webnovel

Kupu-kupu

Wardana's House

Anika POV

Aku menghela napas yang terasa sangat berat, kemudian duduk di tepi tempat tidur. Aku menutupi wajah dengan dua tangan seraya menumpukan siku ke lutut.

Ini sama sekali bukan hari baik. Mungkin hari ini pantas masuk ke daftar sepuluh besar hari tersial seumur hidupku.

Nasib burukku dimulai tadi pagi, ketika bertemu salah satu anggota keluarga ini, Rama Wardana, sewaktu sarapan. Aku memberi sapaan selamat pagi standar, tapi alih-alih membalas sapaanku, Om Rama malah mengeluarkan komentaar ketus yang membuatku ingin melempar roti-roti bulat yang bertumpuk di meja makan ke hidungnya yang mencuat mancung.

"Tidak sepantasnya wanita keluarga ini tampak berantakan seperti ini. Jika besok aku masih melihatmu dengan rambut kusut tak terurus seperti sekarang, aku sendiri yang akan mengambil gunting dan memotong rambutmu!"

Benar-benar tak punya perasaan!

Aku cukup yakin rambutku yang dikuncir kuda baik-baik saja, walaupun masih agak lepek karena habis keramas dan tak sempat dikeringkan dengan tuntas. Dasar jahat!

Tak lama setelah sarapan, Gwen muncul, dan aku tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk curhat tentang komentar menyakitkan ayah mertuanya atas rambutku.

Aku masih ingat intonasi Gwen yang langsung meninggi ketika menanggapi ceritaku, seperti ikut tersinggung dengan celaan Om Rama itu. Menurut Gwen, mungkin saja rambutku kurang rapi, tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan sapaan selamat pagi dan mengucapkan kata-kata yang bisa melukai perasaan.

Setelah itu Gwen mengajakku, well, menyeretku mungkin lebih tepat, ke penata rambut terkenal di Jakarta. Di hadapan si penata rambut Gwen nyerocos tanpa minta pendapatku lagi, jangankan minta pendapat, melirikku pun tidak. Tiga jam kemudian, setelah mengoles, menempel, menarik, menyisir, menggunting, menangkup rambutku, dan entah apa lagi, si penata rambut dengan bangga memproklamirkan bahwa pekerjaannya sudah selesai.

Saat itu aku hanya bisa melongo memandangi cermin, melihat bayangan seorang wanita dengan model rambut bob bertingkat hingga agak naik di bagian belakang. Di bagian samping, dekat telinga kiri dan kanan, sedikit bagian rambut sengaja dibuat lebih panjang, tidak sama antara kiri dan kanan. Tapi, bukan model rambut yang membuatku melongo, melainkan warnanya. Entah warna apa yang disebut si penata rambut, tapi menurutku sendiri itu warna ungu kehitaman dengan highlight ungu kemerahan di beberapa tempat! Oh God, so NOT me! Dengan ketakutan aku menyaksikan Gwen memekik kegirangan melihat mahakarya yang langka di atas kepalaku ini.

Dan, nasib burukku belum berhenti di situ.

Setelah potong rambut, aku ditelepon oleh pengawas keduanya, Tante Namira, yang memintaku memeriska jadwal mingguan yang sudah diperbaharui. Aku membuka kalender tanpa prasangka dan langsung terbelalak melihat jadwal latihanku selama beberapa hari ke depan; selain latihan pagi (pukul 04.30) dan latihan sore, ada juga latihan renang, bela diri dan... pedang?

Dan, seaakan latihan-latihan itu saja belum cukup untuk membuatku sesak napas, ada lagi slot latihan satu setengah jam setiap hari berjudul "dance lesson". Yang terakhir ini benar-benar membuat jantungku mencelus. Dance lesson? Benarkah jika itu diterjemahkan judul itu sebagai latihan dansa? Dansa apa? Ya Tuhan!

Aku langsung menemui Om Sultan untuk minta penjelasan, mungkin saja kan, yang membuat jadwal salah ketik, atau salah orang? Aku bergegas masuk ke ruang kerja Om Sultan hingga lupa mengetuk pintu dan diberi tatapan tajam sambil sedikit diceramahi. Aku menelan teguran Om Sultan tanpa perlawanan dengan perasaan tak sabar, dan begitu dia bertanya kenapa aku tampak terburu-buru, aku langsung menyemburkan kekhawatiranku tentang kesalahan jadwal itu.

Om Sultan menjawab dengan intonasi tenang yang biasa, seolah itu adalah hal paling normal dan alami sedunia.

"Aku sudah pernah memberitahumu bahwa banyak yang akan dituntut darimu sebagai anggota keluarga, baik keterampilan fisik maupun sosial. Jadi kami sepakat untuk mulai mengasah keterampilan sosialmu dengan pelajaran dansa, sekaligus sebagai persiapan jamuan. Kalau kamu bertanya, apakah Gwen mendapatkan pelatihan ini? Tentu, dia mendapatkannya setelah dia menikah dengan Rangga, dengan porsi yang berbeda denganmu, karena saat itu kami mengira pernikahan mereka tidak bertahan lama. Sekarang yang terpenting adalah menguasai beberapa gerakan dasar dansa untuk jamuan nanti. Namun, aku rasa dalam jangka panjang mempelajari beberapa jenis tarian akan bagus untukmu, jadi mungkin jadwalmu di depan akan disesuaikan secara permanen."

Selama beberapa saat setelahnya, aku hanya mampu memandang Om Sultan dengan tatapan kosong. Apakah ia tak salah dengar, bahwa pengawas utamanya ini sedang membicarakan pelajaran dansa untukku? Dansa apa! Kenapa tak ada yang mengatakan tentang ini sebelumnya? Dan apa maksud Om Sultan 'secara permanen'? Sebelumnya aku hanya pernah menari satu kali seumur hidup, yaitu di taman kanak-kanak. Saat di panggung, aku berputar ke kiri ketika yang lain berputar ke kanan, bergerak maju ketika yang lain mundur, dan tersandung kain yang aku pakai ketika memberi salam kepada para orangtua yang menonton.

"Kenapa, Anika? Kamu seperti habis melihat hantu."

"Aku belum pernah dansa." jawabku dengan suara tercekik.

"Bukankah itu gunanya pelajaran dansa, untuk membantumu bisa berdansa?" tanyanya heran. "Pastikan kamu mengikuti langkah yang diajarkan instrukturmu dengan baik. Aku tidak mau sampai terinjak nanti saat berdansa denganmu di jamuan, dan aku yakin paman yang lain juga begitu."

Berpasangan dengan Om Sultan saat dansa? Dan paman yang lain? Termasuk Om Rama? Benar-benar mati!

***

Dara POV

Alisnya tebal. Kacamata persegi membingkai wajahnya yang tampak kaku. Sikap diam dan hanya sesekali menimpali percakapan membuatku yakin laki-laki di hadapannya ini memiliki kepribadian yang bertolak belakang denganku. 

Sepanjang malam aku memperkirakan dokter pujaanhati orangtuaku pasti berkacamata. Namun dalam bayanganku pula, dokter dari keluarga terkenal ini seharusnya tidak jauh dari gambaran laki-laki nerd yang biasa ada di film-film. 

Dokter Bara Wijaya duduk di hadapanku, mengenakan kemeja hitam polos berlengan pendek dan celana jeans. Dengan jam tangan sporty di tangan kanannya. Potongan rambutnya biasa-biasa saja. Dokter yang katanya baru berumur tiga puluh empat ini tampil angkuh dan penuh percaya diri. Sepertinya dia sudah banyak menyelamat kan 

nyawa pasien.

Mataku bergerak menelusuri detail laki-laki yang dianggap orangtuku serasi untuk mendampingiku sepanjang hidup yang pastinya masih sangat panjang. 

Selagi orangtuaku sibuk berbasa-basi dengan orangtua calon suamiku, aku memanfaatkan waktu untuk menilai sang dokter. Ketiga kakakku sibuk mengelilingi meja buffet, tidak memedulikan acara perjodohan.

Dokter pendiam itu menatapku tanpa perubahan di raut wajahnya sementara menuangkan teh dari teko ke cangkirnya, lalu menyesap perlahan. 

"Madam Sarah, bagaimana jika kita ngobrol sambil mulai makan siang?" Mom mengajak makan calon besannya. 

Suara tawa yang terlampau senang membuatku menoleh, lalu memandang wajah Mom dan berusaha keras agar tidak mengangkat tangannya untuk menutup mulut Mom yang terbuka kelewat lebar. 

"Panggil saja Sarah. Tidak usah terlalu formal. Sebentar lagi kita menjadi keluarga, kan?" ucap Tante Sarah yang tampak se umuran Mom.

"Dara bisa panggil Tante Sarah kalau masih canggung untuk manggil Mama."

Mataku membulat mendengar pernyataan optimistis calon mertuaku. Mau tak mau aku harus berhenti mengamati calon suamiku dan cepat-cepat melemparkan senyum ramah. 

"Adara biasanya dipanggil apa?" tanya Tante Sarah, mulai menaruh perhatian.

Meski menyadari Bara masih memandanginya, aku berusaha terlihat santai dan tersenyum ramah. Aku berpura-pura tidak ambil pusing dengan keberadaan Bara. "Panggil Dara saja, Tante."

"Dari tadi Dokter Bara dan Dara diam saja," ucap Mom tanpa basa-basi lagi. Suara ramahnya terdengar penuh dengan akal usil yang bisa diprediksiku. "Mungkin sebaiknya kita biarkan mereka ngobrol sementara kita memilih makanan."

Tante Sarah mengangguk setuju dan langsung berdiri dari kursinya untuk berjalan bersama Mom.

Suara obrolan mereka terdengar olehku. Untuk menghilangkan rasa panik dan bingung, juga menjaga harga diri, Aku mengangkat cangkir teh dan dengan segera menyesap nya.

"Kamu juga bisa mulai memilih sesuatu jika mau," ucapku setelah meletakkan cangkir di meja. Aku berdeham kecil sambil menegakkan punggung, menatap kembali Dokter muda yang ternyata sosoknya jauh berbeda dengan imajinasi jelek di kepalaku. 

"Restoran ini favoritku karena banyaknya pilihan makanan yang mereka sajikan. Jadi tidak perlu malu-malu untuk memulai makan siang. Mungkin tadi mamaku terlalu lama berbasa-basi," ucapku, tersenyum. 

Laki-laki itu menoleh ke kanan-kiri, memperhatikan banyak nya sajian buffet. Setelah itu dia kembali menatapku. "Kita bisa memilih bersama jika kamu mau."

Aku terperangah. Suara berat yang aku dengar untuk pertama kalinya dari mulut sang dokter membuatku kikuk. 

Ah, tepatnya pengalaman pertama dijodohkan seperti inilah yang membuatku gugup. Aku tidak tahu apa pun tentang manusia di hadapanku, kecuali doktrin orangtuaku bahwa manusia pintar ini serasi untuk mendampingiku seumur hidup. 

"Aku belum seberapa lapar." Entah kenapa nada suaraku jadi terdengar sedikit ketus padahal sebenarnya aku tidak bermaksud demikian. 

Dokter muda itu hanya mengangguk. Setelah itu ia menangkupkan tangan dan meletakkannya di meja. Tubuhnya condong ke hadapanku sementara aku secara naluriah mundur hingga mencapai punggung kursi. 

"Kenapa orangtuamu sampai memaksa mencarikan suami untukmu?" tanya Bara tanpa tedeng aling-aling. "Kamu tampak terpaksa datang ke sini."

"Kamu tidak terpaksa?" balasku cepat. Mataku terkunci pada mata Bara. 

"Aku memang serius mencari istri," jawab Bara, yakin.

Daguku sedikit terangkat. Mataku menyipit curiga. Aku menarik napas dalam-dalam. Kedua sikuku diletakkan di sandaran kursi. Kakiku menyilang sementara otakku menebak-nebak kasus apa yang dialami anak keluarga terkenal ini. 

"Orangtuaku takut aku salah pilih pacar, dan berakhir dengan laki-laki yang salah. Mereka sangat protektif terhadapku dan semua kakak sepupuku. Dan, mengingat aku mulai terjun membantu Dad di rumah sakit, mereka benar-benar tidak ingin aku salah langkah."

Hening.

"Bagaimana denganmu? Kasus yang sama atau ada cerita yang berbeda?" tanyaku ingin tahu. 

Senyum kecil muncul di bibir Bara. Lelaki itu juga meletakkan tangannya pada sandaran tangan.

"Keluargaku juga protektif. Namun, bukan terhadap aku ataupun saudara-saudaraku," ucap Bara dengan mata terpaku pada wajahku. "Aku akan mengatakan yang sejujurnya."

Bara menatap serius padaku. "Dua bulan lalu tunanganku meninggalkanku. Yup, meninggalkanku secara sepihak sementara undangan pernikahan kami, menurut rencana, akan dibagikan dua bulan lagi."

"Lalu kamu mencari calon istri pengganti secepatnya

supaya acara pernikahan dua bulan mendatang itu bisa tetap terlaksana?" selaku, tidak sabar. Aku tidak percaya bisa mendengar cerita ala sinetron seperti ini lagi. 

"Banyak pihak sudah mendengar rencana pernikahanku. Segala persiapan hampir selesai. Orangtuaku tidak mau malu. Aku tidak mau menambah kepenatan karena berseteru dengan mereka. Secara emosi dan fisik, aku terkuras habis," 

timpal Bara. Laki-laki itu bersandar. Dia menghela napas perlahan dan membiarkanku melontarkan pertanyaan dengan tidak sabar.

"Aku mengerti jika kamu merasa sakit hati dan penuh emosi terhadap semua yang sudah terjadi. Tapi apakah kamu benar-benar serius mencari calon istri pengganti secepat ini? Kamu mencari wanita yang mau menikah denganmu dalamwaktu dua bulan dan hidup bersamamu selamanya. Apakah 

itu tidak…?"

"Tidak untuk selamanya," Bara memotong untuk menghentikan pertanyaanku.

Aku terdiam. Wajahku bingung, menatap bergantian antara tangan dan raut wajah serius Bara. 

"Tidak-untuk-menikah-denganku-selamanya," ulang Bara, menekankan jawabannya agar aku benar-benar yakin dengan kata-kata yang aku dengar. Lalu ia melanjutkan, 

"Tunanganku. Atau lebih tepatnya mantan tunanganku, seorang chef di restoran keluargaku. Dia mendapat tawaran karier dan beasiswa sekolah di luar negeri saat kami merencanakan pernikahan kami. Awalnya dia ingin melepaskan kesempatan itu, namun sepertinya tekanan persiapan pernikahan dan juga stres karena orangtuaku tidak begitu menyukainya, membuat ia memutuskan untuk meninggalkanku. Aku yakin dia pasti akan kembali kepadaku. Namun orangtuaku telanjur marah dan malu. Terlebih karena sejak awal mereka tidak sepenuhnya setuju. Jadi, sekarang aku mengikuti 

keinginan mereka untuk tetap menjalankan rencana pernikahan ini. Namun aku hanya menawarkan pernikahan 'sementara' dan bukan untuk selamanya. Aku hanya ingin meredam emosi orangtuaku sambil menunggu tunanganku kembali."

Meski terkejut mendengar Bara blakblakan, aku otomatis mengangguk perlahan. Ternyata kasus sang dokter lebih berbelit daripada yang aku duga. 

"Jadi kamu yakin tunanganmu akan kembali. Hmm… menarik," gumamku sambil mengangguk-angguk. 

Aku mengulurkan tangan untuk mencapai teko teh di depan, lalu menuangkan isinya ke cangkir yang sudah kosong, juga menuangkan ke cangkir Bara.

Seakan sedang melakukan pertemuan bisnis, aku berusaha meresapi cerita yang baru aku dengar. Aku memandangi Bara sambil berusaha menilai kesungguhan Bara dari ceritanya. 

"Aku berharap pertemuan pertama ini langsung membawaku pada wanita yang mau menikahiku hanya setahun." Bara membuka mulut. "Jika kamu keberatan dengan kejujuranku, aku sangat memahami. Aku hanya tidak ingin membohongi 

wanita yang akan mendampingiku selama setahun."

Aku mengangguk-angguk, meski membayangkan 

betapa ruwet dan kasihannya laki-laki ini. 

"Kamu tidak takut aku akan mengatakan niatmu ini 

kepada orangtua kita? Siapa tahu aku marah setelah mendengar pengakuanmu." Aku menatap Bara, penasaran.

"Menurutku, zaman sekarang tidak banyak yang setuju dijodohkan. Namun jika itu sampai terjadi, aku siap. Karena hal paling buruk dapat kubayangkan," jawab Bara santai. 

"Bagaimana denganmu? Kamu hanya mengatakan orangtuamu sangat protektif." Pertanyaan Bara mengalihkan lamunanku ke alam sadar. 

Aku mengangkat kepala, menatap Bara.

Aku mencibir begitu mengingat perusahaan keluarga dan rumah sakit yang besar dan cukup membanggakan yang berhasil dikelola orangtuku.

"Dan sepertinya orangtuaku harus bersabar meren canakan acara seperti ini beberapa tahun ke depan 

karena aku belum memikirkan pernikahan," ucapku dengan nada bercanda. Aku mengangkat cangkir teh ke depan mulut dan menyesapnya. 

"Tidakkah kamu pikir pertemuan kita siang ini benar-benar takdir?" ucap Bara, menatapku. 

Aku melirik wajah Bara yang tampak mengeras. Kacamata perseginya membuat laki-laki itu terlihat serius dan kaku sekalipun tersenyum. 

"Aku berencana menunggu tunanganku pulang sekaligus menutupi rasa malu orangtuaku. Kamu berencana menunggu beberapa tahun lagi untuk mencari laki-laki yang tepat sambil berharap orangtuamu tidak mengganggumu dengan segala 

upaya mengenalkanmu pada laki-laki yang mereka anggap pantas."

Penjelasan Bara menyentakkan ide di kepalaku. Sepertinya ide itu sudah terbentuk di kepala Bara. Senyum usilku muncul sementara benakku mulai membayangkan ide yang disulut Bara. Aku meletakkan cangkir perlahan. 

Punggungku tegak dan dengan sedikit bersemangat aku mencondongkan tubuh. 

"Kamu pikir dalam setahun tunanganmu akan kembali?" tanyaku memastikan.

"Jika dia tidak kembali, berarti apa yang sudah dia putuskan memang yang terbaik untuknya. Aku yakin dia akan kembali. Apa pun yang terjadi, aku akan melepaskanmu dalam setahun," jawab Bara tegas.

Tawa geliku membuat kening Bara berkerut. "Aku 

belum mengatakan setuju untuk menikahimu selama setahun ke depan." Rasa gugup dan gelisah yang awalnya menyelimutiku sekarang hilang. Dan sifat asliku muncul. Aku mengedikkan pundak dan tersenyum riang. Tanpa banyak bicara, aku bangkit dari kursi. Membetulkan letak tas tangan di kursi, lalu tersenyum pada Bara yang masih memperhatikanku dengan raut penuh tanya.

"Mari kita berbisnis sambil memilih makan siang," Aku berkata sambil menunjuk ke arah meja makanan di dekat tempat mereka duduk. 

Bara tersenyum kecil mendengar candaanku dan turut berdiri.

"Hmmm… sepertinya kita bisa memulai pembicaraan dengan persiapan gaun pengantin. Jika segalanya oke, kita harus melakukan penyesuaian gaunku." Aku berkacak pinggang dan mendongak. 

"Semua sudah siap. Kamu hanya perlu datang ke acara pernikahan. Aku bisa segera mengirim e-mail contact person wedding organizer and bridal yang sudah kami pesan," jawab Bara serius.

"Aku sudah melakukan hal gila. Setuju menikahi laki-laki yang baru beberapa menit aku temui dan sekarang kamu mengatakan bahkan untuk acara pernikahan, aku hanyaperlu datang tanpa mempersiapkan apa pun."

"Tidak gila menurut orangtua kita. Mereka sudah merencana kan hubungan bisnis. Orangtuamu akan menanam modal ke grup rumah sakit keluargaku. Menguntungkan kedua belah pihak." Bahkan penjelasan Bara pun lebih terdengar seperti bisnis daripada perkenalan antara dua insan. 

To Be Continued

Próximo capítulo