31 Desember, 2030.
Sakit... Seluruh tubuhku sakit... Ah... Kejadian di fasilias rahasia 03 terus menghantuiku. Semua orang mati kecuali aku. Aku babak belur, aku juga membunuh bawahanku sendiri. Apa yang harus aku ucapkan ke Tamara? Seharusnya besok adalah hari bahagianya.
Aku menutup wajahku dengan telapak tangan kanan ku dan bergumam "Apa yang harus aku katakan jika bertemu dengannya?"
Aku menghela nafas dan melihat sekeliling ku, sebuah ruang rawat rumah sakit, dinding, dan plafon putih, ruangan yang terang. Aku melihat ke arah jendela keluar. Pemandangan kota Zhyvabovka yang masih belum terdampak kekacauan ini. Gelapnya malam bertabur bintang, bangunan-bangunan tinggi yang diterangi lampu-lampu, suara-suara kendaraan masih terdengar ramai di kejauhan.
Aku alihkan pandangan ke arah jam dinding di depan ku, jam menunjukan pukul 11 malam. Sebentar lagi tahun baru...
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ketukan di pintu, suster? Tidak... Gagang pintu berputar, dan pintu terbuka. Menunjukan seorang pria dengan telinga runcing ke samping dan rambut pirang juga mata biru muda, ia mengenakan pakaian kasual, sebuah jaket biru dan celana training hitam.
Aku dapat langsung mengenalinya, wajah menyebalkannya, kawan salah satu perwira berpangkat letnan sama seperti ku, teman satu regu saat dalam pelatihan... Konstantin Melnik.
"Oh... Ternyata kau Kostya..." ucapku lalu menghela nafas perlahan. Dia menyebalkan tapi selalu dapat diandalkan.
"Wah... Kau babak belur," Kostya tertawa kecil.
Ia berjalan mendekat dan menarik kursi di dekat kasur ku dan duduk di atasnya, senyumannya itu terkadang membuatku sebal. Jika kaki ku tidak di gips dan aku dapat berdiri aku pasti sudah menendang tulang keringnya itu.
Kostya berdeham pelan sebelum memasang wajah sedikit serius. Oh... Pekerjaan, aku memutar mataku sebelum bertanya "Ada apa? Wawancara? Seminggu ini are?"
"Hei, komandan Gorev tentu tidak sejahat itu, misi itu pasti sangat membebani mu. Aku dengar hanya kau yang masih hidup setelah kau keluar dari fasilitas itu," ucap Kostya, wajahnya menunjukan simpai, namun ia tersenyum untuk mengurangi suasana tidak enak yang mungkin muncul.
"Ada satu lagi yang selamat..." balasku pelan sebelum menghela nafas pelan, berusaha untuk tidak menunjukan wajah sedih.
"Tidak apa jika aku merekam percakapan kita?" Kostya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya.
"Ya, silahkan," jawabku kemudian menatap langit-langit kamar .
Kostya menaruh ponselnya di atas meja dekat kasur ku sebelum menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia menatap wajahku lekat-lekat sebelum mengalihkan pandangannya ke tangan kiri ku yang di-gips kemudian kaki kiri ku yang juga di-gips.
"Jadi kau bilang seharusnya ada satu lagi yang selamat?" tanya Kostya sekali lagi.
"Ya.... Aleksei Kolasinski."
Dadaku terasa sesak ketika menyebut namanya, aku selalu teringat dengan Tamara ketika menyebut namanya, aku menarik nafas panjang. Kostya sendiri hanya terdiam sambil memperhatikan wajahku seperti membaca raut wajah ku.
"Tidak usah ditahan, nafas mu jadi sangat dalam jika menahan emosi mu," ucapnya.
Ia merogoh isi kantong celananya dan mengeluarkan sekotak rokok filter dan korek api, "Kau mau?" tanyanya sambil menyodorkan kotak rokoknya kepada ku.
"Kau ingin dikeluarkan dari rumah sakit? Kau tahu tidak boleh merokok di dalam rumah sakit bukan? Lagi pula bisa-bisanya kau malah menawarkan rokok ke orang sakit," ucapku risih sambil mencoba menepis rokok yang ia coba berikan.
"Ah, gak asik..." ucapnya kemudian menaruh bungkus rokok dan koreknya kembali ke kantong celana.
Ia menyandarkan punggungnya kembali ke kursi yang ia duduki "Aleksei... Aleksei... Tunggu... Adik ipar mu?" tanya Kostya, telinga runcingnya bergerak sedikit.
Aku menutup mataku dan menarik nafas panjang "calon adik ipar... Ya... Seharusnya dia selamat... Tapi aku membunuhnya," kata terakhir itu bagai sengatan listrik ke seluruh tubuhku. Mengingat bahwa aku baru saja menghancurkan hidup adikku dengan membunuh tunangannya.
Kostya terlihat terkejut, telinga runcingnya yang ke samping sekarang mengarah ke belakang, senyumannya berubah,ia mengernyitkan dahinya.
"Kenapa?"
Aku menarik nafas dalam-dalam sekali lagi, sedikit tersendat-sendat, dadaku sakit... Entah dari dua tulang rusuk yang patah atau memang ini terlalu berat untuk diingat.
"Dia terinfeksi... Ya tuhan apa yang harus aku katakan kepada Tamara...Seharusnya besok ia menikah..." Aku menutup wajahku dengan lengan kananku, air mata sedikit keluar dari kedua mataku.
Untuk beberapa saat ruangan itu sunyi, aku hanya bisa mendengar suara nafas ku sendiri. Aku merasa sebuah tangan menyentuh bahu kiri ku perlahan.
"Kita bisa berhenti sebentar jika kau mau," ucap Kostya dengan wajah penuh rasa kasihan kepadaku, aku benci itu.
Aku menggelengkan kepalaku sebelum menjawab "Tidak... Aku masih bisa lanjut."
Kostya menarik nafas panjang lalu menghebuskannya perlahan sebelum ia memberikan pertanyaan selanjutnya "Mengapa kau membununya?"
"Dalam keterangan misi. Di sana tertulis aku harus mengeksekusi siapa pun anggota yang terinfeksi... Dan Aleksei terinfeksi," jawabku mencoba terlihat tenang.
"Dan... Apakah kau yakin soal itu?" Tanya Kostya memastikan.
"Aku harap tidak... Tapi gejalanya sama persis seperti yang disebutkan dalam detail misi... suhu tubuhnya tidak normal, dia juga selalu menggumamkan sesuatu namun aku tak dapat mendengarnya dengan jelas, dia pun terlihat tidak seperti dirinya karena tidak biasanya dia bersikap kasar... Juga dia tidak merasakan sakit apa-apa saat luka nya yang di kepala diam-diam aku tekan saat diobati."
"Bisa jelaskan apa yang kau maksud dia bersikap kasar dan tidak seperti biasanya?" tanya Kostya penasaran.
"Aku tahu betul raut wajahnya ketika seseorang terbunuh sangat dekat dengannya, wajahnya saat itu tak menunjukan apa-apa selain amarah." jawabku sambil mengingat saat Aleksei menembaki mayat orang yang sudah menyerangnya.
"Sejak kapan kau menyadarinya terinfeksi?" Kostya sekali lagi bertanya, matanya berpindah ke arah jendela memperhatikan langit malam.
"Saat masker gas nya terbuka setelah dirusak oleh orang yang terinfeksi."
"Hm..." Kostya mengangguk-angguk pelan sebelum kembali bertanya "Bagaimana dengan kondisi di fasilitas? Ada yang aneh?"
"Ya... Mayat tiga onirin, dua inujin, dan satu nekojin... Mereka mengenakan peralatan Teikokuten, pistol mitraliur Type-21 Kaze, dan senapan gentel Type-30 Shikei Shito," jawabku.
Pandangan Kostya kembali ke arahku Wajahnya menunjukan rasa terkejutnya "Itu bukan senjata standar personil bersenjata Svartov, tapi setahuku angkatan darat Teikokuten juga jarang menggunakan senjata yang kau sebutkan, bagaimana kau tahu kau tidak keliru?"
"Aku tahu betul, aku pernah mencoba dan melihatnya langsung saat bertugasa menjaga perbatasan. Dan dari desain juga performanyna, aku yakin ini didesain untuk keperluan militer," jelasku yang ingat betul saat-saat senjata yang dibawa oleh penyelundup Teikokuten.
"Lalu siapa mereka? Pasukan khusus? Atau pemberontak?" tanya Kostya, ia meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah piring plastik, sekantung apel dan sebuah pisau.
"Tidak mungkin pemberontak. Fasilitas rahasia Svartov keberadaannya sangat rahasia, tapi jika itu pasukan khusus, artinya ada kebocoran informasi rahasia Svartov ke Teikokuten... Selain itu ada satu laci yang kosong, aku tidak yakin itu seharusnya kosong," jawabku sambil memerhatikan barang yang dikeluarkan Kostya dari tasnya.
Aku mengingat dog tag yang aku ambil dari kantong celana Aleksei "Mungkin mereka benar-benar dari Teikokuten..."
"Benarkah?" tanya Kostya memastikan.
"Cek laci ku, ada lima dog tag di situ, berikan itu di dalam detail laporan ini juga," balasku sambil menatap ke arah laci meja di samping ku.
Kostya membuka laci paling atas dan mengambil lima dog tag yang ditulis dengan bahasa Rujin.
Ia memperhatikan dog tag yang ia pegang dan memasukannya ke dalam tas-nya.
"Sepertinya itu sudah cukup," ucap Kostya yang kemudian menghentikan rekaman suara ponselnya.
Ia mengambil salah satu apel berwarna merah dari dalam kantung plastik kemudian memotongnya secara hati-hati.
"Kau membawakanku buah?" tanyaku kemudian tersenyum kecil.
"Tentu saja, oh! Istriku juga memintaku membawakn mu ini,"Kostya menaruh apel yang baru saja ia potong jadi setengah ke atas piring kemudian mengambil sebuah kotak bekal dari dalam tasnya dan menaruhnya di atas meja.
Pandanganku tertuju ke arah kotak bekal yang Kostya taruh di atas meja "Lesya membuatkannya?" aku tertawa kecil.
"Ya, dia terlihat sangat khawatir tapi dia sangat sibuk mengurusi anak-anak," jawab Kostya sambil tersenyum lembut.
Aku meraih kotak bekal yang dibawa oleh Kostya dan membukanya, senyumanku melebar ketika melihat isinya.
"Pelmeni? Dia masih ingat aku suka ini," ucapku bahagia.
"Marshenka, kau terlihat lebih baik ketika tersenyum tahu, rajin-rajin lah tersenyum," celetuk Kostya yang kembali memotong apel sambil tersenyum.
"Ya Ya," jawabku acuh tak acuh lalu mengambil satu Pelmeni dan memasukannya ke dalam mulut.
Untuk beberapa saat tidak ada pembicaraan, Kostya tengah memotong dan mengupas apel-apel yang ia bawa sedangkan aku asyik sendiri memakan Pelmeni yang dibuat oleh istrinya.
Suara samar dari penyejuk ruangan, suara langkah kaki dari luar ruangan yang datang dan pergi, juga suara dari Kostya yang memotong apel lah yang dapat aku dengar.
Beberapa saat kemudian Kostya telah memotong semua apel yang ia bawa dan menyodorkan piringnya lebih dekat dengan ku dari meja.
Ia menatapku yang tengah memakan Pelmeni yang ia berikan,setelah ini dia mengambil sebotol susu dari dalam tasnya sebelum bertanya "Kapan menikah?"
Mendengar pertanyaan itu membuat ku terkejut dan tersedak Pelmeni yang tengah aku kunyah. Kalimat itu adalah kalimat yang tidak aku duga akan ia keluarkan.
"Uhuk! Uhuk!..."
Dia seperti telah memprediksi aku akan tersedak memberikan sebotol susu yang sudah ia buka dan sodorkan ke arahku. Aku meraih botol susu yang ada di tangannya dan segera meminumnya hingga setengah.
"Haah... Apaa-apaan pertanyaan mu itu?" tanyaku cemberut lalu menaruh sebotol susu yang sudah aku mnium setengahnya ke atas meja.
"Kau sudah 29 tahun bukan? Cepatlah menikah," jawab Kostya lalu mengambil sepotong apel dari atas piring dan memakannya.
"Tidak tertarik," jawabku ketus.
"Tidak tertarik apa tidak laku?" tanyanya sambil cengengesan.
Jika saja aku tidak terjebak di kasur rumah sakit ini dan kakiku tidak di gips, aku sudah pasti akan menendang tulang kering kakinya. Kali ini kau selamat Konstantin.
Aku hanya melototi Kostya saja sebelum mengalihkan pandanganku ke arah jam dinding, waktu menunjukan jam setengah dua belas kurang 15 menit.
"Kau sendiri punya dua anak di rumah tidak lelah?" aku bertanya balik.
"Untungnya tidak, mereka anak-anak baik bukan?" balas Kostya dengan wajah bangga.
"Ya... Mereka anak-anak pintar..." jawabku kemudian mengambil sepotong apel dari piring plastik di meja samping ku.
"Kapan Leonid masuk sekolah dasar?" tanyaku penasaran.
"Tahun depan," jawab Kostya kemudianmengambil sebotol kopi instan dari dalam tas nya.
"Tahun depan 15 menit lagi," balasku mencoba bercanda.
"Tahun, tahun depannya lagi," ucapnya kemudian meneguk setengah dari kopi instan botolnya.
"Oh iya... Tamara masih di Voslavgrad?" tanya Kostya lalu menutup kembali botol kopi instannya kemudian menaruhnya di atas meja.
"Dia sepertinya akan mengungsi ke Novgrad," jawabku sambil menatap langit-langit kamar rawat.
Tak terasa jam telah menunjukan jam 12 pas, aku melihat ke arah jendela dan melihat kembang api yang meledak di gelapnya langit malam menerangi langit kota Zhyvabovka.
"Selamat tahun baru, Marshenka," ucap Kostya sambil tersenyum kemudian mengusap-usap kepalaku.
Kali ini kau aku biarkan kau, Konstantin. Jika di hari biasa aku akan membantingmu...
"Aku harus pulang sekarang, cepat sembuh," ucapnya lalu membereskan barang-barang bawaannya ke dalam tas sebelum beranjak pergi.
Aku menghela nafas lega. Aku melihat arah kepergiannya keluar kamar rawat ku, kemudian saat dia menutup pintu kamar rawat ku, aku tersenyum kecil sebelum kembali menghadap ke arah langit-langit kamar.
Nada dering ponselku terdengar dari dalam laci meja di samping ku. Aku hanya menatap ke arah laci itu sebelum perlahan-lahan membukanya. Terlihat ponselku menyala dan berdering nyaring, aku melihat nama yang muncul di layar "Tamara kecil."
Rasa bersalah yang sempat aku lupakan kembali muncul, tanganku bergetar saat ingin meraih ponselku. Aku harus mengangkatnya!
Aku meraih ponselku dan segera mengangkat pangilan Tamara. Aku menempatkan ponselku di dekat telinga dan menunggu untuk mendengar suara Tamara. Aku harus memberitahu nya.
Tubuhku bergidik ketika mendengar suara nyaring dan energetik Tamara "Halo, kak! Selamat tahun baru!"
"Ya... Selamat tahun baru juga untuk mu," ucapku, mencoba membuat suaraku tidak terdengar bergetar.
"Aku tadi mau menelpon Aleksei, tapi sepertinya ponselnya dimatikan, apa kalian masih dalam misi? A-atau ada hal buruk terjadi?" kata-kata terakhir Tamara ia katakan dengan khawatir.
Aku melihat ke dalam laci, di mana ponsel Aleksei dan cincin pertunangan mereka berada... Hatiku menjadi semakin berat untuk memberitahunya.
"Aleksei... Dia... Dia sedang tidak ada, ponselnya ada padaku," ucapku mencoba agar suaraku terdengar tidak menunjukan kesedihan.
"Ah... Begitu, memangnya kakak di mana?" tanya Tamara dengan nada penasaran.
"Aku di rumah sakit militer Zhyvabovka," jawabku. Satu kebohongan saja... Biar aku beritahu secara langsung nanti.
"RUmah sakit? Memangnya siapa yang sakit?" tanya Tamara sekali lagi, terdengar sangat khawatir.
"Aku dalam misi sempat mengalami cedera," jawabku.
"Yang benar?! Apakah parah? Tunggu saja kak! Aku ke sana sekarang setelah ke Novgrad!" ucapnya dengan nada panik.
"Tidak usah terburu-buru..." jawabku lirih.
"Selamat tahun baru, kak. Aku harus mematikan telpon sekarang, sedang fokus berkendara," ucap Tamara.
"Kau sedang mengendarai mobil!? Tamara, lain kali jang-" Ucapanku terputus setelah mendengar nada panggilan telah berakhir... Dia mematikan panggilanku.
Aku menaruh ponselku di atas meja. Menarik nafas dalam-dalam lalu perlahan mengeluarkannya.
"Maaf..." Hatiku mengulangi hal yang sama, membayangkan perasaan Tamara jika dia tahu nanti.
Special chapter pertama yang aku buat, dan saya nulis ini sampe lupa waktu, tahu-tau sudah 2000 kata.