Hospital
Author POV
Dokter Adam tersenyum. "Saya bisa menyelamatkan kakinya."
Sultan benar-benar merasa lega. Di belakangnya Anika juga merasakan hal yang sama.
"Tapi ada kemungkinan Hara tidak bisa berjalan dengan normal," kata Dokter Adam. "Saya harus melihat perkembangan selanjutnya setelah operasi."
Anika dan Sultan tidak peduli seandainya Hara tidak bisa berjalan normal seperti biasa. Yang penting Hara masih bisa menggunakan kakinya. Kalaupun misalnya Hara harus kehilangan kakinya, Sultan tetap akan mencintainya. Tapi Hara pasti akan sedih. Untunglah hal itu tidak terjadi.
Para suster membawa Hara keluar. Sultan melihat wajah Hara yang tertidur. Sultan menggenggam tangan Hara. "Kau akan baik-baik saja," ujarnya perlahan. Anika segera menelepon Mika dan memberitahukan kabar baik yang baru diterimanya.
***
"Ada telepon," cetus Devan membuyarkan lamunan Mika. "Biar kuterima."
Dia sudah bergerak untuk melangkah ke meja telepon ketika Mika mencegahnya.
"Itu teman-temanmu sudah datang," kata Mika sambil memandang ke pintu depan. "Kamu layani mereka saja, ya."
"Lho, kenapa mesti aku saja?" Devan tersenyum lebar. Mala ini senyum memang seakan tak pernah lekang dari bibirnya. Dia tampak begitu bahagia. "Mereka kan datang untuk mengucapkan selamat padamu juga, Sayang. Mengucapkan selamat karena kita sudah memiliki pahlwan kecil ini"
"Iya tahu. Tapi kan pesta ini dibuat teman-temanmu, lagipula aku masih menunggu kabar dari Anika tentang kabar Bunda, Jadi kamu yang jadi peran utamanya hari ini. Sudahlah, diam-diam saja di situ"
"Siapa bilang? Aku baru dapat kabar dari pihak rumah sakit, Dokter Adam sudah berhasil menyelamatkan Bunda Hara dan pesta ini juga untuk si kecil mungil ini! Untuk merayakan kehadirannya di tengah-tengah kita" Devan mengecup dahi bayinya dengan lembut. "Yuk kita sambut tamu-tamu kita, Sayang! Mau, kan? Mau, ya?"
Devan mengedipkan matanya dengan jenaka kepada bayinya. Seperti mengerti kelakar ayahnya, Revan menyeringai lucu sambil menendangkan kakinya ke udara.
Devan tertawa gembira sambil mencubit pipi anaknya dengan gemas.
"Kamu memang lucu! Selalu biki Papa gregetan! Sini, Papa gendong. Kita sambut tamu-tamu kita, ya? Tapi janji dulu, tidak ngompol!"
"Tapi Revan kan belum bisa menyambut tamu! Jadi biar ayahnya saja yang mewakili dia menyongsong mereka!"
Sambil tersenyum Mika menggendong bayinya meninggalkan suaminya. Dia menghampiri meja telepon dan mengangkat telepon yang masih berdering terus dengan tidak sabar itu.
Paling-paling Anika atau temannya Devan lagi, pikir Mika. Mengabarkan kondisi Bunda atau mengucapkan selamat. Apalagi.
"Halo," sapa Mika ramah.
Tak ada jawaban. Hening. Kosong.
"Halo!" tukas Mika lagi. Lebih keras.
"Anak siapa yang berada dalam gendongamu, Mika?"
Hampir terlepas telepon itu dari genggaman Mika. Wajahnya langsung memucat. Pias. Matanya menggelepar resah mencari-cari suaminya.
Devan sedang menyambut temannya yang baru datang. Dia sedang tertawa lebar. Wajahnya bermandikan cahaya kegembiraan.
Sesaat Mika tidak tahu harus melakukan apa. Dia bahkan tidak ingat untuk membuka mulutnya. Menanyakan siapa yang jail mengusik kebahagiaan yang baru saja menyapanya.
Dan memang tidak perlu. Tidak keburu. Telepon telah ditutup. Hanya dengung panjang yang mengisi telinga Mika. Sambungan telepon telah diputuskan.
Dengan gemetar Mika meletakkan telepon itu. Dipeluknya erat-erat anak dalam gendongannya. Kakinya terasa lemas. Tak mau diajak melangkah.
Tetapi memang dia tidak perlu melangkah. Devan tengah menghampirinya bersama dua orang rekannya. Ketiga pria itu sedang mengobrol sambil tertawa-tawa.
"Mika, kenalkan, ini Dokter Tio, seniorku," kata Devan riang. Begitu gembiranya dia sampai tak mampu merasakan kegugupan istrinya. Bahkan pucatnya wajah Mika pun luput dari pengamatannya.
***
Flashback ON
Wardana's House
Gwen POV
Aku tidak tahu apakah itu yang disebut firasat. Aku baru menyadarinya setelah malapetaka itu datang. Tempayan antik kesayanganku pecah. Padahal tempayan kuno yang terbuat dari porselen itu hadiah pernikahan dari orangtuaku.
Aku sangat menyayanginya. Bukan karena harganya mahal. Tapi karena barang langkah semacam itu sudah sulit dicari. Keindahannya justru terletak pada umurnya yang sudah sangat tua. Makin lama aku memandangnya, makin tertarik aku pada keindahan barang itu. Makin tua umurnya, makin kuat pesona yang dipancarkannya.
Dan pagi ini, entah setan mana yang meminjam tanganku. Aku terburu-buru memungut cermin yang jatuh, tidak sengaja aku mendorong kursi tamu. Dan kursi itu menyenggol tempayan kesayanganku... inikah firasat?
Ah, kalau saja aku mempercayai firasat buruk itu... Seharusnya aku tidak mengajak Kasih ikut berbelanja! Seharusnya hari itu kami tidak ke mana-mana! Tetapi... dapatkah malapetaka dihindari dengan mengurung diri di rumah? Adakah tempat di mana malaikat maut tak dapat mencengkeramkan kukunya?
"Jika sudah sampai waktunya..." aku ingat kata-kata ibu. "Tak seorang pun dapat memperpanjang umurnya, biarpun hanya sedetik saja..."
Tetapi... bagaimana harus mengusir perasaan bersalah ini dari hatinya? aku tidak pernah berhenti menyesali diriku. Kalau saja aku tidak mengajak Kasih ikut berbelanja...
Hari itu hari Kamis. Dan semenjak cuti hamil, aku menggunakan kesempatan itu untuk berbelanja.
Sudah lama suamiku tidak makan dirumah. Kata bibi, siang pun Rangga hampir tidak pernah menyentuh makanan yang dihidangkan.
"Sudah makan di luar," begitu jawab Rangga setiap kali Bibi menawari makan.
Makan malam pun dia seperti tidak punya selera lagi.
"Makanan buatan Bibi kurang enak," sahut Rangga datar setiap kali aku menanyakannya. "Tiap hari itu-itu juga."
Dan hari Sabtu itu aku ingin menyuguhkan sesuatu yang berbeda untuk suamiku. Aku hendak membuat kejutan. Akan kuhidangkannya makanan kesukaan Rangga. Untuk itu aku harus berbelanja sendiri. Tidak dapat kuserahkan begitu saja kepada Bibi. Bisa gagal rencanaku kalau pembantu yang sudah berumur itu melupakan salah satu bahan yang dibutuhkan.
Bibi memang begitu. Bukan baru sekali dua kali aku dibuat jengkel melihat hasil belanjaannya. Bahan yang harus dibeli, lupa dibeli. Bahan yang tidak dibutuhkan, bertumpuk dalam keranjang belanjaannya. Sering aku terpaksa mengubah rencana. Memasak makanan yang sebenarnya tidak aku inginkan.
"Hari ini tidak usah belanja, Bi," kataku begitu Rangga berangkat kerja.
"Beli makanan matang saja ya, Nya?" tanya Bibi tanpa berusaha menyembunyikan rasa lega di matanya. "Percuma masak juga. Seperti membuang-buang makanan saja! Tidak ada yang makan! Lama-lama saya yang tambah gemuk, Nya! Habis cuma saya yang makan terus. Sayang makanan dibuang-buang. Lagipula kan pamalli membuang-buang rezeki begitu saja..."
"Hari ini saya yang masak, Bi," potongku sambil berlalu. Kalau didengarkan terus, Bibi pasti masih akan mengoceh lagi. Bisa pegal telingaku. "Biar saya yang belanja. Bibi di rumah saja."
"Kasih ikut ya, Bun?" Entah di mana kutu kecil itu bersembunyi. Kasih selalu mendengar semua ucapanku pada saat aku lebih suka kalau dia tidak mendengarnya.
"Kasih di rumah saja sama Bibi, ya? Nanti Bunda belikan boneka baru atau... Kasih lebih suka buku? Seperti yang kemarin Bunda bawa?"
"Kasih mau ikut Bunda!"
"Baiklah," kataku akhirnya. "Kalau Kasih berjanji tidak akan nakal, Kasih boleh ikut."
"Hore!!" Kasih bersorak sambil melompat-lompat.
Bibi buru-buru menghindar. Kuatir kakinya terinjak lagi.
"Janji tidak akan nakal?"
"Janji, Bunda." sahut Kasih patuh.
"Kalau Kasih nakal, kita langsung pulang. Oke?"
"Oke!" sahutnya serempak.
Dan mula-mulanya, Kasih memang menepati janji. Dia begitu patuh mengikutiku. Dia tidak pernah jauh dari ibunya. Lengket seperti lintah.
Tetapi kelegaanku rupanya tidak berumur panjang. Begitu melihat es krim merah kuning hijau yang dipamerkan di balik kaca lemari pendingin itu, Kasih langsung mogok melangkah.
"Bun, Kasih minta es krim!" rengeknya dengan suara yang membuat gatal telingaku.
"Perutmu kosong, Nak. Nanti sakit perut. Kamu kan belum makan."
"Biar."
"Kita makan dulu, ya?"
"Nggak mau! Kasih minta es krim! Haus!"
"Makan dulu, ya? Nanti baru beli es."
"Nggak mau! Kasih mau es krim. Sekarang!" Kasih mulai menarik-narik tanganku, mengajakku kembali menuruni tangga jalan yang baru saja kami tinggalkan.
"Kita tidak bisa turun dari situ, Kasih!" bentakku habis sabar.
"Kasih minta es krim!"
Aku benar-benar dipusingkan oleh Kasih. Sebelah tanganku ditarik-tarik olehnya yang mengajak membeli es krim di tingkat dua.
"Baik!" potongku kewalahan. "Kita pulang sekarang!"
Tidak ada es krim sebelum makan. Selesai berbelanja, aku membawa Kasih keluar.
Dan itulah kesalahanku yang pertama. Kesalahan yang takkan pernah dapat kulupakan seumur hidup. Kesalahan yang akan menjadi duri penyesalan yang terus-menerus mengoyak-ngoyak hatiku.
Aku membawa Kasih keluar pada saat aku seharusnya berada lebih lama lagi di dalam toserba itu. Seandainya aku mengikuti keinginan Kasih... barangkali malapetaka yang mengerikan itu dapat dihindarkan! Barangkali sopir terkutuk itu keburu lewat.... dan truk mautnya tidak menghamtam tubuhku...
Aku hanya sempat menyentakkan lengan Kasih. Dan dia menjadi penonton yang tidak berdaya dari adegan ngeri yang sedang berlangsung di depan matanya.
Darah! Begitu banyak darah melumuri wajahku. Mengalir dari telinga. Hidung. Mulutku... Darah yang menggenangi aspal di bawah tubuhku... darah yang memercik dan menodai baju dan tanganku...
Oh, mengapa semuanya harus berakhir dengan setragis ini? Mengapa bencana datang secepat itu?
Aku menatap perutku yang berlumuran darah sambil melolong. Masih ada harapan untuk anakku? Masih hidupkah dia?
To Be Continued