webnovel

Umpan

Paginya Alfa berdiri di depan pintu Amy, ia mengirim pesan pada seseorang. Amy tiba-tiba keluar dan mendapatinya asyik bermain ponsel. Amy masih agak canggung karena kejadian semalam.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Alfa sembari memasukkan ponselnya di saku celana.

Amy mengangguk sudah siap. Keduanya berangkat.

Di depan gedung perusahaan yang megah itu, keduanya berdiri dengan percaya diri, berpose bak Sherlock Holmes dan Watson.

"Kau sedang bermain detektif-detektifan?" ejek Amy ketika melihat pose Alfa yang lucu mirip Dr. Watson yang menyilangkan dua lengannya depan dada.

"Kau merusak pertunjukkanku!" Alfa kesal. "Bukannya kau tadi berpose sama."

"Rencana kita harus berhasil," Amy mengulurkan punggung telapak tangannya ke depan.

"Mau apa?"

"Letakkan tanganmu diatasku, lalu kita buat jargon."

"Apa kau anak pramuka?" Alfa tertawa.

"Cepatlah!" Amy menarik tangan Alfa dan menaruh tangannya di atasnya.

Alfa mendadak merona menyentuh tangan Amy. Seolah ingin menggenggamnya. Diliriknya senyum sumringah Amy dari samping, wajahnya berbinar, tanpa sadar dirinya hanyut dalam pesonanya. Tiba-tiba ia teringat ciuman mereka semalam, ia menyadarkan dirinya sendiri.

"Kenapa?" tanya Amy.

"Amy," panggilnya serius.

"Apa?"

"Ingat, hari ini tugas kita adalah mendapatkan dokumen pegawai transferan, jangan terpikirkan yang lain. Sebelum aku masuk nanti, kau harus sudah on," Alfa menyentuh telinganya memberi tanda. "Kau tahu cara mengaktifkannya kan? Tinggal sentuh saja, kita akan langsung terhubung.

Ada alat kecil di telinga mereka. Amy ditutupi rambut panjangnya, begitu juga Alfa yang ditutupi jambang rambutnya yang agak panjang.

"Iya. Kita punya waktu 15 menit saat pergantian penjaga di bagian cctv, aku akan masuk dan mematikannya sementara, kita minimalkan menjadi 10 sampai 12 menit. Tapi bagaimana kita tahu dimana letak dokumen itu?"

"Itu serahkan saja padaku. Kau sudah tahu aura milik manajer kan?"

"Mudah, ia tipe yang mudah dibaca. Aku akan mendeteksinya dalam radius 50 meter."

"Sebenarnya itu jarak yang masih sangat pendek," Alfa nampak khawatir.

"Bukankah kau bilang sudah menyiapkan plan B?"

Keduanya bertatapan lama dan menyadari tentang rencana cadangan.

"Iya," sahut Alfa.

"Sebenarnya plan B mu itu apa? Kau merahasiakannya dariku, tidak adil!"

"Itu tidak penting. Pokoknya kau jangan sampai terluka," kata Alfa.

"Ha?" Amy tersenyum kecut. "Itu kata-kata untukmu, Bodoh."

"Kita juga harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari pegawai senior transferan itu, siapa namanya?"

"Nita."

"Iya itu. Cobalah kau dekati, kalau bisa akrabkan diri dengannya."

"Kau pikir sedang menyuruh siapa? Aku bos-nya di sini. Ah kita bahkan tidak dibayar untuk ini."

"Katamu semalam ini kegiatan sukarela. Kau tidak ingat?"

Amy menghela napas panjang, namun ia meyakinkan diri sendiri untuk semangat.

Di dalam gudang Amy dan Alfa bekerja normal seperti yang lainnya. Senior membimbing kita seperti kemarin, seperti mengatur kardus, memilah mainan dan membuat daftar barang secara manual.

Amy mendekati Nita. Ia merasakan auranya, warna auranya hijau hijau tua dan lumayan gelap.

"Senior," panggilnya. Amy mendekatinya.

Nita menoleh. Seniornya itu tipe yang pendiam, jarang bicara kecuali dibutuhkan dan juga dingin nan kasar dari penampilannya. Ia memiliki rambut pendek sebahu. Amy mendekatinya dan berpura-pura bertanya sesuatu tentang pekerjaan, hingga akhirnya menyisipkan pertanyaan lainnya.

"Senior, sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan ini?"

"Aku? Sekitar 2 tahun."

"Ooh," Amy manggut-manggut. "Kau benar-benar terlihat sangat ahli dalam menata kardus dan memilah mainannya. Sayang sekali kau dipindahkan untuk mengajari kami yang masih baru, maaf ya senior, hehe."

Amy mengengeh, ia tahu Nita akan memakan umpannya.

"Tidak perlu minta maaf, lagipula aku senang mengajari pegawai baru. Lagipula jika bukan aku yang pindah, siapa lagi?" Nita menunduk sembari tersenyum memaksa.

"Eh? Kenapa? Apa dipindahkan berarti membuat kesalahan?" tanya Amy polos, ia berusaha mengorek informasi.

"Kau tidak bisa memilih akan dipindahkan atau bertahan, tapi perusahaan ini punya sistem tertentu."

"Mungkinkah mereka memilihnya sesuai dengan kinerja pegawai? Tapi kak Nita kan sangat bisa diandalkan, kenapa malah dipindahkan?"

Nita menunduk sedih, "Entahlah."

"Saat aku bertemu dengan om itu kemarin, dia diikuti fyber hitam aneh berkekuatan tingkat tinggi. Apakah Kak Nita akan diikuti juga?" batin Amy.

"Apa Kak Nita mempunyai rekan di gudang sebelumnya?"

"Iya tentu saja…"

Amy melihat lebih dalam perasaan senior itu, semakin ia selidiki, ada sebuah ingatan yang mengganjal dalam dirinya. Ia memperhatikan gesture-nya dan melihatnya lebih dalam.

"Kak Tina," panggilnya. "Kalau kau tidak mau, kenapa kau tidak menolak saat dipindah ke sini?"

"Apa?" senior tersenyum. "Kenapa kau bisa tahu kalau aku tidak mau? Lagipula aku hanya pegawai kecil, apa aku bahkan punya pilihan jika sesuatu yang buruk menimpaku? Aku hanya ingin bekerja, itu saja."

Amy dapat merasakan emosi yang sama dengan perasaan om yang kemarin, bahwa ia memiliki putri dan keluarga yang harus ditanggung dan tidak bisa melakukan apapun selain menerimanya.

"Sepertinya aku akan dipecat sebentar lagi," kata Senior.

"Apa? Kenapa bicara begitu?" Amy prihatin.

"Sudah banyak pegawai yang dipecat, tahun ini mereka sepertinya gila-gilaan mem-PHK-kan karyawannya. Aku termasuk beruntung, hanya ditransfer, bukan dipecat."

"Kenapa bisa begitu?"

"Aku dengar sepertinya mereka menaikkan jumlah pegawai baru dan mengurangi pegawai lama."

"Bukankah pegawai lama lebih bisa diandalkan ketimbang mengajari pegawai baru lagi?"

"Aku juga berpikir yang sama, tapi…"

"Tapi kenapa?" Amy penasaran.

"Ini hanya rumor, desas-desus yang tidak ku tahu kebenarannya."

"Apa itu?"

"Mereka melakukan pencucian uang di perusahaan cangkang."

"Ha?!"

Alfa yang mendengarnya sontak menoleh, namun tidak lantas mendekatinya. Ia menduga Amy mendapat informasi yang sangat penting. Ia mencari waktu di sela-sela pekerjaannya. Lagipula yang lain tidak akan menyadarinya karena serius bekerja.

"Woi," teriak Alfa pelan di sela-sela pekerjaannya. Ia meneriaki Amy sangat pelan. "Ayo bicara."

Amy mengangguk. Mereka bicara di luar gudang.

"Apa ada hal yang krusial?"

"Sepertinya lawan kita banyak kali ini."

"Apa maksudmu?"

"Sampai kemarin aku masih tidak paham kenapa paman dipecat, tapi kini aku tahu alasannya. Ada pencucian uang di perusahaan yang dilakukan beberapa oknum."

"Apa?"

"Mereka sengaja memecat pegawai bukan untuk dijadikan tumbal perusahaan, tapi…"

"Kambing hitam!" mereka mengucapkannya bersamaan.

"Nama pegawai yang dipecat adalah mereka yang dikambing hitamkan sebagai pegawai yang melakukan penggelapan dana, dan adanya pegawai baru memudahkan mereka untuk mencuri dana dengan alasan materi atau instrumen perusahaan," jelas Alfa.

"Kau paham banyak rupanya tentang begituan."

"Tentu saja, kau yang tidak tahu."

"Jadi bagaimana dengan nasib paman itu yang dijadikan kambing hitam?"

"Kemungkinan besar petinggi tidak memberikan alasan yang jelas dan hanya menggunakan namanya untuk bersenang-senang."

"Selain memecat dengan tidak adil, mereka menggunakan nama pegawainya untuk melakukan kejahatan. Benar-benar tidak bisa dimaafkan! Manusia kadang lebih menakutkan dari hantu."

"Ah bisa gila kita! Masalahnya semakin melebar! Kau yakin melihat hantu di kepala paman itu?" Alfa memastikan. "Kita ini ghost hunter bukan koruptor hunter!" ia mengacak rambutnya frustasi.

"Bukan hanya hantu bisa, tapi fyber! Hal itu tidak bisa dikendalikan oleh orang biasa," batin Amy. Ia berpikir keras tentang itu.

"Kau masih ingin melanjutkan kasus ini? Korupsi bukan wewenang kita, My," pinta Alfa. Mendengar berita itu ia benar-benar ingin berhenti. "Politik bukan ranah kita, ini hanya akan menghancurkan kita perlahan."

"Tunggu, sepertinya ini akan mudah."

"Apa? Kau gila?!"

"Mari tetap pada rencana awal kita. Ayo lakukan rencana yang sudah kita rancang semalam."

"Maksudmu menyelinap ke ruang manajer dan mengambil dokumen itu?"

Amy mengangguk mantap. Alfa melihat mata Amy yang percaya diri dan meyakinkan.

"Baiklah, jika kita dipecat setidaknya kita sudah melakukan sesuatu dan tidak menyerah begitu saja."

Próximo capítulo