Rey terjungkal hingga terduduk di lantai.
"Kau! Tidak mungkin!"
Pria berdarah dingin itu mendekat ke arah Gita, membuka coat panjang yang ia pakai lalu menutupi tubuh Gita, kemudian mendekati Rey, wajahnya berapi-api. Ditinjunya berkali-kali wajah pria br*ngsek itu hingga babak belur. Namun Rey hanya tertawa bak psikopat.
"Inikah yang katanya pria robot sok dingin dan cuek pada orang lain, ternyata bisa marah juga. Kau kemari karena gadis itu atau karena…"
"Kau adalah manusia fyber."
Degh
Rey tidak menyangka kata itu akan terucap dari mulut Arvy. Padahal tidak ada yang mengetahui identitasnya selama ini, bahkan tidak ada manusia yang bisa mendeteksinya.
"Siapa kau sebenarnya Arvy?"
"Aku sudah menduga ada yang tidak beres denganmu. Tapi aku tidak menyangka kau ketahuan semudah ini."
"Apa? Tidak mungkin! Aku adalah fyber yang memiliki kesadaran! Aku berbeda dari makhluk rendahan itu! Aku berpikir seperti manusia! Jangan meremehkanku! Aaaargggh!"
Rey balik memukul wajah Arvy dan berdiri dengan dramatis. Tiba-tiba seluruh tubuhnya mengeluarkan asap dan munculah mata di bagian tubuhnya yang tak wajar. Satu mata, dua mata, tiga mata, hingga ratusan mata. Berjajar secara acak di dada, lengan, kaki bahkan wajahnya. Wajah tampan Rey kini ditutupi mata berlendir yang menjijikkan. Suaranya berubah menjadi aneh, bercampur dengan banyak jiwa.
Arvy menatapnya datar, ia menelan ludah. "Sudah berapa jiwa yang kau makan?"
"Aku melihat aura gadis suci itu benar-benar polos dan manis. Bagaimana bisa aku tidak terangsang. Aku ingin menciumnya, menidurinya dan menumbalkannya untuk ritualku . Dia akan kuajak bergabung dan menjadi bagian dari diriku yang terdalam."
Arvy mendekat. Ia meraih leher Rey dan mencekiknya dengan sekuat tenaga. Namun ada hal tak wajar yang terjadi. Rey tertawa terbahak-bahak sembari merentangkan dua tangannya seolah membiarkan Arvy memelakukan apa yang ia inginkan.
"Ha ha ha. Cekik aku sepuasmu! Kau tidak akan bisa membunuhku."
Mata di seluruh badan Rey mengeluarkan airmata dan suara aneh mirip orang yang menangis sesenggukan. Arvy tertegun. Ia melepaskan cengkeramannya dan mundur beberapa langkah.
"Sial!"
"Sudah kubilang aku bukan fyber biasa. Aku mengumpulkan jiwa-jiwa istimewa dan membiakkan mereka dengan baik. Ha ha ha."
Arvy menggertak. Ia hendak mendekat lagi, namun tubuhnya terpental hingga punggungnya menabrak pintu. Ia meringis kesakitan. Telapak tangannya yang mengeluarkan asap keemasan ia angkat ke depan muka, lalu ia kepalkan dengan sekuat tenaga.
"Aku akan menghabisimu, makhluk menjijikkan," gumamnya. Ia berdiri segera dan berlari sembari mengumpulkan energi dalam dan memusatkannya di kepalan tangan. Ia menargetkan jantung utama.
"Hyaaaaaa," Arvy mengangkat kepalan tangannya bersiap meninju Rey, namun ia terhenti.
Gita membuka matanya, terbangun.
Arvy dan Rey tertegun dan menoleh ke ranjang.
Gita duduk dan melihat situasi yang tidak ia mengerti itu.
"Arvy…" panggil Gita pelan.
Arvy mematung, panik.
Rey yang hampir ketahuan manusia biasa mengambil kesempatan itu. Ia mendorong tubuh Arvy dan menendang perutnya hingga tergeser beberapa meter. Rey berlari ke arah jendela yang tidak terlalu besar dan melompat keluar dari sana.
Sedang Arvy tergeletak di lantai dengan menahan sakit di perutnya. Wajahnya berdarah karena tertancap beberapa pecahan kaca. Ia meringis dan merintih dalam diam.
Gita yang menyadari dirinya hanya mengenakan pakaian dalam pun terkejut setengah mati. Ada sebuah coat yang kebesaran di atasnya. Ia segera memakainya dan turun dari ranjang.
"Arvy!" ia berlari menhampirinya yang tergeletak hampir tak sadarkan diri.
Gita memanggilnya berkali-kali. Ia duduk dan merebahkan kepala Arvy di pahanya. Memegang pipinya yang dingin seperti es. Entah apa yang sudah terjadi. Tapi ini pasti bukan hal baik melihat keadaannya seperti ini. Gita menangis sesenggukan sembari memeluknya.
***
Gita berjalan melewati koridor. Kampus hari ini sangat ramai karena mahasiswa sibuk mempersiapkan ujian. Begitu juga Gita, ia membawa setumpuk buku yang hampir menutupi mukanya. Hingga sampai di depan sebuah ruangan.
"Kau mahasiswa jurusan sejarah?" tanya dosen yang duduk di kursi. Ia memakai kacamata dan menatap layar komputer.
"Iya, Pak."
"Baiklah. Tinggalkan saja bukunya di meja sudut. Terima kasih sudah mengumpulkannya. Jangan lupa belajar untuk ujian. Semangat."
"Baik. Terima kasih."
Gita tersenyum mendapat ucapan semangat dari dosen. Saat hendak menuju perpustakaan lantai atas. Tidak sengaja ia berpapasan dengan mahasiswa lain yang memakai gaun yang sama dengannya malam itu. Berwarna ungu muda dan cantik, ditambah lagi dengan jepit rambut biru di rambutnya. Gita mendadak memanyunkan bibirnya sedih melihat gaunnya yang hilang entah kemana. Dirinya bahkan tak ingat dimana ia kehilangan jepit rambut koya biru kesayangannya.
"Gaunku hilang, jepit rambutku hilang. Huft."
Karena terlalu fokus dengan perempuan itu, Gita salah menginjak anak tangga hingga oleng. Kakinya terpeleset dan ia jatuh ke belakang. Ia panik tak bisa menahan tubuhnya. Reflek dirinya memejamkan matanya.
Brak
Seseorang menangkap tubuh mungilnya.
Gita membuka matanya perlahan dan melihat sesosok pria yang tak asing tengah menangkap tubuhnya.
"Arvy!"
Gita menegakkan tubuhnya kikuk. Ia mundur sedikit.
"Ceroboh."
"Ma..maaf." Gita menunduk malu. Wajahnya merona.
"Ayo." Arvy naik ke tangga atas dan mendahului langkah Gita.
"Eh kemana?" Gita gugup.
"Ikuti saja aku."
Gita mengikuti langkah Arvy di belakangnya. Ia bisa menebak mereka akan ke lobi perpustakaan lantai dua. Disana ramai dan penuh, para mahasiswa sibuk belajar untuk ujian. Arvy berhenti sejenak, Gita menabrak punggungnya karena Arvy berhenti tiba-tiba.
"Jangan berjalan di belakangku." Arvy menoleh ke belakang.
"Eh iya iya. Maaf." Gita berdiri di samping Arvy.
Arvy menghela napas. Ia menyadari gadis itu tidak nyaman berada di dekatnya.
"Ada apa denganmu?"
"Aku? Memang aku kenapa?"
"Kau tidak suka jalan bersamaku?"
"Tidak, tidak kok." Gita melambai-lambaikan tangannya .
"Kenapa tidak menatapku saat bicara?"
Degh
Gita memegang dadanya. Seolah jantungnya mau copot. Pipinya merona, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
"Kenapa tiba-tiba Arvy jadi peduli? Kan dia tidak dekat dengan teman-teman kampus sebelumnya. Mungkinkah dia mengingat namaku karena aku menyebalkan. Aduh bagaimana ini?" batinnya berteriak.
Gita menatap Arvy gugup. Wajahnya dingin dan kaku, tidak senyum sama sekali dan sedikit menyeramkan seperti akan marah. Ia menelan ludah.
"Aku minta maaf soal kemarin, dan juga terima kasih. Anu Arvy begini kemarin aku…eh tidak maksudku…" Gita menepuk bibirnya sendiri pelan. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ingin mengatakan apa.
Arvy melihat betapa gugupnya Gita. Ia menahan senyumnya sembari mengambil sesuatu dari balik saku jaket.
"Ini milikmu, kan?" Arvy memberikan sebuah jepit rambut biru koya pada Gita.
"Koya? Dimana kau menemukannya. Aishh, aku berhutang lagi padamu." Gita mendadak semangat. Ia mengambil jepit rambut itu dan memasangkannya di rambut. Arvy melihat jepit rambut itu agak miring dan membantunya merapikannya. Gita menahan nafasnya.
"Sudah tidak gugup lagi?"
Gita mengengeh.
"Ayo ke dalam. Tidak ada tempat duduk di sini. Sebelum yang dalam penuh kita harus cari meja."
"Kenapa?"
"Kau tidak belajar?"
Gita lagi-lagi mengengeh sembari tersenyum lebar. Arvy menahan senyumannya. Dirinya lega melihat gadis itu kembali berseri-seri seperti biasa. Mereka melihat meja melingkar di sudut yang masih belum ditempati. Ada tiga kursi di sana.
Keduanya berjalan beriringan bersama. Hingga seorang pria berpapasan dan melewati Arvy di sampingnya. Bahu mereka hampir bertabrakan. Orang asing itu memakai jaket hitam hoodie dan menutupi kepalanya dengan penutup jaket. Seolah angin berhembus kuat, Arvy berhenti melangkah. Ia menoleh ke belakang dan menatap tajam orang itu.
"Dia masih berkeliaran?" batin Arvy.