webnovel

22 Murka

"Apa!" Jefri terkejut dengan bola mata membulat sempurna.

Jefri tampak mematung dalam keterkejutannya. Bagaimana mungkin Wili berniat menikahi wanita yang pernah menjadi istrinya yang kasih ia cintai sampai saat ini juga.

"Kamu akan menikahi wanita tadi?" Jefri tampak mengulangi ucapan adiknya.

Wili mengangguk. Ia memang sudah yakin dengan niat dan pilihannya.

Jefri tampak beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mengelilingi sofa yang di atasnya tengah duduk seorang lelaki dengan wajahnya yang tampak tegang, Wili seolah tengah disidang oleh Jefri.

"Sejak kapan kalian menjalin hubungan?" tanya Jefri dengan tatapan nanarnya.

"Satu bulan," jawab Wili singkat.

"Baru satu bulan saja kamu berani berniat menikahi wanita itu, ha!" sergah Jefri dengan bola matanya yang masih saja menyorot tajam.

"Hubungan kami memang baru satu bulan, tapi aku telah mengenalnya saat ia masuk kuliah dahulu tiga tahun lalu," tegas Wili berusaha meyakinkan kakaknya.

"Tetap saja baru satu bulan! Kamu tidak pernah tahu kalau-" Jefri tampak menggantungkan ucapannya.

"Kalau apa?" tanya Wili mendongak terkekut.

"Kalau dia wanita murahan!" tegas Jefri dengan penuh penekanan.

"Dia wanita baik-baik, Mas!" Wili berusaha membela Jeni di hadapan kakaknya.

"Dari mana kamu tahu kalau dia wanita baik-baik? Kamu baru berhubungan dengan dia satu bulan sudah mengatakan dia wanita baik-baik? Lalu untuk apa uang lima ratus juta? Ingat baik-baik, Wili. Mamah tak akan pernah menyetujui hubungan kamu kalau Mamah tahu kamu akan membayar lima ratus juta pada wanita itu!"

Deretan pertanyaan dan ancaman dari Jefri serta merta membuat perasaan Wili semakin dibuat was-was.

"Tidak, Mas. Kan sudah aku jelaskan, aku tidak membayar Jeni, aku hanya ingin membantu Jeni membayar hutangnya," sanggah Wili dengan wajah memelasnya.

"Sama saja!" sergah Jefri dengan rahang yang terlihat mengeras karena menahan emosi.

"Itu adalah cara wanita murahan memoroti laki-laki bodoh seperti kamu!" sambungnya masih dengan raut wajah yang sama.

Wili menggelengkan kepalanya. Entah dengan cara apa lagi dia meyakinkan kakaknya bahwa apa yang dilihat kakaknya tidak sesuai dengan kenyataan.

"Jauhi wanita itu jika kamu masih ingin menjadi pewaris perusahaan!" tekan Jefri. Ia kemudian pergi meninggalkan Wili tanpa memberinya waktu lebih untuk membela diri.

Jefri yang angkuh tidak akan pernah membiarkan wanita yang ia cintai jatuh kepelukan siapa pun termasuk adiknya. Ia masih sangat mencintai Jeni dan akan kembali menikahinya, karena sampai saat ini Jefri masih tak bisa memberikan rasa cintanya pada sang istri di rumah.

Ia berjalan dengan bibir yang terlihat mengerut, tampak jelas jika amarah di dalam dada Jefri tengah meledak saat ia mengetahui kisah cinta adiknya dengan sanga mantan istri simpanan, Jeni.

Jefri kemudian masuk ke dalam mobilnya, kendaraan roda empat itu melaju dengan kencangnya menuju kantor. Ya, Jefri benar-benar harus ke kantor dahulu karena sebagai seorang CEO perusahaan yang diwariskan mendiang papahnya, tentu banyak sekali yang harus diurus Jefri saat jam kantor seperti ini.

Sementara Wili, ia masih duduk di sofa yang sama dengan kepala menunduk penuh rasa sedu.

"Bagaimana ini? Aku sudah berjanji pada Jeni akan menikah. Aku tidak akan mungkin meninggalkannya karena aku sangat mencintainya." Wili tampak berbicara sendiri. Raut wajahnya penuh keresahan dengan sebelah telapak tangan memijat pelipisnya yang terasa berat.

Ia berusaha beranjak dari sofa yang terasa panas itu, berjalan ke luar ruangan dengan lesu sampai akhirnya bertemu sang Mamah.

"Hei kamu masih ada di rumah?" tanya Sindi saat mendapati Wili yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia pikir anak keduanya itu telah pergi sehingga ia sedikit terkejut saat mendapati Wili baru saja keluar dari ruangan Jefri. Teriakan keras yang keluar dari mulut Jefri tadi tak bisa didengar Sindi karena ia tengah berada di dalam kamar mandi dan melakukan aktivitasnya membersihkan tubuh.

"Iya, Mah. Aku kembali pulang karena hari ini acara di cancel," jawab Wili beralasan. Sindi melihat anak lelakinya itu berjalan lesu melewati pandangannya kemudian meluruhkan tubuhnya si atas sofa ruang tengah dengan memandang figura besar yang menempel di dinding.

'Andai Papah masih ada, tentu saja keadaannya tidak akan seburuk ini. Papah selalu mendukung setiap langkah yang aku pilih, berbeda jauh dengan, Mas Jefri,' sesal Wili dalam hatinya saat gambar mendiang papahnya begitu jelas terlihat dan membuat pikirannya bernostalgia dengan masa-masa saat papahnya masih hidup.

Sindi yang melihat anak laki-lakinya itu murung, tentu saja ia tidak tinggal diam. Gegas ia pun duduk di dekat Wili kemudian mengusap kepalanya yang menyender di bahu sofa.

"Kamu kenapa, Wil? Kamu sakit?" tanya Sindi seraya meraba kening anak bungsunya itu memastikan jika suhu tubuh Wili dalam keadaan normal.

"Aku tidak sakit, Mah. Aku hanya sedang kecapean saja," jawab Wili kembali dengan alasannya. Tentu saja ia tak mungkin memberitahukan Sindi mengenai perseteruannya dengan Jefri. Sindi memiliki riwayat tekanan darah tinggi sehingga Wili tak bisa menambah beban berat pada pikiran mamahnya. Saat ini, Sindi adalah orang tua tunggal baginya. Ia harus memastikan kesehatan pada mamahnya dan jangan sampai beban berat menghampiri pikirannya.

"Jangan cape-cape, Wil. Kamu harus atur jadwal aktivitas kamu. Bukankah minggu depan kamu akan wisuda?" Sindi dengan suara lembutnya memberikan saran dan kembali bertanya. Ia sangat perhatian dengan anak bungsunya, tentu saja tak akan membuarkannya sakit atau pun kelelahan.

Wili mengangguk. "Iya, Mah."

"Apa kamu mau Mamah bikinmah minuman jahe susu? Supaya tubuh kamu kembali segar," tawar Sindi sambil terus mengusap-usap kening Wili dengan lembut.

"Tidak usah, Mah. Kalau mau, tentu aku akan membuatnya sendiri," cegah Wili saat Sindi hendak berdiri untuk membuatkan minum.

"Oke!" balas Sindi yang kembali duduk di dekat Wili.

"Oh iya, Wil. Bagaimana dengan kekasihmu itu? Apa kabarnya? Kenapa tak dibawa kembali ke rumah ini untuk saling mengenal dengan, Mamah. Mamah kan belum sempat berbincang apa pun waktu itu," celetuk Sindi bertanya, di tengah-tengah kegundahan Wili.

Mendengar pertanyaan mamahnya, seketika Wili tercengang dengan itu. Ia baru saja ingat kalau sempat membawa Jeni ke rumah ini dan memperkenalkannya pada Sindi.

"Oh iya, Mah. Nanti akan aku atur kembali jadwalnya ya," jawab Wili singkat. Saat kondisi yang semakin mengeruh seperti saat ini, apakah Wili masih berani membawa Jeni ke rumahnya dan melanjutkan niat itu?

"Mah, aku akan kembali pergi. Aku harus kembali ke kampus untuk acara wisudaku," pamit Wili seraya beranjak dari tempat duduknya. Kali ini ia tidak berbohong dengan alasannya. Ia memang harus ke kampus guna mengurus acara wisudanya minggu depan. Awalnya, sepulang dari rumah Jeni ia akan langsung ke kampus. Namun rencana tidak sesuai ekpektasi saat ia Jefri menyeretnya pulang dan ia tidak bisa berkutik.

Próximo capítulo