webnovel

S2-6 THE BLOOD CASE

"The sun still shine even if it's alone...."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Sesampainya di kediaman Wattanagitiphat, Paing dan Bie Hsu menuntun Nayna masuk ke dalam. Wanita yang mengenal Man sejak sekolah itu berhenti menangis, tapi tubuhnya lemas sekali. Ketiganya disambut Pin dengan suka cita, lantas memberikan doa di altar jenazah. Ya, walau raga Man masih di rumah sakit.

Rumah Apo sangat ramai pada malam itu. Kolega lain yang langsung berkunjung ikut berbelasungkawa. Memberikan dukungan fisik dan moril. Nayna sendiri menggantikan tugas menggendong baby triplets. Begitu pun Bie Hsu dan Paing--

Oh, Alpha bermarga Takhon itu tidak merasakan sensasinya cukup lama. Sebab namanya mendadak dipanggil. Lebih-lebih ekspresi Pin sangat serius.

"Tuan Takhon," kata Pin dengan ayunan tangannya. "Bisa kemari sebentar? Kami ingin berdiskusi denganmu."

"Ah, ya. Tunggu ...." kata Paing. Dia pun memberikan Er yang baru didekap. Sementara Nayu sigap menerima.

"Hiks, hiks ... sayang ...." kata Nayu sambil menciumi Blau Er. Sepupu kecil Apo itu pilu, tapi fokus menepuki bokong si bayi berusia 2 bulan. "Jangan menangis ... sayang .... ya ampun. Papa besok pasti pulang."

Namun Er justru menjerit. "Aaa ... OEEE! Oeeeee! OEEE!"

Bie Hsu pun mengangguk saat dipamiti pergi. Dia memang tidak banyak menebak, tapi paham gestur tadi merupakan bisnis.

Sebagaimana yang telah didengarnya dalam awards dan Nayna. Dua keluarga kini benar-benar jatuh. Mereka butuh penyokong yang kuat, meski bentuknya bukanlah harta.

"Oh, kalau begitu saya usahakan mulai besok. Iya ... bisa ....," kata Paing. Padahal niat kemari hanya menjenguk, tapi kini dia duduk diantara keluarga besar Apo. Ada Miri dengan muka bengkak dia. Ada Songkit, Nathanee, Pin ... bahkan Jeff--mereka juga membahas kasus yang masih kusut sekali.

Di sana, Paing berperan sebagai jembatan dan pilar. Dia diundang dua keluarga dalam proyek darurat. Semua agar pondasi tak langsung rusak. Ada beberapa relasi kuat di luar negeri yang bisa didapuk. Mereka pun butuh pembicara ulung, juga orang berpengaruh lebih besar untuk mewakili. Kebetulan Paing adalah sosok yang cocok untuk itu, mengingat kedudukan keluarganya kuat meski kepemimpinan sudah berpindah.

Paing pun menjamin Luhiang ikut masuk dalam rencana besar mereka. Dia bahkan menelepon sang wanita Alpha di tempat. Langsung memberikan hasil meski baru langkah awal.

"Baik, sudah. Sementara ini semuanya beres. Ada yang masih bisa saya bantu?" tanya Paing sambil memasukkan ponsel kembali ke saku. Namun, bukannya menjawab, Miri malah datang memeluk lelaki itu.

BRUGH!

"Terima kasih ...." kata Miri. Wanita itu mengelus punggung sang Alpha begitu lembut. "Kami tak menyangka kau masih peduli kepada Apo, Sayang. Padahal pertemanan kalian sudah lama sekali."

Mati kutu dipandangi, Paing pun balas memeluk meskipun sungkan. "Um, Oma," katanya dengan panggilan lama. Rasanya aneh setelah bertahun-tahun terulang.

Namun Miri tetap terdengar begitu senang. "Kuharap kau dapat bekerjasama dengan Mile setelah ini," katanya. "Bicara padanya, Sayang. Kalian pasti jadi tim hebat."

Paing hanya mengulas senyum saat Miri memandangnya penuh harapan. Tim hebat, ya ....

"Dan soal Luhiang barusan, itu sungguh berkah besar," kata Miri. "Kudengar dia selalu ingin sambung bisnis dengan kami, tapi kesulitan karena perangai Apo--kau tahu kan? Apo memang begitu. Tapi, jika kau yang menyatukan kita semua, pasti bisa."

"Baik, Oma."

Malam itu, Paing pun menuntaskan urusannya dengan mereka. Rencana dasar langsung dirancang cepat, bahkan Jeff meminta Paing ikut mengawasi Nadech. Mata-mata Apo itu ciut, tapi dia membeberkan sedikit info demi kebaikan. Toh dua keluarga sudah memberikan jalan. Mana mungkin Jeff meragukan kehadiran lelaki itu.

"Oh, saya berikan nomor Tuan Romsaithong sekalian," kata Jeff setelah berbicara dengan Paing. "Anda pasti membutuhkannya, kan? Nyonya Miri bilang kalian harus bicara."

"Ya, terima kasih," kata Paing sembari mengeluarkan ponselnya. Namun, saat didikte satu per satu, Paing baru menyadari sesuatu: ini bukan saatnya berpaling dari masalah seperti dulu.

"Apa? Ma? Apa barusan serius?"

Sayup-sayup, suara Mile pun terdengar begitu Apo bangun dari tidurnya. Omega itu berkedip-kedip sebentar, lalu mengucek mata. Ah, pegal. Dia akhirnya duduk meski rasanya lelah, lalu menatap rupa bengkak wajahnya di dinding kaca.

Sudah mengempis rupanya, batin Apo. Namun, sang suami belum ganti baju meski tebakannya sudah lewat beberapa hari. Lelaki itu tampak agak berantakan. Mungkin bolak-balik kantor sebelum kembali menjenguk keadannya.

"Iya, Sayang. Hari ini Tuan Takhon bisa bertemu denganmu," kata Nathanee dari seberang sana. "Mungkin sedikit sorean. Tapi beliau sudah bilang akan meluangkan jadwal."

Mile yang memunggungi pun tidak bisa memperlihatkan emosinya kepada Apo. Lelaki itu hanya sempat memijit kening, tapi kemudian mengangguk. "Baik, Mae. Iya, tentu aku akan siap-siap," katanya. "Seputar proyek kemarin, bukan? Aku sudah dapat gambarannya."

"Mm, kurang lebih begitu," kata Nathanee tegas. "Tapi akhirnya terserah padamu juga. Kalian diskusikan semuanya dengan baik. Lalu lakukan satu per satu."

"Mm, hm. Baik."

"Tolong jangan sampai gagal kedepannya," imbuh sang ibu mewanti-wanti. "Kau paham kan ini kesempatan terakhir? Apo benar-benar harus cepat kembali. Jika tidak, Claire Erson Company takkan selamat dari kebangkrutan lagi."

Mile pun menghela napas setelah panggilan itu berakhir. Dia bertelakan pinggang dengan raut gusar, memikirkan baiknya saat menghadapi pertemuan. Bagaimana pun, rasa tinggi tidak menolong apapun. Faktanya Mile sedang menerima uluran tangan, apalagi Paing membawa pasukan dia. Lelaki Alpha itu menjanjikan Luhiang dan lain-lain. Bahkan beberapa koneksi dari Inggris dan Belanda. Ah, ini lebih seperti bermain api, bedanya ikut mempertaruhkan harga diri lengkap jiwanya.

"Mile ...." panggil Apo hingga sang suami tersentak.

DEG

"Apo? Sayang, kau bangun?" tanya Mile begitu berbalik. Alpha itu langsung memburu duduk di sisi ranjang, lantas mengecek keningnya. "Oh, demammu sudah benar-benar turun. Syukurlah kalau begitu."

Apo pun menatap mata itu baik-baik. "Apa yang barusan kudengar?" tanyanya. "Tuan Takhon? Mae menyebut Phi Paing dalam proyek apa?"

Mile pun langsung tertampar pias.

"Ah, ya. Begitulah. Seperti yang sudah kau dengar," katanya dengan senyum hambar. "Kita sedang meminta bantuan. Tapi tenang, kau fokus istirahat saja. Pulihkan diri. Setelah itu menyongsong hari kremasi."

"Ah, iya. Pa-ku---"

"Ssssh ... shh ...." kata Mile yang mendorong Apo agar rebah lagi. "Tenang, tenang. Keluarga masih menunggumu bisa. Oke? Jangan khawatirkan apapun lagi."

Apo pun menurut meski ada rasa bersalah dalam matanya. Omega itu pun menautkan jemarinya dengan Mile, lalu terpejam perlahan. Ah, rasanya hangat sekali. Apo sampai meraih tengkuk Mile untuk berciuman lebih lama, karena kekacauan ini benar-benar gila.

Biarkan aku lupa sebentar, Batin Apo yang mulai sesak. Dia tak ingin menangis lagi, tapi menekannya tetap saja sulit. Lelaki itu direngkuh Mile dalam dekapan yang hangat, tak menolak ketika dikecup beberapa kali lagi.

"Mmhh," lenguh Apo dengan tatapan rindunya.

"Apakah sudah mendingan?" bisik Mile dalam jarak wajah yang dekat. "Aku di sini untukmu, hm? Jangan merasa sendiri lagi."

Apo pun mengangguk, meskipun terpejam lagi. Dia memang tak lagi mengantuk, tapi memeluk lengan Mile bisa membuatnya nyaman. Itu seperti obat bagi segala kegelisahannya, karena sosok itu benar-benar hadir.

Mile tidak lagi meninggalkannya seperti dulu. Alpha itu menungguinya, meskipun bingung. Sebab Apo tiba-tiba mimisan di depan mata.

DEG

Tes ... tes ... tes ... tes ....

"Apo! Apo! Wait, Apo ... apa yang terjadi padamu?" panik Mile karena melihat selimut mulai mandi darah. Dia pun refleks menekan bel bantuan darurat. Bahkan sampai memencetnya beberapa kali. Ah, sial. Setelah semenit seorang dokter baru datang. Lengkap dengan dua susternya membantu.

"Baik, tolong permisi sebentar," kata si dokter mengambil alih. "Biar kuperiksa terlebih dahulu."

Mile pun mundur meski rasanya tak rela, sementara Apo tergolek saat dibersihkan perlahan-lahan. Lelaki itu pun tertutupi oleh punggung dokter, hanya tersengal saat mendengar suatu kabar. "Istri Anda mengalami gangguan pembekuan darah, Tuan Romsaithong. Saya sarankan ditangani secepat mungkin."

DEG

"Apa?"

Sang dokter pun menepuk bahunya pelan. "Bisa tolong ikut saya dulu?" pintanya. "Nanti tak jelaskan detailnya di ruangan saya."