Seperti yang sudah kuduga, orang yang berada di H's Cafetaria adalah kelompok belajar Fisa seperti biasanya.
Mereka semua sedang asyik membicarakan banyak hal, termasuk Fisa.
Semuanya saling berbicara satu sama lain, kecuali aku sendiri.
Aku tidak bisa mengikuti topik pembicaraan mereka, jadi aku hanya bisa diam.
"TING!"
Tak lama kemudian, suara notifikasi ponsel terdengar dan kurasa itu berasal dari semua diantara kami.
"Apa nilainya sudah diberitahu sekarang?" (Lina)
"Ya, mungkin." (Cika)
"Bukankah ini sedikit menegangkan? Ayo kita berharap hasil yang bagus sembari membukanya!" (Fisa)
Sebelum mereka melakukannya, aku sudah membuka ponsel ku terlebih dahulu.
"Stt ... Fisa."
Aku memanggilnya diam-diam.
"Kenapa?"
Dia pun ikut menjawabnya dengan berbisik.
"Lihatlah!"
"Woahh!! Kau benar-benar mendapatkannya!"
Ah, suaranya sangat keras.
"Ada apa, kalian berdua?" (Cika)
"Kenapa kau heboh sekali, Fisa?" (Lina)
"Kau membuat ku terkejut." (Wijaya)
Kupikir aku salah waktu dalam memberitahu nilainya pada Fisa.
Tapi karena itu sudah terjadi, apa boleh buat, lagipula sepenuhnya adalah salahku sendiri.
"Hehe, maaf jika mengejutkan kalian!"
Lalu Fisa pun meminta maaf karena kehebohannya sambil tersenyum.
"Ya, tidak masalah. Sekarang bisa sebutkan nilai kalian? Mulai dari aku ... Biologi 81, Fisika 78, dan terakhir Kimia 77." (Lina)
"Kalau begitu, aku! Biologi 66, Fisika 61, Kimia 58." (Fisa)
"Kalau aku sih, Biologi 77, Fisika 70, dan Kimia 67." (Cika)
Saat Lina menyuruh mereka untuk menyebut nilai yang didapat, mereka langsung menurutinya.
"Wijaya? Bagaimana denganmu?" (Lina)
"Ya, hasil ku lumayan memuaskan. Biologi 80, Fisika 78, terakhir Kimia 75." (Wijaya)
"Lalu Danna?" (Lina)
"Maaf, aku akan berusaha lagi." (Danna)
Danna berkata seperti itu sambil memasang ekspresi yang sedih.
Tidak salah lagi, dia pasti mengalami pengurangan point.
"Sebutkan saja!" (Lina)
"Baik." (Danna)
"Biologi 71, Fisika 43, dan Kimia 67." (Danna)
Sudah kuduga.
Padahal nilai Biologi dan Kimia yang Danna dapatkan lebih baik dariku, tapi sayangnya dia mendapat nilai 43 di ujian Fisika.
"Apa point mu berkurang 50 sekarang?" (Lina)
"Ya, pastinya." (Danna)
"Jangan terlalu dipikirkan, kau pasti bisa melakukannya lain kali! Sekarang Satomi, berapa nilai mu?" (Lina)
Kini giliran ku yang ditanyai oleh Lina.
Apa boleh buat, aku hanya bisa mengikutinya.
"Yah, Biologi 70, Fisika 65, dan Kimia 65."
"Oh, lalu bisa sebutkan nilai yang kau dapatkan kemarin?"
"Untuk apa?"
"Sebutkan saja!"
"Baiklah kalau itu mau mu, Matematika 51, Olahraga 60, dan Bahasa Inggris 55."
Karena Lina terus memaksa untuk mengetahui nilai ku, jadinya aku memberitahunya agar dia tidak berbicara denganku lagi.
"Kukira kau akan membuat nilainya jadi lebih berpola lagi, sepertinya ekspektasi ku saja yang terlalu tinggi."
"Apa maksud mu?"
"Tidak ada, lupakan saja."
Mendengar perkataan Lina tadi, aku sedikit lega.
"Eh, Lina. Apa ini?" (Cika)
"Kenapa?" (Lina)
"Cek bagian notifikasi!" (Cika)
Karena suruhan Cika, kami semua mengecek bagian notifikasi masing-masing di ponsel.
"Untuk ujian atletik pada besok hari hingga Jumat batal diadakan, alasannya karena ada masalah internal dari pihak sekolah. Jadi singkatnya ujian atletik akan ditunda dan kembali dilaksanakan pada hari Senin hingga Rabu Minggu depan." (Danna)
"Eh?!" (Lina)
"Sebagai ganti penundaan itu, kalian diberikan jam pelajaran olahraga selama sisa tiga hari itu. Dengan itu kalian bisa berlatih hingga mendapat nilai yang bagus saat ujian atletik nanti." (Wijaya)
Isi notifikasinya dibacakan oleh Danna dan Wijaya secara bergantian.
"Tunggu, ada lagi!" (Wijaya)
Yah, aku sudah melihatnya.
Tiga orang siswa yang mendapatkan nilai rata-rata tertinggi di kelas akan mendapat penambahan point.
Peringkat satu diperoleh oleh Charles yang mendapatkan nilai rata-rata 85 dan peringkat dua diperoleh oleh Lina yang mendapatkan nilai 82, lalu disusul dengan Cika di peringkat ketiga yang mendapatkan nilai 76.
Peringkat tiga besar itu mendapatkan penambahan point.
Peringkat satu mendapat 100 point tambahan, peringkat dua 75 point, dan peringkat tiga 50 point.
Sisanya tidak mendapat apapun kecuali yang nilainya dibawah 50, tentu saja dia mendapat pengurangan 50 point seperti Danna.
"Charles?! Pintar juga dia bisa melebihi nilai Lina!" (Danna)
"Ya, aku setuju, dia pasti hanya beruntung!" (Cika)
"Jangan beranggapan buruk tentangnya, kita hanya bisa menerima itu!" (Wijaya)
"Wijaya benar, kalian harus lebih berusaha agar bisa mendapat point tambahan! Mungkin di ujian atletik Minggu depan, kalian bisa mendapatkannya!" (Fisa)
Aku sedikit tidak menyangka kalau Fisa bisa berpikiran seperti itu.
Kurasa dia telah berkembang lebih jauh ketimbang saat diawal bersekolah.
"Selamat ... Lina, Cika!"
Aku yang sedari tadi banyak diam, kini mulai memberikan ucapan selamat pada mereka yang telah berhasil menduduki peringkat tiga besar.
"Ya, selamat untuk kalian!"
Kemudian Fisa pun mengikutiku.
"Selamat, ya!" (Danna)
"Bisa traktir kami sekarang? Maaf, aku hanya bercanda! Pokonya selamat!" (Wijaya)
Lalu disusul oleh Danna dan juga Wijaya.
"Ya, terima kasih!" (Lina)
"Terima kasih! Selamat juga atas kerja keras kalian!" (Cika)
Kemudian Lina dan Cika membalas ucapan selamat dari kami berempat.
"Pokoknya, kita harus bersenang-senang karena ada hal baik yang terjadi di antara kita!" (Danna)
"Ya, kupikir ini patut untuk dirayakan!" (Lina)
Seperti itulah mereka menghabiskan sisa waktu hari ini, semuanya terlihat bersenang-senang kecuali aku sendiri.
Bukannya aku tidak menikmatinya, hanya saja suasana ini baru saja kurasakan.
Jika boleh jujur, ini adalah pertama kalinya aku berada di dalam kelompok pertemanan seperti ini.
Bagaimana rasanya?
Sayangnya aku tidak tahu.
Aku hanya bisa menikmati tampilan wajah Fisa yang terlihat sedang bersenang-senang.
Bahkan Fisa terlalu asyik dengan mereka dan dia tidak memperdulikan ku sama sekali.
Eh, kenapa?
Sekarang apa lagi?
Kenapa aku merasa kesal?
Tidak, aku tidak sedang kesal.
Lalu apa?
Ah, aku mengerti.
Melihat orang yang kucintai sedang bersenang-senang dengan orang lain, aku merasa cemburu akan itu.
Tidak salah lagi, ini adalah perasaan cemburu.
Ternyata memang benar, seseorang dapat berubah lebih cepat saat berada di sekolah ini.
Contoh mudahnya adalah Danna, awalnya dia terlihat seperti seseorang yang periang, tapi sekarang dia sangat jarang menunjukkan sisi periangnya itu.
Setelah cukup lama kami berada di H's Cafetaria, tidak terasa kalau waktu sudah terlalu sore.
"Kalau begitu, aku pulang dulu! Sampai jumpa besok, kalian semua!" (Lina)
"Ya, jumpa besok!" (Fisa)
Kemudian beberapa dari mereka mulai pergi secara berpasangan, seperti Lina dengan Wijaya, lalu Cika dengan Wijaya, mereka berempat meninggalkan ku dan Fisa di dalam cafe ini.
"Satomi, apa kau ada rencana setelah ini?"
"Hmm ... mungkin tidak ada, memangnya kenapa?"
"Sebelum pulang, mau jalan-jalan sebentar?"
"Boleh saja."
Fisa mengajakku untuk berjalan-jalan.
Aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya, jadi aku menerimanya begitu saja.
Kami berdua pun keluar cafe dan berjalan santai bersebelahan.
Aku tidak tahu kemana Fisa akan membawaku, dan aku tidak bisa menanyakannya.
Aku hanya perlu diam dan mengikutinya.
"Kurasa disini sudah cukup."
Kemudian kami berhenti tepat di depan mesin minuman.
"Kau ingin minum?"
"Tidak. Karena harinya mulai gelap, jadi satu-satunya tempat yang terang hanya ada disini."
"Begitu ya?"
"Jadi Satomi, tepati janjimu sekarang!"
"Eh, disini?"
"Memangnya dimana lagi?"
Aku mengerti sekarang.
Alasan Fisa mengajakku untuk berjalan-jalan, itu karena dia ingin aku mengelus kepalanya disini sekarang juga.
"Aku mengerti, akan kulakukan sekarang."
"To-tolong ya!"
Ada satu hal yang aku tidak mengerti.
Kenapa dia begitu menantikan ini?
Karena di beberapa waktu saat dia bersenang-senang di cafe tadi, Fisa sempat menatapku beberapa kali.
Dan tentu saja aku merasa senang karena ternyata dia tidak mengabaikan ku sepenuhnya.
Secara perlahan, aku mendekatkan tangan kananku ke bagian kepalanya.
Kemudian aku berusaha untuk mengelusnya dengan lembut.
Sensasi ini, rambutnya terasa sangat lembut.
Bahkan saat aku membelainya beberapa kali, bau manisnya tercium dari rambutnya ini.
"Hehe, aku sangat senang. Terima kasih, Satomi!"
"Fisa, aku men-..."
Uh, hampir saja.
Aku hampir mengaku padanya secara blak-blakan.
Untungnya aku berhasil menahan kata-kata ku sendiri.
"Kau bilang apa tadi, Satomi?"
"Tidak ada yang penting."
"Walaupun begitu, bisa tetap beritahu aku?"
"Yah ... aku mendapat nilai 70 sesuai perkataan ku pagi tadi, itulah yang ingin kukatakan."
Secara terpaksa aku harus berbohong padanya.
"Aku mengerti, Satomi. Apa kau ingin aku berjanji padamu juga? Tapi maaf karena aku hampir membocorkannya tadi!"
"Kau tidak perlu memikirkan yang tadi."
"Sebagai permintaan maaf, kau ingin aku berjanji apa?"
Sambil terus membelai rambut peraknya ini, aku terus berbicara padanya.
Fisa juga terlihat menikmatinya, jadi aku tidak akan berhenti.
Seperti biasa, saat aku bersama Fisa, aku merasa senang.
Jantung ku berdetak lebih kencang dari biasanya, lalu tubuhku memanas dengan sendirinya, dan terkadang aku tidak dapat berpikir jernih saat sedang merasakan hal itu.
"Kalau begitu, berjanjilah untuk terus mempercayai ku apapun yang terjadi!"
Aku akan memanfaatkan janjinya itu saat aku melakukan hal yang mungkin agak sulit diterima oleh kebanyakan orang.
Saat aku sudah melakukannya, kuharap Fisa masih percaya dan berpihak kepadaku.
Jadi pada dasarnya, kepercayaan adalah yang terpenting.
"Ya, akan kulakukan!"
"Terima kasih, Fisa!"
"Kau boleh melepaskannya sekarang. Dan juga hari sudah agak gelap, jadi aku pulang ke kamar asrama ku dulu. Sampai jumpa besok hari, Satomi!"
"Ya, aku mengerti."
Fisa pun pergi meninggalkan ku.
Kini aku sudah selesai menepati janji sesuai yang Fisa inginkan dan kuharap dia juga dapat menepati janjinya suatu hari nanti.
Aku tidak tahu kejadian apa saja yang akan menantiku di beberapa waktu kedepan, tapi yang pasti aku bisa merasakan firasat buruk yang mungkin akan terjadi.
Untuk mencegah hal itu, mungkin aku akan melakukan sesuatu yang sulit diterima oleh orang-orang.