Pagi hari di rumah tanjakan.
Waktu sekitar jam sembilan pagi. Tiga orang, dua lelaki dan satu perempuan telah duduk di ruang tamu. Mengelilingi meja tamu yang terdapat tiga cangkir teh panas, satu piring penuh berisi gorengan, serta sebuah mic-recorder.
Abimanyu memandangi mic-recorder yang dikeluarkan oleh temannya tersebut. Dia melirik ke Oki, bertanya tentang guna dari alat tersebut pada waktu saat ini.
"Barangkali ada sesuatu dari pembicaraan sekarang yang bisa dijadikan bahan podcast atau untuk marketing di media sosial nanti."
"...Kapan kau membeli barang ini?"
"Beberapa hari yang lalu. Dari uang komisi menjadi bintang tamu."
Bima semerta terdiam, dia pandangi lagi benda perekam di atas meja. Menyadari kalau sepertinya, temannya Oki itu benar-benar serius menjalani profesi barunya sebagai podcaster.
Harus diakui, beberapa jam terakhir ini, Bima tampaknya mulai menyesali beberapa keputusan yang diambilnya.
Pertama berusaha memperjuangkan ketentraman hidupnya di rumah tanjakan dengan membantu Lani dan mengurusi Bobby. Awalnya ini dia lakukan karena tidak mau capek-capek mencari tempat baru dan merasa tidak mau pekerjaan membersihkan rumah itu menjadi suatu yang sia-sia.
Namun hasilnya, dia memang mendapatkan kedamaian dalam waktu satu minggu. Setelah itu, tepatnya tadi malam, dia baru mempelajari kalau dirinya baru saja masuk jebakan mematikan.
Kini dirinya tidak bisa keluar karena nyawanya terancam oleh sosok yang mengerikan.
Tahu hasilnya seperti ini, Bima lebih memilih untuk minggat dari rumah ini sejak dulu. Sayang, semuanya telah berlalu. Dan dia hanya bisa menerima nasib buruknya.
Penyesalan kedua, membuat podcast. Hal ini dilakukan agar kasus Lani mencuat naik ke publik, sehingga polisi mau bergerak. Siapa sangka, Oki ketagihan melakukannya. Dan kini tanpa Bima inginkan, dia mendapatkan ribuan fans yang ingin mendengar kelanjutan podcast-nya.
Bima tidak mengerti mengapa semua hasil keputusannya berjalan ke sesuatu yang tidak dia ekspektasi.
Bima kemudian melirik ke satu orang lagi yang duduk di ruangan tersebut. Duduk bersebrangan dengan dirinya. Seorang perempuan yang tampak gugup, meminum teh di cangkirnya sedikit demi sedikit.
Perempuan itu bukan lain adalah Raya. Juniornya di kampus.
Karena Bima sudah menerima perintah (ancaman) dari Winda. Mau tidak mau, dia akan menginvestigasi tentang kondisi dari adik Raya yang bernama Dion.
Oleh karenanya, setelah fajar terbit tadi. Bima langsung menyuruh Oki untuk meminta Raya datang ke rumahnya.
"Sigh... Raya, kami akan menerima pekerjaan yang kau tawarkan kemarin."
Tutur Bima, memulai pembicaraan. Mendengarkan ucapan dari Bima, sepasang mata perempuan tersebut langsung berbinar. Wajahnya berubah cerah dengan senyum yang merekah.
Bima seketika mengerut. Melihat reaksi penuh ekspektasi itu hanya membuat dirinya merasa beban bertambah lebih banyak.
"Serius, Kak Bima?"
Bima mengangguk, "Kau juga pasti sudah menebak sejak dipanggil oleh Oki, kan? Kalau tidak, orang satu ini tidak akan menaruh perekam itu di atas meja."
Balas Bima menunjuk ke benda perekam di depan Raya. Perempuan itu hanya terkekeh, lalu wajahnya berubah serius.
Raya berkata kalau permintaannya sama seperti sebelumnya, yaitu mencari tahu tentang penyebab kondisi dari Dion. Tentu dari segi mistis. Raya akan membayar keduanya dengan harga yang cukup mahal, disertai bonus bila keduanya berhasil menemukan sebab apalagi dapat menyembuhkan Dion.
"Kalau kami tidak berhasil menemukan apapun, bagaimana?" Kali ini Oki yang bertanya.
"Uang tetap dibayarkan, namun perjanjian tentang saya menjadi pengisi podcast kalian batal."
Jawab Raya, yang sebelumnya pada perjanjian awal. Oki sudah membicarakan tentang mengisahkan pengalaman Dion dan Raya di Podcast Rumah Tanjakan sebagai salah satu syarat menyewa jasa Bima dan Oki.
Bima dan Oki setuju dengan keinginan Raya. Namun sebelum membicarakan hal selanjutnya, ada hal yang ingin Bima tanyakan dulu.
"Apa uang itu milikmu?"
Harga yang ditawarkan oleh Raya adalah sepuluh juta. Untuk seorang duo podcaster pemula, yang bukan berprofesi sebagai paranormal investigator, dibayar dengan harga segitu terbilang cukup tinggi. Memang menggiurkan, tetapi Bima ingin tahu asal uang tersebut.
Karena mau dilihat dari sudut manapun, Raya masih seorang mahasiswa. Aneh rasanya, dia bisa mengeluarkan uang sebanyak itu. Kalau itu berasal dari tabungannya, jujur Bima sedikit merasa bersalah menerima harga sepuluh juta itu. Mungkin dia bisa memperkecilnya.
Namun jawaban Raya berikutnya malah membuat Bima ingin melakukan sebaliknya.
"Ah, iya. Ini uang jajan saya bulan ini."
"..." Bima terdiam.
Oki mengernyitkan keningnya, "Kalau boleh tahu, berapa uang jajanmu sebulan, Ray?"
"Hm? Biasanya cuma lima belas juta. Tapi kadang bisa dua puluh sampai dua puluh lima juta."
"..." Kali ini Oki yang terdiam.
'Damn, tahu gini aku naikin harganya!'
Cuma lima belas juta?! Kalau begitu, bukannya lebih baik dia bekerja jadi mahasiswa daripada lulus terus kerja dengan gaji yang lebih rendah daripada uang jajannya? Bima agak kesal dalam dirinya.
Oki yang melihat raut wajah temannya berubah kesal langsung mengeluarkan suara.
"Apa yang kau keluhkan? Mau kamu dan dia sama saja. Kalian sama-sama jutawan!"
Bima. Terlihat malas dan tanpa kerjaan setiap hari. Yang mana, kalau tidak kuliah dan mengerjakan tugas, dia hanya suka bermain game di hape dari pagi sampai malam.
Tapi di balik itu, Bima sebenarnya sudah mempunyai penghasilannya sendiri. Lelaki itu adalah seorang komikus web. Dia telah membuat tiga komik di platform web digital, dan ketiga komik tersebut cukup populer, memberikannya pemasukan sekitar lima hingga tiga puluh juta satu bulan. Tergantung dari jumlah pembaca yang membeli karyanya.
Oleh karena itulah, Bima bisa berkeliling negara dengan bebas. Tanpa banyak hadangan dari kedua orang tuanya.
Tiga komik itu dibuat Bima saat dia masih mahasiswa dulu. Sekarang, entah apakah lelaki itu bakal melanjutkan profesinya sebagai komikus, atau berubah menjadi podcaster? Atau bisa saja dia menjadi dosen setelah lulus studi masternya.
Jujur, Oki sangat iri dengan temannya satu ini. Karena saat ini dia masih bergantung pada uang jajan yang sedikit. Baru kali ini, setelah membuat podcast bersama, Oki mengecap rasanya mendapatkan uang.
Oleh karenanya, dia tidak mau menutup podcast itu, bahkan bila dia harus menarik paksa temannya itu!
"Umm..."
Raya tiba-tiba bersuara sambil mengangkat sedikit tangannya.
"Ada apa?" Tanya Bima.
"Mendengar podcast kalian. Saya sungguh ingin percaya kalau Kak Bima bisa melihat hal begituan. Tapi, apa kalian bisa membuktikannya? Anggap saja, saya ingin melepas keraguan di dalam diriku ini."
"..."
Bima dan Oki saling tatap. Bima lalu melirik ke arah gelang yang ada di tangannya. Gelang yang terdiri dari dua belas butir kayu bagai tasbih.
Yang mana, baru Bima ketahui fungsinya tadi malam dari penjelasan Winda. Gelang tersebut merupakan hal yang membuatnya dapat menyentuh makhluk astral. Ditambah, kegunaan lainnya adalah satu butir kayu pada gelang dapat menyegel satu hantu.
Hantu yang telah dikontrak oleh Bima sebagai rekannya. Sebenarnya Winda menyebutnya pelayan bukan rekan.
Sekarang, satu butir kayu itu sudah memiliki sosok yang mendiami. Sosok itu tidak lain adalah Lani. Tadi malam, Bima mengontrak Lani untuk menjadi pelayannya. Mau Bima dan Lani sebenarnya tidak mau melakukan hal tersebut, namun di bawah pengawasan Winda, keduanya hanya bisa menurut.
Bima menyentuh butiran kayu tempat Lani berada. Mengusapnya sambil menyuruh sosok perempuan itu keluar.
Lani yang tampak baru bangun tidur seraya berada di depan Bima. Melayang berdiri di atas meja.
"Kenapa memanggilku?"
"Angkat cangkir itu menggunakan kekuatanmu."
"..."
Lani terdiam tertegun. Dia dibangunkan hanya untuk menerbangkan sebuah cangkir, apa ini lelaki gak ada kerjaan lain?!