webnovel

Perjalanan Menuju Negeri Utara

Perjalanan sudah berlangsung beberapa jam ketika Cuimey yang menunggangi kudanya di samping Ceun-Ceun akhirnya memecah kesunyian. Jalan yang mereka lalui mulai memasuki kawasan hutan, dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Matahari semakin tinggi di langit, menandakan tengah hari yang cukup terik.

"Ceun-Ceun, aku penasaran," ucap Cuimey sambil menatap lurus ke depan. "Kita telah meninggalkan biara tanpa arah yang jelas bagi diriku. Sebenarnya, ke mana kita hendak pergi? Apa tujuan perjalanan ini?"

Ceun-Ceun menghela napas sejenak, merasakan hembusan angin yang sejuk di wajahnya. Dia menatap Cuimey dengan mata yang penuh dengan keteguhan. "Kita akan pergi ke negeri utara, Cuimey. Ada sesuatu yang harus aku temukan di sana. Sesuatu yang mungkin akan memberikan kita petunjuk tentang musuh yang menyerang biara."

Cuimey mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan jawaban itu. "Negeri utara? Kau yakin? Negeri itu terkenal dengan kekejaman cuacanya dan ketatnya penjagaan. Apa yang membuatmu berpikir bahwa kita akan menemukan petunjuk di sana?"

Ceun-Ceun menatap jauh ke depan, seolah-olah mencari jawaban di balik cakrawala. "Aku memiliki firasat yang kuat, Cuimey. Ada sesuatu yang menghubungkan serangan ini dengan orang-orang di utara. Sejak serangan di biara, aku terus merasa bahwa ada sesuatu yang belum kita ketahui. Mungkin itu berasal dari negeri utara, tempat di mana legenda tentang pendekar-pendekar kuat berasal."

Cuimey terdiam, merenungkan kata-kata Ceun-Ceun. Negeri utara memang dikenal sebagai wilayah yang keras, dengan para pendekar dan prajurit yang tangguh. Namun, sangat sedikit yang diketahui tentang tempat itu selain reputasinya sebagai tempat yang sulit dijangkau.

"Apa kau pernah ke sana sebelumnya?" tanya Cuimey lagi, matanya penuh dengan keingintahuan.

Ceun-Ceun menggeleng perlahan. "Belum pernah. Tapi aku pernah mendengar kisah dari guruku tentang negeri itu. Dia mengatakan bahwa di sana terdapat kekuatan yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dan aku merasa, entah bagaimana, bahwa kekuatan itu terkait dengan serangan yang kita alami."

Cuimey mengangguk perlahan. "Baiklah, Ceun-Ceun. Aku percaya padamu. Jika tujuan kita adalah negeri utara, maka aku akan mengikutimu. Namun, kita harus berhati-hati. Tempat itu tidaklah ramah bagi orang asing."

"Terima kasih, Cuimey. Aku sangat menghargai dukunganmu." Ceun-Ceun tersenyum tipis, merasa sedikit lega bahwa Cuimey sepenuhnya memahami situasi ini.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih banyak diam daripada bicara. Masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang apa yang menanti di depan. Sepanjang perjalanan, Cuimey tak henti-hentinya memperhatikan sekeliling, waspada terhadap kemungkinan adanya bahaya yang mengintai dari balik pepohonan. Meski mereka belum mendekati negeri utara, dia tahu bahwa musuh bisa saja muncul kapan saja.

Matahari mulai condong ke barat saat mereka akhirnya mencapai sebuah desa kecil di tepi hutan. Ceun-Ceun memutuskan bahwa mereka perlu berhenti di sini untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan esok hari.

"Di sini kita akan bermalam," kata Ceun-Ceun sambil menghentikan kudanya di depan sebuah penginapan sederhana. "Kita harus mempersiapkan tenaga untuk perjalanan besok. Negeri utara masih jauh, dan kita akan membutuhkan kekuatan penuh untuk mencapainya."

Cuimey setuju tanpa banyak bicara. Mereka masuk ke dalam penginapan, mendapatkan kamar, dan mulai mengatur barang-barang mereka. Malam itu, ketika keduanya beristirahat, pikiran Ceun-Ceun terus melayang ke negeri utara. Dia merasa ada sesuatu yang besar menunggu mereka di sana, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya.

Namun, di balik firasat itu, terselip rasa cemas. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan petunjuk, tetapi juga menghadapi tantangan yang lebih besar dari yang pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan di tengah semua ini, ada sesuatu yang terus menghantui pikirannya, sebuah bayangan dari masa lalu yang mungkin kembali untuk mengejar mereka.

Di luar, angin malam bertiup lembut, membawa dingin yang menembus dinding penginapan. Ceun-Ceun berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Dalam keheningan malam itu, dia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, dia akan melindungi mereka yang dia sayangi, termasuk Cuimey dan Loupan. Perjalanan ke negeri utara ini mungkin penuh risiko, tetapi dia tidak akan mundur. Dia harus mengetahui kebenaran di balik semua ini, bahkan jika itu berarti menghadapi musuh paling berbahaya sekalipun.

Saat malam semakin larut, di dalam kamar penginapan yang sederhana itu, Ceun-Ceun sedang berbaring, merenung tentang perjalanan mereka esok hari. Namun, tiba-tiba suara ketukan pelan di pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya.

"Masuklah," kata Ceun-Ceun sambil bangkit dari tempat tidur. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Cuimey muncul dengan wajah yang tampak sedikit bingung.

"Ceun-Ceun," Cuimey memulai, suaranya terdengar sedikit canggung, "perutku merasa lapar. Apakah kamu merasa hal yang sama sepertiku?"

Ceun-Ceun tersenyum simpul mendengar itu. Rasa lapar memang sudah mulai dirasakannya sejak mereka berhenti di penginapan ini, tetapi dia terlalu tenggelam dalam pikirannya hingga tidak menyadari betapa laparnya dia. "Iya, aku juga merasakan hal yang sama, Cuimey."

Cuimey tampak lega mendengar jawaban Ceun-Ceun. "Bagaimana kalau kita keluar untuk mencari makan? Mungkin ada kedai atau warung di dekat sini yang masih buka."

Ceun-Ceun mengangguk setuju. "Ide bagus. Ayo kita keluar dan cari sesuatu untuk dimakan. Kita butuh tenaga untuk perjalanan esok hari."

Keduanya segera meninggalkan kamar penginapan dan turun ke lantai bawah. Penginapan itu sunyi, dengan hanya beberapa tamu lain yang terlihat di lobi, sebagian besar sudah terlelap atau sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ceun-Ceun dan Cuimey melangkah keluar dari penginapan dan berjalan menyusuri jalan desa yang sepi.

Malam itu, desa tampak tenang, dengan hanya beberapa lampu minyak yang menerangi jalan-jalan kecilnya. Mereka akhirnya menemukan sebuah kedai kecil di ujung jalan, masih terbuka dengan beberapa orang duduk di dalamnya. Aroma masakan yang keluar dari kedai itu segera menggugah selera mereka.

"Sepertinya kita beruntung," kata Cuimey dengan senyum lebar. "Makan malam kita ada di sini."

Mereka memasuki kedai dan mengambil tempat duduk di dekat jendela. Seorang pelayan tua segera datang menghampiri mereka dengan senyuman ramah. "Apa yang bisa saya sajikan untuk kalian malam ini?"

Ceun-Ceun melihat ke arah Cuimey yang sepertinya juga sedang memikirkan hal yang sama. "Apa menu spesial malam ini, Pak?" tanya Ceun-Ceun.

Pelayan itu mengangguk. "Malam ini kami punya sup daging rusa dengan sayuran segar, dan nasi hangat. Juga ada roti bakar dan teh herbal untuk menemani."

Mendengar itu, Cuimey langsung mengangguk antusias. "Itu terdengar enak sekali! Kita pesan itu saja, Ceun-Ceun."

Ceun-Ceun mengangguk setuju. "Baik, kami pesan dua porsi sup dan roti bakarnya, serta teh herbal untuk minumnya."

Pelayan itu mencatat pesanan mereka dan bergegas ke dapur. Sementara menunggu makanan datang, Cuimey dan Ceun-Ceun berbincang tentang rencana perjalanan mereka ke negeri utara. Meskipun rasa cemas masih menyelimuti hati Ceun-Ceun, suasana di kedai yang hangat dan obrolan ringan dengan Cuimey sedikit mengurangi beban pikirannya.

"Cuimey," Ceun-Ceun memulai dengan suara rendah, "apa kau pernah berpikir tentang apa yang sebenarnya menanti kita di negeri utara? Aku merasa seperti kita memasuki sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan."

Cuimey menatap Ceun-Ceun dengan penuh perhatian, lalu mengangguk pelan. "Aku juga memikirkan hal itu, Ceun-Ceun. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu. Kita akan hadapi ini bersama."

Kata-kata Cuimey memberi Ceun-Ceun sedikit ketenangan. Dia merasa bersyukur memiliki teman seperti Cuimey yang selalu setia dan siap mendukungnya dalam situasi apapun.

Tak lama kemudian, makanan mereka datang, dan keduanya menikmati hidangan malam itu dengan perasaan lega. Sup yang hangat dan teh herbal yang menyegarkan memberi mereka energi baru setelah perjalanan panjang. Selesai makan, mereka kembali ke penginapan dengan perut kenyang dan hati yang sedikit lebih ringan, siap untuk menghadapi perjalanan esok hari menuju negeri utara yang penuh misteri.

Malam itu, sebelum tidur, Ceun-Ceun memandang ke luar jendela kamar penginapan, ke arah bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Sebuah doa terucap dalam hatinya, berharap perjalanan mereka ke negeri utara akan membawa mereka lebih dekat pada jawaban yang mereka cari, dan mengungkap misteri yang selama ini membayangi mereka.

Próximo capítulo