Jakarta
Tiiinnn… Tiiinnn...
Devan menekan keras-keras klason mobil. Sudah lima belas menit mobilnya tak maju-maju. Bisa-bisanya jalanan macet saat dia menjemput keponakan bosnya.
"Devan, sabar! Di depan ada kecelakaan," ujar Lukas yang duduk di kursi belakang dengan wajah masam.
Devan berbalik sebentar, menjawab, "Aku sudah sabar, mobilnya aja yang tidak mau santai, mau maju terus."
Plakkkk...! Kardus tisu setengah penuh dilemparkan ke arah pengemudi.
"Yang driver siapa?" balas Rangga yang duduk di kiri Devan.
"Oke, oke, aku cukup sabar . Kalau aja Om Sultan bukan salah satu paman kalian, mana mau aku dijadikan supir seperti ini?" cerocos Devan spontan.
"Ambil hikmahnya aja kali, Devan. kamu bicara... terus dari tadi, tidak berhenti-berhenti. Makin lama makin mirip perempuan!" timpal Rangga jengah.
Pengemudi mobil hitam pekat itu mendelik. "Please ya. Hikmah apa yang bisa diambil dari pekerjaan supir?"
Kali ini jitakan mendarat di kepala Devan. "Dasar orang kaya, sombongnya minta ampun!"
Devan meringis kesal. "Kalian berdua, ceramah saja terus!" Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah.
Dua teman Devan hanya saling lirik dan tersenyum miring. Terbiasa dengan sifat Devan yang seperti itu.
Satu jam kemudian mobil Devan memasuki kawasan terminal. Ketiga pemuda itu mencari ke sana-kemari.
"Devan..." sapa salah satu dari mereka.
"Kau tahu dia di terminal mana?"
Devan berpikir sebentar, kedua alisnya naik-turun. "Terminal?
"Terminal apa ya? Terminal yang biasanya kita datangi emang terminal apa?" ujar pemuda itu dengan wajah polos.
"Itu terminal internasional,! Jelas-jelas dia dari Bandunng. Namanya… siapa kemarin? Anika? Yes. Anika," timpal Lukas geram.
Devan hanya menaikkan sebelah alis. "Dia pakai baju apa ya kata Om Sultan? Mana aku tidak punya nomor handphone-nya," gumamnya, seperti bertanya pada diri sendiri.
Rangga dan Lukas sontak saling pandang, kemudian menatap Devan dengan tatapan yang sulit didefinisikan. "Jadi kau tidak tahu dia pakai baju warna apa?!" ucap mereka hampir bersamaan dengan suara setengah berteriak sehingga mengejutkan orang-orang di sekitar mereka.
***
Anika menatap jam tangan. Sudah lewat satu jam setelah dia menerima telepon Om Sultan tadi. Kemana orang-orang itu?
Anika merutuk kesal.
Gadis itu berdiri dari duduk. Satu-satunya tempat yang dia tumpangi untuk menunggu jemputan adalah tempat makan siap saji.
Anika melangkah ke luar, mendorong dua koper besar dengan kesal. Dia tak pernah membayangkan hari pertamanya di Jakarta menyusahkan.
Ting! Dicari… Nona Anika, dari Bandung. Mohon Nona Anika segera ke pintu masuk terminal 1B.
Anika menoleh ke sumber suara saat namanya disebut.
Kemudian ia berpikir, berapa banyak nama Anika yang dimiliki orang-orang di bumi? Apakah panggilan itu untuknya? Panggilan itu kembali terdengar, seolah menjawab pertanyaannya.
Ting! Harap Nona Anika Maheswari alias Anika segera menuju terminal 1B.
Kali itu Anika benar-benar yakin orang yang dimaksud adalah dirinya. Dia menebak dalam hati bahwa orang yang menunggunya itu adalah penjemputnya.
Dengan mantap Anika melangkah menuju pintu keberangkatan terminal 1B. Ia memutar bola mata saat sampai, mendapati beberapa pemuda yang mengenakan kemeja kasual dan kets warna senada sedang celingak-celinguk. Sepertinya mereka mencari seseorang.
Anika melangkah mendekati petugas bandara yang ada bersama para pemuda itu. "Saya Anika Maheswari," ucapnya datar.
Si petugas tersenyum, kemudian berpaling kepada ketiga pemuda tersebut. Dugaan Anika benar: merekalah yang disuruh Om Sultan menjemputnya.
Setelah petugas itu selesai berbicara, dengan cepat ketiga pemuda itu mendekati Anika. "Jadi kamu Anika? kamu benar Anika Maheswari? Akhirnyaaa... kita bertemu juga."
Anika menatap pemuda tersebut dengan ekspresi datar.
Ia tak mengerti, bagaimana mungkin ada manusia semacam itu. Sudah jelas dunia tahu ketiganya tak menemukannya, tapi Anika lah yang menemukan mereka. Ah, sudahlah.
Pemuda itu menyodorkan tangan, membuat Anika mengerutkan dahi. "Aku Devan, yang disuruh Om Sultan menjemputmu," ucapnya riang.
Anika rada membungkuk ke arah Lukas dan Rangga, kemudian menatap Devan. "Thanks," ucapnya tanpa membalas jabatan Devan, kembali mengedarkan pandangan kepada dua pemuda lainnya.
Devan berpikir dalam diam. Gadis ini sama sekali tidak menunjukkan perubahan ekspresi di wajahnya. Pandangan datar dan membuat orang jengkel, khususnya dirinya.
Lukas tersenyum canggung. "Aku Lukas."
Lalu diiringi suara Rangga, "Rangga."
Hanya ada anggukan kecil dari kepala gadis itu sebagai respon.
Devan masih diam. Dia mengalihkan pandangan ke arah Lukas dan Rangga yang mengedarkan pandangan ke mana-mana. Mereka pasti ingin tertawa, tebak Devan.
Sialan gadis ini, umpat Devan dalam hati sambil menatap Anika
"Ayo, kita ke rumah keluarga Wardana," ucapnya seraya membalikkan badan, bersiap pergi.
Anika mengalihkan pandangan yang berarti "bantu bawa koperku" ke arah Rangga dan Lukas, yang beruntung ditangkap cepat kedua lelaki itu.
"Sini, biar kami aja yang bawa," ucap Lukas berbasa-basi.
Gadis itu mengangguk mantap, kemudian mengikuti langkah Devan yang sudah jauh di depan. Rangga dan Lukas hanya melongo melihat tingkah gadis tersebut.
"Ka Rangga, yakin dia gadis normal?" ucap Lukas terlihat frustrasi.
Rangga menaikkan bahu. "Aku nggak tahu."
***
Mobil yang ditumpangi keempat remaja itu bergerak cepat membelah jalan. Anika menatap jalanan. Devan yang berada di belakang setir sesekali melihatnya dari kaca spion, lalu menoleh ke arah Rangga dan Lukas, yang juga terlihat mencuri-curi pandang pada Anika.
"Kemarin aku dapat lokasi motret yang bagus," ujar Rangga sambil menoleh ke belakang, memecah keheningan.
Lukas memajukan badan. "Oh, yang hyung kirim ke aku itu?"
Devan nyeletuk, "Kemarin aku juga beli majalah Otomotif. Yang keluaran…" Devan menghentikan ucapannya saat melihat Anika menoleh sedikit ke arahnya.
"Anika, kamu tidak bosan? kamu mau dengar musik? Aku putar musik, ya?" Devan menawarkan dengan antusias.
Anika hanya diam.
Lukas dan Rangga tampak menunggu jawaban Anika.
"Sorry… aku boleh minta ketenangan?" ucap Anika dingin.
Rangga, Lukas, dan Devan spontan berpandangan.
Devan hanya mengembuskan napas kesal. "Savage" rutuknya tenang, yang langsung mengundang cengiran Lukas dan Rangga. Mereka menahan tawa sambil menatap kasihan pada Devan.
Anika fokus pada jalanan, seakan tak mendengar celotehan Devan barusan. Yang dia tahu, dia harus memulai hidup baru di kota itu.
Dan dia harus benar-benar fokus. Semua harus berubah, sesuai kemauannya. Sudah cukup dunia memorakporandakan hidupnya.
To Be Continued