyum polosnya. Kesetiaan di Dunia baru ini jujur kadang sedikit menyeramkan.

Amartya terkejut kaku mendengar kata-kata Sarah. Mulutnya terbuka lebar, melongo, tanpa kata-kata. Naema yang berada di sampingnya pun memegang dagu Amartya dengan telunjuknya, lalu menutupnya perlahan.

*Tak!*

Dengan rahangnya tergertak, Amartya kembali pada kesadarannya. Ia langsung menggeleng-geleng kepala.

"Ehm… terus, ekor mereka horizontal dan sedikit melengkung." Lanjut Amartya.

"Oh ya, mata mereka menjadi bercahaya ketika menggoda mangsanya, jadi berhati-hatilah."

"Berarti… peri laut barusan… menganggapku mangsa?" Aku bisa mendengar suara ludah tertelan dari leher gadis itu.

"Ya, tapi mereka tidak makan manusia, lebih ke... meminumnya." Kata Amartya

"Maksud kakanda? Menghisap darah!?" Naema perlahan menoleh pada Sarah dengan rasa takut merangkak di sekujur tubuhnya.

Sarah yang sadar akan ketakutan gadis kecil itu, kemudian menggodanya dan membuka lebar mulutnya. Terpertontonkanlah kedua taring tajamnya yang berlumuran darah. Kian ketakutan, Naema pun dengan cepat menyembunyikan dirinya di balik punggung Amartya.

"Oh aku baru ingat, ada hal yang harus aku selesaikan, sampai jumpa Naema." Namun Amartya dengan nakalnya berjalan meninggalkan mereka bertiga, bersama tawa yang tertahan di mulutnya.

"Hiiiiiiiii!" Putri Salju pun tak kuasa menjerit.