webnovel

Begin

Semua dimulai dari sini, dari cerita yang pernah mati suri. Dendam yang belum sampai pada inti, akhirnya semua dimulai kembali.

Shandy menundukkan kepalanya dihadapan kedua orang tuanya yang kini menatapnya kecewa. Ini bukan pertama kalinya Shandy membuat mereka kecewa. Beberapa kali juga, Shandy melanggar aturan yang mereka berikan pada Fenly, dengan alasan dirinya merasa iba pada adiknya yang terlalu di kekang, dan sesekali adiknya itu bebas menentukan pilihannya. Sayangnya, tak pernah berjalan mulus. Dan untuk kali ini, kesalahan Shandy lebih besar dari sebelumnya.

"Shan, kamu tau kan, adikmu paling ngga bisa makan kacang? Kenapa bisa kambuh gini? Kamu kasih dia makan apa?" Tanya sang papa bertubi-tubi.

"Itu.. Om.." Belum selesai Gilang menjawab, Shandy langsung menahan Gilang dan memberi isyarat pada sahabatnya itu untuk tidak melanjutkan ucapannya.

"Tadi, Shandy bawa Fen jalan-jalan dulu. Terus tadi Shandy ngga begitu perhatiin apa yang di makan sama Fenly. Shandy baru sadar kalau Fen makan kue yang ada kacangnya. Shandy minta maaf.. Kejadian kayak gini, ngga akan pernah terulang lagi. Shandy janji."

"Mama harap ini terakhir kalinya kamu langgar aturan yang kami buat untuk Fenly. Mama sama papa bukannya ngekang, tapi semua yang kami lakukan itu demi kebaikan Fenly juga."

"Iya, ma.. Shandy janji, ini yang terakhir."

"Ya udah. Kamu jagain Fenly dulu, papa ada panggilan dari kantor, mama kamu juga mau urus administrasi dulu, setelah itu harus dateng ke persidangan. Jadi, tolong ya Shan. Jangan lakukan kesalahan yang sama lagi." Tegas sang papa sebelum akhirnya pergi dari hadapan Shandy dan Gilang.

"Peraturan dari gue, dengerin. Kalau gue lagi di omelin orang tua gue, jangan berusaha buat bantu. Karena mereka ngga bakal percaya. Yang ada, mereka makin kesel, karena gue seolah-olah mencari pembelaan. Mereka ngga bakal hukum ataupun bentak gue. Paling ya, cuma gitu tadi. Jadi, lo ngga perlu belain. Paham?"

"Iya, gue paham. Bokap sama nyokap lo serem juga, ya. Gue baru kali ini ketemu, terus aura mereka beneran kayak polisi sama pengacara yang hebat. Tapi, gue juga heran. Kok bisa mereka punya anak modelan kayak lo."

"Justru gue yang lebih heran, kenapa manusia modelan lo ini masih dikasih kesempatan buat tinggal di bumi, bikin polusi mata." Celetuk Shandy yang kini langsung meninggalkan Gilang untuk masuk ke dalam ruang rawat Fenly.

Shandy tampak tersenyum tipis, kemudian mendekati Fenly yang saat ini juga tampak menatapnya dengan raut wajah yang terlihat khawatir. Shandy duduk di kursi yang berada di dekat Fenly. Salah satu tangannya, ia gunakan untuk mengusap puncak kepala Fenly dengan lembut.

"Maafin kak Shandy, ya.. Kakak ngga lihat tadi Fen makan kue apa. Lain kali kak Shandy bakal lebih hati-hati, dan kejadian gini ngga bakal terulang lagi." Fenly kembali mengangguk, karena memang saat ini tenggorokan nya akan terasa nyeri ketika digunakan untuk berbicara.

"Fen.. Gue minta maaf, ya.. Gue beneran ngga tau kalau lo alergi kacang." Ucap Gilang yang kini menyusul Shandy masuk ke dalam ruang rawat Fenly. Melihat Gilang yang benar-benar terlihat merasa bersalah, Fenly tersenyum tipis dan mengangguk.

"Kata dokter, ice cream bagus buat penyembuhan peradangan yang sekarang lagi Fen rasain. Mau kak Shandy belikan ice cream?" Tanya Shandy yang langsung dijawab anggukan semangat oleh Fenly.

"Kayaknya, lo salah cetak deh, Shan.. Semua keluarga lo pada cakep-cakep. Lo doang yang engga.." Mendengar ucapan Gilang, Shandy langsung menatap Gilang dengan tatapan tajam.

"Lo tau ngga? Kalau gue bunuh lo sekarang, gue punya backing-an polisi sama pengacara. Jadi, mungkin aja gue selamat dari tuduhan."

"Becanda, aelah.. Baperan bener."

Melihat interaksi antara Shandy dan Gilang, membuat Fenly tersenyum manis. Jika seperti ini, dirinya tak akan merasakan kesepian. Ia merasa memiliki teman. Andai saja, ia juga bisa memiliki teman seperti Shandy yang memiliki Gilang, mungkin hidupnya akan jauh lebih berwarna. Tetapi, kini Fenly tak ingin banyak berandai lagi. Bagi Fenly, Shandy saja sudah cukup.

☆☆☆

~ author

Setelah dinyatakan membaik, Fenly telah kembali ke rumah untuk menjalani rutinitasnya yang cukup membosankan. Satu-persatu, anggota keluarganya akan berpamitan untuk pergi. Dimulai dari sang papa yang memang harus apel pagi dan ada beberapa penyelidikan yang belum tuntas ia usut, sehingga mengharuskan sang papa untuk berangkat lebih pagi dari yang lain. Kemudian, disusul dengan sang mama yang ada jadwal sidang pagi. Dan yang terakhir, tentu saja Shandy yang hanya menyambar selembar roti tawar dan meneguk susu sebelum ia berangkat ke sekolah.

Fenly meletakkan roti tawar yang berisikan selai coklat itu dengan lesu, ia ingin pergi sekolah seperti Shandy, ia ingin memiliki teman seperti Shandy dan ia ingin sebebas Shandy. Semua yang ada di hidupnya, terlalu membosankan, bahkan Fenly juga dibatasi dalam penggunaan media sosial.

"Kalau orang lain punya mimpi jadi dokter, musisi ataupun guru.. Fen cuma ingin pakai seragam. Fen ngga pernah sama sekalipun pakai seragam.." Gumam Fenly lirih sambil memainkan roti miliknya.

Fenly menoleh kearah pintu, ketika terdengar suara bel rumahnya berbunyi. Ia melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Bukannya jadwal home schooling masih satu jam lagi, ya? Kenapa gurunya datang sekarang?" Gumam nya. Dengan sedikit malas, ia berjalan menuju pintu utama dan membukanya untuk seseorang yang ia anggap sebagai guru home schooling nya itu. Tetapi ketika membuka pintu, ia terkejut dan sedikit mundur, karena yang datang adalah orang yang tidak ia kenal. Ia dihadapkan dengan seorang pria berpakaian serba hitam, pria itu menutup wajahnya dengan masker dan topi yang dikenakannya.

"C-cari siapa?" Tanya Fenly gugup karena sedikit takut. Bagaimanapun, ia belum pernah bertemu dengan orang asing ketika sendiri. Fenly meremat handle pintu rumahnya dengan erat, sambil mengucap doa dalam hatinya supaya ia diberikan keselamatan.

"Apa kabar, anak nakal? Apa kamu merindukanku, hmm?" Tanya pria itu yang langsung membuat tubuh Fenly menegang. Dengan cepat, Fenly menutup pintu dan menguncinya sebelum pria tadi masuk ke dalam rumahnya.

PRANG!!!

Salah satu kaca jendela di sebelah Fenly, pecah berantakan. Karena dilempar batu sebesar kepala dari arah luar. Fenly menoleh kearah jendela yang pecah dan langsung bertemu tatap dengan pria yang berusaha masuk. Tetapi dengan gerakan cepat, pria tadi meraih lengan Fenly dan menghempaskan tubuh Fenly hingga terjatuh di antara pecahan kaca jendela yang masih berserakan.

"Anak nakal! Beginikah caranya menyambut tamu?" Tanya pria itu sambil berlutut di depan Fenly yang masih tersungkur dengan darah yang mulai mengalir di tangannya karena tersayat pecahan kaca.

"Maaf.. Fen ngga boleh terima tamu selain guru home schooling Fenly." Jawab Fenly dan membuat pria tadi tertawa sambil menarik kuat rambutnya.

"Dengar baik-baik, anak nakal. Kali ini kamu aman karena kamu hanya ingin berkenalan. Tapi, setelah ini ucapkan selamat pada mimpi buruk terbesar kalian." Ucap pria tadi yang membuat Fenly ketakutan.

Pria itu melepaskan cengkraman tangannya dari rambut Fenly dan segera meninggalkan dengan keadaan Fenly yang masih gemetar karena ketakutan. Bahkan hingga pria itu pergi, Fenly masih mematung ditempatnya. Keadaannya benar-benar kacau, dengan rambut yang berantakan dan lengan serta kaki yang terluka. Ia menangis, tapi tak dapat bersuara sedikitpun. Ia memeluk lututnya karena ketakutan, dan entah apa yang tengah ia pikirkan, ia berjalan keluar rumah untuk mencari keberadaan Shandy. Yang bahkan, ia sendiri tidak mengetahui dimana letak sekolah kakaknya.

Fenly berjalan menyusuri jalanan, mencoba menemukan sekolah kakaknya. Dengan keadaannya yang tidak baik, mungkin orang-orang yang tidak mengenalnya akan berpikir jika dirinya adalah orang gila dengan penampilannya saat ini. Sesekali, Fenly berhenti karena kakinya yang terasa sakit. Selanjutnya, ia kembali berjalan untuk menemukan sekolah Shandy. Langkahnya kembali terhenti, ketika kakinya tak sengaja tersandung batu, yang membuat dirinya terjatuh. Cukup lama Fenly terduduk di pinggir jalan, hingga akhirnya kembali bangkit dan berjalan. Tak ada yang menolong atupun menegurnya, karena berpikir jika Fenly adalah orang yang dalam gangguan jiwa.

Fenly berhenti berjalan, kemudian berdiri dan memperhatikan beberapa sekolah. Tetapi, ia belum menemukan sekolah yang memiliki seragam sama seperti yang dikenakan Shandy. Hingga akhirnya, setelah ia berjalan cukup jauh, ia menemukan sekolah yang mungkin ia cari. Beberapa siswa yang tengah membeli makanan ringan di depan sekolah, tampak memperhatikan dan memandang Fenly seperti orang aneh. Mendapat tatapan mengintimidasi dari sekitarnya, membuat Fenly kembali merasakan takut dan kini terduduk, kemudian menyembunyikan wajahnya dibalik kedua lututnya. Para siswa itu kembali menatap Fenly, sebelum akhirnya kembali masuk ke area sekolah.

Sementara itu, Shandy tengah berbincang ringan dengan teman-temannya setelah bermain basket. Jam olahraga telah berakhir, dan sekarang memasuki jam istirahat. Tetapi, Shandy dan teman-temannya masih enggan untuk meninggalkan lapangan ataupun berganti pakaian. Shandy memperhatikan beberapa siswi yang lewat didepannya.

"Itu tadi orang gila bukan, ya? Kalau orang gila, kenapa pakaian dia bersih banget? Terus dia juga kelihatan ke urus banget, cuma lengan sama kaki dia yang luka."

"Kayaknya dia kabur dari rumah ga, sih? Mungkin dia tertekan sama keluarganya, jadi gila terus kabur."

"Bisa jadi. Kasian juga, mana masih muda, tapi ngga waras. Tadi gue sempet liat, mukanya ganteng tau."

"Ummm.. Iya, hampir mirip kak Shandy ga, sih?"

Percakapan mereka cukup menarik perhatian Shandy. Ia berpikir, siapa yang tengah mereka bicarakan. Tapi, ia memilih acuh dan memainkan bola basket ditangannya, sambil sesekali menanggapi ucapan Gilang atau temannya yang lain. Shandy kembali mengalihkan pandangannya pada beberapa siswi yang berada didekatnya, ketika salah satu dari mereka yang baru datang dan bergabung.

"Eh, orang gila yang didepan tadi kasian tau, dia di usir sama pak satpam karena takut ganggu anak sekolah. Terus dia kayak ketakutan gitu."

"Kasian banget, ya.. Semoga pak satpam ga kasar sama dia deh, soalnya tadi dia luka gitu."

Entah mengapa, perasaan Shandy mendadak cemas. Padahal, ia tak tahu siapa orang yang tengah mereka bicarakan.

"Woi, Shan.. Kenapa lo? Diem mulu." Tanya Gilang.

"Ah, engga. Gue mau ke depan bentar, ya." Ucap Shandy yang langsung melempar bola basket pada Gilang, dan berlari menuju pintu gerbang sekolah miliknya.

Setiba Shandy didepan gerbang, beberapa siswa juga tengah memperhatikan satpam sedang berusaha mengusir seorang pemuda yang duduk didepan sekolah mereka. Shandy membelalakkan matanya, ketika ia mengenali wajah pemuda itu.

"FENLY!!!" Teriak Shandy yang kini langsung berlari dan membawa Fenly ke dalam pelukannya.

"Kak.. Fen takut.. Mereka datang lagi. Mereka ke rumah.. Fen takut." Adu Fenly yang masih dalam pelukan Shandy. Shandy merasakan tubuh adiknya begitu dingin, pasti sangat ketakutan, terlebih saat ini ia tengah berada di kerumunan orang. Dan Shandy juga bingung, bagaimana adiknya bisa tiba di sekolahnya? Lalu, siapa yang Fenly sebut dengan sebutan mereka? Apa kelompok mafia itu datang lagi dan berusaha menganggu keluarga mereka?

"Kak.. Fen takut.."

"Kakak disini, oke? Udah, Fen tenang dulu. Fen ikut kakak ke dalem, kita ketemu Gilang. Setelah kakak izin, kita langsung ke rumah sakit, terus pulang."

"Fen ngga mau pulang. Fen takut mereka datang lagi.."

"Ada kakak.. Ngga ada yang bisa sentuh Fenly kalau ada kakak! Jadi, jangan takut, ya." Tutur Shandy yang membuat Fenly menganggukkan kepala. Shandy melepaskan pelukannya dan kini berjalan membelakangi Fenly.

"Ayo naik, kita ke Gilang dulu." Perlahan, Fenly mengalungkan kedua tangannya pada leher Shandy dan naik ke punggung kakaknya.

Fenly menyembunyikan wajahnya pada bahu Shandy ketika banyak pasang mata yang menatap mereka. Shandy sendiri tak peduli dengan tatapan orang-orang padanya. Tetapi yang jelas, nama Shandy sudah terkenal karena segudang prestasi, ditambah dengan sebutan most wanted di sekolah itu semakin bersinar karena banyak yang kagum dengan sifat dan cara Shandy memperlakukan adiknya. Mereka tak menyangka, seorang Shandy yang mereka kenal jahil dan pecicilan itu, begitu lembut dan dewasa ketika dihadapan adiknya. Siapapun akan mudah jatuh hati pada pesona Shandy karena alasan ini.

"Lahh.. Fenly?" Ucap Gilang yang terkejut dengan kedatangan Shandy sambil membawa Fenly di gendongannya.

"Lang, titip Fenly bentar. Gue mau izin pulang." Ucap Shandy yang menurunkan Fenly di dekat Gilang. Meski bingung dengan keadaan Fenly, Gilang hanya bisa mengangguk paham.

"Dan lo semua, jangan lihatin adek gue. Dia ngga bisa digituin. Dia gampang ngga nyaman dengan orang asing." Ujar Shandy yang kini langsung berlari menuju kelas untuk mengambil barang-barang miliknya sebelum ia pulang. Beruntunglah Shandy yang memiliki otak cerdas dari lahir, meski bolos pelajaran sekalipun, guru-guru tidak akan khawatir dengan nilai Shandy. Bahkan, meski minggu depan telah masuk pada ujian, Shandy begitu mudah mendapat izin pulang.

"Ayo pulang." Ajak Shandy sambil mengulurkan tangannya pada Fenly. Tak ada jawaban dari Fenly, ia meraih tangan kakaknya dan menggenggamnya erat.

"Gue duluan, ya." Pamit Shandy pada teman-temannya.

"Gue nanti mampir deh, Shan. Tapi, habis sepupu gue, ya. Motor dia rusak, jadi gue yang antar jemput." Shandy mengangguk, Gilang dan sepupunya memang berbeda sekolah. Meski jauh, Gilang lebih suka bersekolah di sekolahnya kali ini. Tentunya karena sahabatnya berada di sekolah yang sama. Sejak sekolah dasar, Gilang dan Shandy memang tidak pernah terpisahkan.

Gilang memperhatikan Shandy yang saat ini tengah merangkul Fenly, dan beberapa kali menunduk, mencoba menanyakan keadaan adiknya itu. Bertahun-tahun, Gilang mengenal Shandy, tetapi baru kali ini ia diperlihatkan dengan sifat Shandy yang begitu dewasa, tegas dan lembut dalam waktu yang bersamaan. Jika seperti ini, Gilang seperti dihadapkan pada definisi dari pemuda sempurna.

Happy Reading..

Próximo capítulo