webnovel

Jangan Teriak-teriak, Ntar Kesambet

Susi dengan cepat menyingkirkan Bayu, pemuda itu terduduk di tanah, lemak kali bokongnya terbanting.

'Ehmmmm ... naseb naseb!' Kesal pemuda itu dalam hati.

Susi nggak menghiraukannya sama sekali, sambil mengencangkan ikatan sarung di pinggangnya dia menghampiri Hening yang berdiri dengan tangan terlipat ke dada sambil natap penuh kemenangan kearah sungai dimana Dipta tengah berenang menuju tepi.

"Anak nakal!" Sentak Susi sambil menjewer kupingnya Hening. Seketika gadis itu menjerit kesakitan sambil mencoba melepas jeweran ibunya yang sakitnya nggak ketulungan.

"Bu, lepas! Bukan aku yang salah, anak monyet itu yang luan cari gara-gara. Masa ibu nggak liat?" Rengek Hening, telinganya masih di jewer dan makin kuat.

Can sebesar kuping gajah setelah ini.

Nur dan yang lain bersiap pergi meninggalkan sungai karena nggak mau berhadapan sama ibunya Hening yang masya Allah kali ngerinya kalo udah merepet.

"Kalian! Jangan ada yang lari. Berani lari, bude kejar pake rotan pukulan tilam! Sekarang! Kumpul di rumah bude!" Bentaknya. Nur dan yang lain hanya bisa mengangguk patuh.

"Bu, maghrib ini! Jangan teriak-teriak, ntar kesambet!" Bisa-bisanya dalam keadaan genting gini Hening ngingatin ibunya yang udah melotot kaya genduruwo.

"Udah tau maghrib bukannya pulang malah gangguin den Dipta!"

Hening baru tau namanya Dipta.

"Dia duluan yang cari gara-gara, ibu gak tau kalo dia mau perkosa aku! Kalo gak percaya tanya aja sama Nur." Sayang Nur udah gak nampak lagi. Pasti udah jalan di depan dengan yang lain.

Mata Susi semakin melotot, "kalo ngomong di saring, Ning! Demi alam semesta, ibu bisa mati muda kalo kamu gini terus. Sekarang ayo pulang, dan jelaskan semuanya di depan abah!"

Susi melepas jewerannya lalu menghampiri Dipta yang baru keluar dari sungai.

"Aden gak apa-apa?"

Dipta melirik Hening yang menatapnya jengkel, "lumayan, kulit kepala saya hampir lepas kalau ibu tidak datang." Susi langsung menoleh, menatap tajam Hening yang melotot kaget.

"Eh ... kampret gila!" Hening langsung kabur begitu melihat ibunya celingak-celinguk mencari ranting untuk melibasnya. Gak sempat dia maki si Dipta yang tersenyum iblis.

Sepanjang jalan Hening mengumpati si Dipta, dari Sabang sampe Marauke pokoknya semua umpatan keluar.

Sesampainya di rumah dia ngeliat teman-temannya duduk di cakruk bawah pohon mangga yang cukup rindang, tempat kumpul kalo malam minggu.

Banyu menatap Hening yang jalan kearahnya dalam keadaan tubuh basah dan mulut terus mendumal.

Pasti ngumpatin anak jin itu, pikirnya.

"Belum selesai mandi?" Tanya Banyu lembut. Cuma dia yang sayang kali sama Hening. Begitulah anggapan gadis itu, menurutnya sang ibu gak sayang sebab sering marah-marah. Mana pernah bicara lembut gini.

"Belom, ibu datang-datang ngamuk." Kesal gadis itu yang di sambut tawa Banyu.

Lalu dia menatap teman-temannya Hening, "ada apa? Kenapa tidak pulang? Sudah maghrib, nanti telat ke langgar."

"Jangan ada yang bergerak!" Suara ibunya Hening mengurungkan niat Nur dan yang lain beranjak dari tempatnya.

Banyu menatap istrinya heran, "ada apa?"

"Tanya putrimu apa yang dia lakukan sama Aden."

Banyu menatap putrinya penuh tuntutan, gadis itu tanpa beban berkata, "dia mau perkosa Hening."

Mata Banyu membelalak mendengar itu, Dipta langsung menyela, "gak gitu pak! Dia bohong!" Tiba-tiba saraf Dipta berdenyut nyeri. Nggak pernah dia ngadepin manusia macam Hening ini.

Hening yang gak terima langsung berkata, "enak aja bilang aku bohong, tanya teman-temanku. Kamu mau perkosa aku di depan mereka."

Makin sakit kepala Dipta, demi Tuhan hari ini hari tersial dalam hidupnya.

Banyu menatap teman-temannya Hening terutama yang di panggil Yayuk karena dia yang paling tua di antara yang lain, jadi menurutnya si Yayuk inilah yang paling bijak dalam memberi penjelasan.

Gadis berusia dua puluh dua tahun itu tersenyum getir, "sebenarnya bukan seperti yang di katakan Hening, pak de."

Hening melotot karena merasa tersudut, harusnya Yayuk belain dia bukan sebaliknya. Cowok yang tengah melipat tangannya ke dada dengan angkuh ini bisa besar kepala karena di bela.

Banyu melarang putrinya bicara saat gadis cantik itu ingin menyela temannya.

Yayuk melanjutkan, "sebenarnya kami nggak tau apa yang terjadi di balik batu besar itu. Karena kami datang gitu dengar suara Hening menjerit, tau-taunya dia sama pemuda tampan ini sudah bergelut, awalnya Hening yang megang kendali habis itu keadaan berbalik. Nggak lama bu de datang." Jelasnya yang sempat menunjuk Dipta.

Pemuda setampan dewa menurut Yayuk dan Nur itu diam tak bergeming. Harusnya kan kasi senyum dan ucapan terima kasih, tapi ini nggak.

Banyu menarik napas lega karena dia dapat menyimpulkan penjelasan Yayuk tidak seperti apa yang putrinya katakan. Sedangkan Hening mendumal kesal tanpa suara sambil terus mengusap telinganya yang sakit akibat di jewer ibunya.

"Ya sudah kalian semua pulang, udah maghrib. Sebentar lagi harus ke langgar." Yayuk dan lainnya mengangguk patuh, nggak berani bantah abahnya Hening yang ucapannya emang di segani di desa ini.

Mereka harus menelan rasa penasaran terhadap Dipta. Nanti aja nanya sama Hening pas di langgar.

Nur merasa bahagia karena pemuda tampan itu bukan jin seperti dugaannya.

Begitu temannya bubar Hening pun masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang teramat kesal.

Ceritanya sakit hati sama sang ibu, janji gak mau menegur ibunya tapi pas udah siap mau ke langgar, tu gadis nyariin ibunya mau minta uang jajan dua ribu aja, buat beli telur gulungnya mas Joko yang enaknya sampe terkenal ke desa sebelah dan desa tetangga yang agak jauhan dari desanya.

Pokoknya kalo dah makan nagih.

"Bu." Panggil Hening dengan rengekkan khasnya.

"Bilang sama Joko, utang dulu. Ibu nggak ada uang!" Kesal Susi.

"Masa dua ribu ngutang! Malu lah! Kalo di liat mas Dimas gimana? Masa calon istri jajannya ngutang, malu-maluin buk." Kesal Hening.

Dipta yang berada di dalam kamar dapat mendengar obrolan ibu dan anak itu. Dia nggak nyangka kalo si Jenong punya gebetan, cewe bar-bar kayak gitu masak iya punya pacar?

Demi langit dan bumi Dipta nggak percaya.

"Kalo dia nganggap kamu calon istri pasti di bayarin," ucap Susi acuh. Dia masih kesal dengan putrinya ini, bisa-bisanya cucu juragan di ajak gelut.

Bukannya belain Dipta, tapi dia cukup paham karakter anaknya yang bar-bar ini. Pasti perkelahian itu, Hening yang mulai. Nggak mungkin nggak.

Tadinya dia mau merepet sepanjang jalan desa Suka Sari tapi suaminya melarang dengan mengatakan, Hening itu masih anak-anak, biarin aja toh aden nggak kenapa-napa.

Apa nggak kesal Susi?

Pekaranya suaminya itu terlalu sayang sama Hening. Masih aja nganggap anak-anak.

Anak-anak mana yang tau naksir orang sampe tiap pagi di do'ain dengan suara yang cukup besar?

Bahkan sampe minta orangtuanya bantu ngaminkan biar tu do'a langsung nembus pintu langit tanpa hambatan.

Gitu anak-anak?

Anak-anak yang bisa buat anak kalo Hening.

"Mas Dimas pasti mau bayarin, tapi aku malu buk! Nanti di pikir aku cewek matre." Terang Hening kepedean.

"Cuma dua ribu nggak akan di kira matre." Acuh Susi lagi.

"Hening ...." panggil Banyu yang duduk di teras rumah setelah sholat maghrib. Hening yang tadinya mau menimpali ucapan sang ibu langsung terfokus dengan suara lembut sang ayah.

"Yuhu ... Heni datang!!!" Seru Hening dengan suara riang. Udah pasti dapat uang kalo sama bapak mah.

Próximo capítulo