webnovel

Raziva

"Bilang saja saya yang suruh."

"Iya bu tapi saya tetap dimarahi."

"Nanti biar saya yang meneleponnya sendiri."

"Benar tidak apa apa Bu?"

"Iya jangan khawatir. Arvy sangat suka naik bis. Dia senang saat menempelkan kartu di samping supir," Raziva tersenyum lebar sembari mengelus puncak rambut Arvy. Arvy masih sibuk melihat keluar dan pemandangan trotoar yang sangat ramai.

Ibu Raziva memang sangat ramah pada siapa saja, entah itu direktur Rossan, pejabat tinggi atau pun pelayan dia memperlakukan semua orang sama. Menurutnya tidak ada derajat yang lebih tinggi ataupun rendah.

Mobil berhenti, Raziva dan Arvy turun dan berjalan kaki di trotoar. Mereka bergandengan tangan dan bersenandung senang. Cuaca juga tidak panas, mendung sedikit dan sejuk sejuk dingin. Sangat cocok untuk jalan kaki di sore hari.

Mereka berdua berhenti di jalan zebra cross untuk menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki. Ada banyak orang yang ikut menunggu untuk menyeberang.

Ibu dan anak itu saling bergandengan serta satu sama lain. Raziva menatap putranya yang tidak berhenti tersenyum dari tadi. Ia ikut lega melihat Arvy sudah tidak kepikiran lagi tentang perlakuan kakeknya padanya.

Lampu untuk pejalan kaki berubah hijau, tanda aman untuk menyeberang. Namun tiba tiba Arvy berlari dan membuat genggaman tangannya terlepas dari ibunya. Raziva kaget tiba tiba Arvy berlari ke jalan dan menyeberang sendirian.

"Arvy!" teriaknya.

 Raziva berlari ke tengah jalan. Semua orang yang menyeberang melihatnya dengan heran dan bertanya tanya kenapa wanita paruh baya tersebut teriak teriak. Namun karena ramai Raziva tidak menemukannya di manapun. Ia mulai panik dan bingung hingga akhirnya lampu berubah merah dan zebra cross pun tidak ada satupun orang yang berdiri dis ana kecuali Raziva seorang.

Dan anehnya semua itu ternyata ilusi Raziva. Arvy masih berdiri di seberang jalan. Ia kaget tiba tiba ibunya melepaskan tangannya dan berlari sendirian ke tengah jalan padahal ia masih berdiri di sampingnya. Arvy yang kaget pun berusaha memanggil ibunya namun ibunya malah berteriak memanggilnya di tengah jalan.

Ia pun tidak mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Begitu juga Raziva yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia seolah ditipu dan ada ilusi yang tiba tiba membuatnya seperti itu.

"Ibu!" teriak Arvy dengan lantang hingga Raziva akhirnya mendengarnya.

"Loh? Arvy? Kok masih ada di sana? Tadi kan sepertinya dia lari ke tengah jalan? Bagaimana bisa?" Raziva linglung di tengah jalan.

"Ibu aku di sini!" teriak Arvy lagi.

Raziva berlari hendak menghampiri Arvy, namun dari arah jalan raya melaju sebuah taksi berwarna kuning, melaju sangat kencang. Raziva panik dan terkejut. Begitu juga Arvy yang tidak tahu harus bagaimana.

Hingga kecelakaan itu pun tidak bisa dihindari.

Bruaak!

Suara tabrakan itu sangat keras. Arvy yang melihatnya ibunya kecelakaan dengan kedua mata kepalanya sendiri hanya bisa mematung. Membisu, bahkan kakinya kaku tidak bisa digerakkan.

"I…ibu!!"

Arvy berlari dan menghampiri ibunya. Kepalanya bersimbah darah, nampaknya bagian kepalanya yang terbentur paling parah. Arvy menatapnya dengan menganga.

"Ibu….ibu…." ia menangis.

Orang orang berdatangan mengerubunginya.

Termasuk supir taksi dan penumpangnya yang ikut turun dan berlari ke arah tubuh korban yang tertabrak.

"Cepat hubungi ambulans!"

"Supirnya harus bertanggung jawab!"

"Kasihan ada anaknya."

"Cepat angkat baa ke rumah sakit!"

Semua suara yang berkoar koar di sekitarnya mendadak tidak terdengar. Arvy menutup telinganya dan menangis sembari menatap ibunya yang tidak sadarkan.

Akhirnya supir taksi dan penumpang yang membawanya ke rumah sakit. Arvy kecil menangis di depan UGD bersamaan dengan supir taksi yang menunggu dengan was was, juga seorang penumpang laki laki yang semakin masker putih dan juga topi.

Drffrr drfftt

Di rumah Ardana masih ketiduran. Ponselnya terus berdering. Sayup sayup matanya yang masih ngantuk ia mengangkatnya. Tertera nama istrinya di layar.

"Iya, Va. Ada apa? Aku masih ngan…"

"Atas nama pak Ardana?"

Ardana langsung membuka matanya dan duduk dengan benar.

"Siapa ini?"

"Apa betul wanita bernama Raziva adalah isteri bapak?"

"I..iya. Dengan siapa saya bicara ini?"

"Saya suster di rumah sakit Pelita Harapan. Isteri bapak mengalami kecelakaan pak. Putra bapak menangis dan menunggu di UGD. mohon maaf pak atas berita yang mengejutkan ini. Mohon untuk segera datang, kondisi istri bapak kritis."

"Ra…Raziva…."

Secepat kilat Ardana berlari keluar kamar dan menuruni tangga dengan tergesa lalu menghidupkan mobilnya dan menuju rumah sakit.

Sesampainya di sana ia melihat Arvy yang dua tangannya penuh darah Ziva duduk di lantai sembari menangis pilu. Ia berlari menghampirinya.

"Arvy!"

Arvy menoleh dan melihat ayahnya datang dengan mata merah dan menangis.

"Ayah, ibu…ibu di dalam…" Arvy menangis sesenggukan.

"Tenang, tenang saja. Ibu pasti baik baik saja. Ibu pasti bisa bertahan." kata Ayah sembari memeluk erat putranya. Namun ia tak kuasa dan akhirnya menumpahkan air matanya.

"Ibu….ibu…"

"Ibu sudah berjanji akan menjaga Arvy kan? Jadi ibu pasti baik baik saja. Ibu tidak pernah mengingkari janjinya." Arvy mengusap air mata yang mengalir di pip Arvy.

Keduanya berpelukan sembari menangis pilu.

Supir taksi melihat ayah dan anak yang saling berpelukan sedih itu. Ia mendekat dan tiba tiba berlutut.

Supir itu memohon di depan Ardana yang memeluk Arvy.

"Saya benar benar minta maaf, pak," ia menunduk dengan tulus dan merasa bersalah. "Ini salah saya. Maafkan saya. Saya tidak tahu kenapa tadi merasa sangat mengantuk padahal tidak begadang dan bahkan sebelumnya saya minum kopi. Saya minta maaf pak. Saya akan mengganti biayanya pak."

Ardana melepas pelukannya lalu meraih kerah supir itu dan menariknya ke atas agar ia berdiri.

"Biaya katamu?! apa aku terlihat seperti orang yang tidak bisa membayar biaya rumah sakit isteriku!" teriak Ardana dengan pilu.

"Sa…saya minta maaf pak. Maafkan saya pak," supir taksi itu menangis sembari menyatukan telapak tangannya memohon.

"Ayah…" Arvy memegang ujung kemeja ayahnya. Meminta untuk berhenti memarahi supir itu.

Ardana menoleh dan kembali memeluk Arvy.

"Kau benar. Ibumu pasti tidak akan suka kalau aku memukulnya. Ibumu adalah orang yang paling baik sedunia. Dia pasti memarahiku jika aku memukulnya."

"Tadi saya sudah meneriaki anda loh pak," kata penumpang itu pada pak supir. "Ana tiba tiba tertidur dan menabrak wanita itu. Saya saksinya."

Sejak saat itulah Raziva koma dan supir taksi itu dihukum dikenai pasal tabrak lari karena adanya saksi (penumpang) yang menguatkan bahwa memang supir itu teledor dan menyetir dengan mengantuk di jalan. Namun karena supir itu menunjukkan rasa bersalah hukumannya dikurangi. Supir taksi itu pun dihukum selama 5 tahun penjara.

Di rumah sakit, melihat supir taksi, ayah Ardana dan juga Arvy menangis, sang penumpang itu meninggalkan rumah sakit dengan senyum penuh kepuasan yang terukir di bibirnya. Ia membuka masker dan topinya begitu berada di depan gedung rumah sakit.

Penumpang yang memakai masker dan bertopi putih itu adalah Ramon.

Próximo capítulo