"My Territory ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Mendengar panggilan itu, Apo bingung mengartikan perasaannya sendiri. Sebab meski tahu Paing bagaimana, Apo tak bisa berkata-kata setiap kejutan datang. Hmm ... seperti apa ya ... kembang api, mungkin? Sang senior akan membuat Apo fokus kepadanya. Berdebaran. Lalu terdiam kagum menatapnya saja. "Sebentar, biar kutidurkan Er dulu bersama yang lain. Nanti pasti kemari lagi. Tunggu, hm?" katanya.
Apo pun mengangguk. "Umn." Dia senang melihat Er tidur sepulas itu. Memeluk Paing. Apalagi menggigit kepalan tangannya sendiri. Oh, lihat itu. Matanya bergerak-gerak! Mimpi apa Er memangnya? Batin Apo gemas. Dia sadar mereka semakin mirip, bahkan pembawaan Er mengikuti Paing. Baby itu setenang sang Alpha. Hanya ceria bersama orang yang disukai, dan akhir-akhir ini berkembang pesat.
Percayalah, sore itu yang berdiri duluan justru dirinya, padahal tadi pagi Edsel sudah belajar meniti barang. Hebatnya, bangun-bangun kaki Blau Er sudah tegak, padahal babysitter baru meninggalkanya sebentar.
"AAAAAA! TUAN NATTA! ER, TUAN NATTA! YA AMPUN SEJAK KAPAN DIA BELAJAR BERDIRI?!" jerit mereka bersamaan. Sangking hebohnya "Istana Kecil" waktu itu, Apo pun tersedak granola yang dia makan.
"Uhuk--!"
Ya ampun! Aku benar-benar tidak habis pikir! Batin Apo. Mungkin karena dia Omega, Apo tak terlalu paham manfaat scenting seorang Alpha. Namun, penerimaan baby berefek besar juga.
"Ha ha ha ha ha, pintar ...." kata Paing. Sehabis mandi, dia menuntun Er belajar berjalan. Dan tentu tidak sembarangan cara. Paing menggenggam tangan Er agar terangkat ke atas. Mengajarinya langkah per langkah. Sementara Er mengoceh kencang.
"Aaiiiiiiii! Aiyay!" kata Er sambil tersenyum lebar. Apo jadi tahu dia sudah tumbuh gigi. Sangat manis. Padahal baru dua di tempat seri kelinci.
DEG
"Kenapa, Phi?" tanya Apo pada malam harinya. Dia terbangun, padahal sempat berpejam. Langsung kesulitan tidur karena sadar baru dipandangi.
"Bukan apa-apa, hhh ... hanya sedang mengagumi Omega-ku," kata Paing. Dia menelusuri hidung mancung Apo dengan telunjuk. Dari kening hingga ke bawah. Lalu menatap bibir ranumnya.
"Huh?" bingung Apo.
Alpha itu mengembangkan senyum manis. "Kau memang dewasa dan hamil kedua, Apo," katanya. "Tapi aku malah sering ingat wajah bocah yang waktu itu ...."
Tergempur kantuk, otak Apo sebenarnya sulit mencerna. Namun karena Paing tidak berkedip, dia pun batal tidur karena penasaran. "Eh? Maksud Phi sebenarnya kapan?" tanyanya.
Paing terkekeh samar. Alpha itu beralih rebahan santai. Tersenyum lebar. lalu menatap langit-langit dengan mata menerawang. Hal yang membuat Apo merasa anaeh. Apalagi Paing membayangkan hal yang tak pernah dia tahu. "Hm, mungkin sekitar tahun 2005?" katanya. "Aku melihat junior muda pada hari OSPEK. Berbehel, pemalu, tapi lucu juga ketika dihukum menyanyi. Ha ha ha ha ...."
DEG
Apa? Batin Apo. Seketika rasa kantuknya hilang. "Tunggu, tunggu, tunggu--Phiii? Kau tidak sedang membicarakan aku kan?" tanyanya. Panik sekali karena ingat rupanya dulu.
"Ha ha ha, kalau iya kenapa?" kata Paing, diikuti seringai tipis. "Kau yang sekarang memang mirip waktu itu. Sering tertawa, clingy, ceria, tapi sangat serius saat di kelas ...."
"...."
".... Phi me-notice-mu pas bertugas, sih," aku Paing. "Kan kau mahasiswa yang rajin, sering bertanya banyak hal, walau Phi cuma menggantikan dosenmu sebentar."
DEG
Apo pun merona tipis. "Y-Ya ampun ... kenapa ingat hari memalukan itu," katanya, yang bahkan tidak tahu Paing pernah jadi AsDos. Apa karena masih tahun pelajaran baru? Kapan sih? "Tapi salahku sendiri Phi karena miss-informasi. Dengarku kan disuruh bawa kertas karton. Eh ternyata malah kertas samson--sial! Ha ha ha ha ha ...."
"Dasar ...."
Ctak!
"Aduh!"
"Tapi bagus juga nyanyianmu yang waktu itu ...." gumam Paing. Dia melihat Apo yang mengusap bekas jitakan. Bingung saat tatapan Paing berbeda. Ish, Phi ini sebenarnya sedang memikirkan apa? Aku kelewatan hal penting?
"Eh?"
"Sebentar ... aku jadi ingat sesuatu," kata Paing. Dia turun ranjang untuk mengodel laci lemari. Dan di situ ada tempat penyimpanan yang isinya beberapa kamera lawas.
Sebenarnya ada tiga yang dibawa Paing pada waktu itu. Satunya kamera kelis, satunya polaroid, satunya lagi memakai batrei biasa. Namun Paing hanya menyalakan versi ketiga. Dan ternyata low-bat tapi untungnya masih berfungsi. "Now, look ...." kata Paing. "Ekspresimu benar-benar ampas pada waktu itu, ha ha ha ...."
Apo nyaris tak percaya potret bibir manyun-nya sungguhan ada. Dia memegang microphone dengan baju kuning mentah. Sepenuhnya kesal karena di-bully senior ketika OSPEK.
Tapi, tunggu--
"Kok Phi memotretku segala?" tanya Apo.
"Tidak boleh?" Paing malah bertanya balik. Apo sampai kehilangan kata-kata. Lalu menggeser foto yang lain juga--Oh, shit! Semua dokumentasi kegiatan yang Paing lakukan dalam organisasi, juga kehidupan kampus diantara para dosen.
Jadul sekali memang. Vibe-nya benar-benar menggambarkan pada masa itu. Sayang kamera Paing mati sebelum Apo mengecek tanggalnya--
"EEEEEEEHHHHHH!" kata Apo. "Tunggu, tunggu, tunggu ... yahhh ...." keluhnya langsung cemberut. Padahal Apo penasaran adakah potret Fay Aaron juga. Tapi Paing malah menertawakannya.
"Fay? Ha ha ha, mana ada," kata Paing. "Aku belum kenal dia pada waktu itu. Toh kita ketemunya pas study campus."
DEG
"Really?"
"Yea, of course. Kan kami memang tidak satu univ," kata Paing. Lalu mengambil kameranya kembali. "Tapi jika kau mau melihat hal lain--"
Srath!
"Pokoknya yang satu ini punyaku!" seru Apo tiba-tiba. Dia merebut kamera Paing secepat kilat. Bahkan dua yang lain ikut diambil juga. "Ini juga! Ini juga!" katanya. Lalu menaruh semua di belakang bantal. "Ugh, wait--Phi? Pokoknya aku mau lihat isinya dulu. Jangan diambil, ya. Aku marah kalau sampai kejadian."
Paing terdiam sejenak. "Oh, tentu ...." katanya. "Tapi mungkin tidak ada fotomu lagi."
"...."
"Maksudku, hmm ... isinya pasti ribuan. Semoga kau tidak bosan waktu menggesernya."
"Oke? Siapa yang peduli jika cuma satu!" pikir Apo. "Lagipula aku stay terus di rumah. Malah bagus untuk menghabiskan waktu!"
Tapi keseharian Apo sebenarnya tidak semudah itu. Dia sering lembur meski sambil baring. Mengecek berkas kantor. Jangan sampai Miri ikutan kenapa-napa karena ini. Dia pun memimpin rapat secara online untuk para bawahan. Kadang manajer Yuze bahkan ke rumah untuk memastikan data juga.
"Lagian kalau bukan Fay bisa jadi ada yang lainnya," batin Apo. "Orang yang mengincar Phi mungkin? Siapa tahu mereka ikut frame. Pokoknya aku harus tahu kehidupan kuliahmu!"
"Sekarang lega?" tanya Paing. "Maaf kalau momen itu sempat kucuri."
Apo pun mengingat sosok kumal-nya di foto tadi. Dia sadar kalau itu sepele. Apalagi masih sangat-sangat bocah--sumpah, ya. Aku baru lulus sekolah loh waktu itu! Buat apa Phi memotret mukaku?
.... tapi mau kepedean rasanya aneh. Satu jepret mungkin bukanlah apapun, jadi Apo memilih tidak bertanya lagi.
"Ha ha ha, it's okay ...." kata Apo. "Cuma agak--"
"Danke, dass du mein bist," sela Paing mendadak. Alpha itu menaikkan selimut Apo perlahan. Menatanya. Lalu memeluk di bagian pinggang. "Phi hätte nie gedacht, dass ich jeden Tag die chance bekommen würde, dieses fröhliche gesicht zu sehen..." (*)
(*) Bahasa Jerman: "Terima kasih telah menjadi milikku. Phi tidak pernah menyangka berkesempatan melihat wajahmu setiap hari.
Apo pun hanya berkedip-kedip. Entah kenapa kali ini dia takut mengira, padahal biasanya langsung gemas menuding sang Alpha. "Umn," gumamnya. Kemudian balas memeluk.
Paing juga meremas lembut di sana. Lalu mengatakan sebuah fakta padanya. "Oh, ya ... Apo terima kasih sudah hadir pada waktu itu--pas di RS. Ruft auch ständig meinen namen," katanya. "Karena jika yang muncul bukan dirimu, aku mungkin ... sudah tidak ingat segalanya lagi." (*)
(*) Bahasa Jerman: "Dan selalu memanggil-manggil namaku."
***
23 Hari Lalu ....
"Nooo, please, please ... aku sangat mencintaimu, Phi. Please ... aku tak akan memaafkanmu, dengar? Ich werde dich zu tode hassen. Kau tak boleh meninggalkanku sampai kapan pun ... hiks ... hiks ... hiks ...."
(*) Bahasa Jerman: "Aku akan membencimu sampai mati."
Tak kuat dengan rasa sakitnya, Paing pun hilang kesadaran di tengah jalan. Dia seperti dicekik secara paksa. Susah napas. Ingin menggerakkan jari saja bahkan tak bisa.
BRAKH!!
TEETTT! TEET! TEEEEET!
"TOLONG! KUMOHON CEPAT KEMARI! SIAPA PUN! TOLONG!"
Hanya teriakan Apo lah yang Paing dengar terakhir kali. Tapi entah apa yang terjadi setelahnya. Yang pasti, Paing hanya melihat hitam dimana-mana. Hampa. Kosong, dan dia sendirian di sana.
"Oh, aku sudah mati?" gumam Paing. Lalu menatap lengannya sendiri. Tubuhnya ternyata transparan. Berdiri di sebelah jasad manusia kembaran. Bedanya mereka tak lagi menjadi satu.
Paing juga melihat Apo menangis. Dipegangi suster yang membentak keras. Mungkin karena terlampau histeris. "TIDAK! TIDAK! TIDAK!" teriaknya. Omega itu pun dituntun berdiri. Nyaris memukul, padahal si suster memberitahukan kabar baik.
Plakh!
"TOLONG TENANG, TUAN NATTA! Beliau ini hanya tertidur lagi! TENANG!" bentak si suster tanpa disadarinya.
"Tidur?" gumam Paing. Tapi dia tak merasa seperti itu.
BRAAAKHHH!!
Apo pun keluar begitu tak kuat hati. Dia pergi, yang pasti Paing tidak bisa mengejarnya. Alpha itu seperti ditahan di tempat. Hanya berdiri. Cukup menunggui jasadnya selama berhari-hari.
"Apa Phi sangat-sangat kesepian?" tanya sebuah suara mendadak. Mulanya samar, tapi semakin jelas. Dan Paing tertegun melihat wajah manis di masa lalu.
DEG
"Fay ...."
Sosok itu berdiri di ujung ruangan. Menunggunya. Lengkap sebuah senyum yang selalu Paing rindukan. "Phi tahu aku selalu menunggumu di sini ...." katanya. "Bukankah kau ingin staycation bersamaku ke Regio di Calabria? Atau Oxford? Aku bisa membawamu ke mana saja ...."
Untuk sesaat Paing terdiam di tempat. Alpha itu menyadari dirinya semakin pudar. Jadi silau. Bahkan jemarinya mulai tidak terlihat. "Aku ... ya, selalu ingin pergi ke sana juga," katanya. ".... bersamamu, Fay. Tapi apa memang sangat menyenangkan?" tanyanya, ragu.
"Ya, tentu ...." kata Fay sambil berjalan padanya. "Phi bisa melupakan semua rasa sakit yang ada, sepertiku. Jadi, mari kita bahagia bersama-sama ....."
Saat itu, Paing pun mengalihkan pandangan ke tangan Fay. Sang Omega yang selalu tampak indah dalam ingatannya. Kini sedang mengulurkan tangan agar segera disambut.
BRAKKKKHHHHH!!
TET! TET! TET! TET! TET! TET!
"DARURAT! DARURAT! DARURAT! DETAK JANTUNG PASIEN SEMAKIN TURUN! CEPAT PANGGIL DOKTER PIYA! SIAPA PUN!" tiba-tiba teriakan itu terdengar heboh. Dia adalah suster yang ingin mengecek, tapi langsung menjatuhkan nampan berisi obat yang dia bawa.
BRAAKKHHH!!!
"MANA! MINGGIR KALIAN SEMUA! BERI JALAN! CEPAT BERI AKU ALAT PACU JANTUNG!" teriak Dokter Piya yang menerobos. Padahal keringatnya masih deras habis operasi, tapi langsung menangani sang eksekutif.
TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT!
JDUGH!
"Hakkhhhh!" kata Paing dalam tiap tarikan napasnya. Dada jasad itu pun terlonjak berkali-kali. Dikerubung suster. Namun, Fay menutup kedua telinganya perlahan-lahan.
"Phi, jangan dengar dan fokus saja padaku ...." kata Fay dengan senyuman yang lebih lebar. Dia memblokade segala suara dalam ruangan. Lalu menatap mata Alpha-nya sayang. "Kau tidak harus menanggung semuanya seperti itu ...."
JDUGH!
"Haaaakkhhhh!"
TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT!
"APA ADA PERUBAHAN?!"
"TIDAK, DOK! MASIH TURUN!"
"OKE! KITA COBA SEKALI LAGI!"
"BAIK!"
Dokter Piya pun mengusap keningnya sekali. Menghitung waktu. Lalu menggesekkan alat pacunya untuk terakhir.
JDUGH!
"Haaaakkhhhh!"
TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTT!!
Namun, yang ada justru denging panjang dari elektrokardiogram. Alat itu menampakkan garis yang lurus. Sudah berakhir. Bahkan Piya pucat saat mengatakan sebuah bisikan.
"Tolong catat ... hhh ... hhh ... hhh ...." kata Piya yang tersengal-sengal. "Waktu kematian Tuan Takhon 19:45 malam."
Prakhhh!
Dua defribrilator jantung itu tergantung di sisi mesin. Piya akhirnya terduduk lemas. Sudah lelah. Hanya menyaksikan "anak" dalam dunia kedokteran-nya perlahan pergi.
"Baik, Dok ...." kata suster yang tak kalah lemas. Semua berkaca-kaca di tempat itu. Bahkan salah satunya menangis kencang. Jujur, mereka sulit membayangkan Keluarga Takhon jatuh setelah ini. Padahal Paing sering berkeliaran di RS untuk mengecek anak buahnya.
"HA HA HA HA HA HA HA ... Ya Tuhan ...." tawa Piya yang tangannya gemetar. Dia bingung sang CEO lepas di tangannya sendiri. Tanpa tahu sosok itu sudah diajak berjalan dari tempatnya.
"Memangnya kita akan kemana setelah ini?" tanya Paing, yang sudah digandeng Fay menuju ke lorong putih. "Maksudku, tujuan pertamanya, Fay ... aku hanya ingin tahu sedikit."
"Hi hi hi hi hi ... menurut Phi yang mana dulu? Ke Regio? Aku senang saja asal bersama Phi ...." kata Fay sambil tertawa kecil. Dia mengayunkan tangan seperti bocah. Sangat ceria. Sementara kaki Paing terseret mengikutinya.
"Oh, bagus juga .... tidak buruk," kata Paing. Tapi, entahlah. Ada rasa yang mengganjal tiap kali dia melangkah. Makin sakit. Bahkan lebih perih daripada paru-parunya yang kena infeksi. Seolah-olah senyum Fay bukanlah obat seperti dulu. Sehingga Paing akhirnya berhenti di depan gerbang.
"Kenapa, Phi?" tanya Fay. Omega itu pun berbalik langsung. Tampak bingung. Kemudian memiringkan kepalanya. "Kau tidak ingin terlahir lagi bersamaku, kah? Ini pasti---"
"Fay ...." sela Paing tiba-tiba. Dia menatap Omega menggemaskan itu. Membalas senyum, tapi sulit sekali untuk tidak berkaca-kaca. "Phi tidak tahu apakah ini bisa kau terima, tapi ... sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu sejak dulu."
"Eh? Apa?"
Kali ini, Paing lah yang balas menggenggam tangan Fay seerat mungkin. "Maaf karena aku menemukan seseorang jauh sebelummu, hanya bocah. Tapi ... semakin hari aku merasa tidak boleh meninggalkanmu ...."
Seketika Fay pun terdiam mendengarnya. "...."
"Jangan khawatir. Phi selalu menyempatkan diri untuk membaca e-mail-mu, sangat manis. Dan aku tahu kau benar-benar serius ...." kata Paing. Lalu memeluk Fay dalam dekapan. "Itu sebabnya Phi ingin bertemu denganmu. Melihatmu, dan terima kasih pada temanmu yang memperkenalkan kita pada waktu itu ...."
"...."
"Maaf juga Phi tidak bisa menjagamu di akhir ... tapi, bisa tolong kali ini kau biarkan aku?" pinta Paing. "Aku ini--kalau bisa--benar-benar ingin menjaganya dengan tanganku sendiri. Tidak mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi dia sangat butuh aku ...."
"...."
"Aku--sungguh minta maaf karena tidak pernah mengatakannya padamu."
Fay pun meremas pelukan sang Alpha erat. Dia tersenyum, meskipun sesak. Tapi lega karena kini bisa mendengar semua itu. "Ah ... ha ha ha, its okay," katanya. Lalu melepaskan Paing. "Aku senang kok Phi sudah membalas perasaanku--ha ha ha, walau hanya karena kukejar terus?" katanya. "Toh itu berita yang kudengar dari teman kampus ---"Ada Alpha tampan, pintar, walau agak menakutkan ... tapi pasti menerima jika kalian tidak menyerah ....""
"...."
Fay menepuk-nepuk bahunya sambil tertawa kecil. "Tapi, jika tak jadi ikut. Kumohon ... bisa kau dengarkan pesanku, Phi?"
"...."
"Kau jangan begitu terus-menerus," kata Fay. Lalu membelai pipi sang Alpha. "Aku harus yang terakhir merasakannya. Jangan lagi. Dan kejar siapa pun orang yang kau sebut mulai sekarang."
DEG
"Tidak apa-apa?"
"Ya ...."
"Tapi kau tidak akan sendirian seperti yang waktu itu--"
"Sshhh ...." sela Fay tiba-tiba. Omega itu pun tertawa saat berbalik darinya. Lari-lari. Bahkan melambaikan tangan semangat. "POKOKNYA CEPAT KEMBALI, PHI! SANA!" teriaknya. "THANKS SUDAH MEMUKULI SI BRENGSEK ITU, YA!! AKU MAU BERTEMU PAPA DAN MAMA DULU! DAAAAHHHH! HA HA HA HA HA HA HA HA HA!"
Paing pun melihat wajah ceria Fay terakhir kali. Berpisah dengannya, tapi kini tidak meninggalkan penyesalan apapun. "Ya, dah ...." katanya sambil tersenyum tipis. Sayang dia tak bisa lama di sana. Langsung terlempar. Bahkan rasanya lebih sakit daripada dibanting dalam perkelahian.
SRAAAAAAAAKHH!
BRAKKKKKHHHHHHH!
"HAAAAAAAKKKKKHHHHHHH! Hahhh ... hahh ... hahhh ... hahh ...."
TIIIIIT! TIIIIIT! TIT! TIIIT ... TIIT ....
Seketika, dunia Paing pun berubah drastis. Dia sudah kembali ke RS. Lalu menatap langit-langit di saat sekitarnya begitu ribut.
"DOKTER PIYA! DOKTER! DOK! CEPAT KEMBALI KEMARI! JANGAN TELEPON RUMAH DULU KARENA BELIAU DI SINI!"