KYOTO, 20 DESEMBER
"Akhirnya kita menyelesaikan hal ini," tampak mereka turun secara berselingan dari tangga dan membawa barang jarahan mereka masing-masing.
"Uminoke!" Kachi langsung mendekat, meninggalkan Suga, dan mendekati Uminoke.
"Kakak, syukurlah, kakak baik-baik saja," Uminoke juga menatap senang.
"Baiklah, sepertinya kita melakukan hal yang bagus, semuanya," kata Line membuat mereka semua tersenyum senang juga. Mereka benar benar berhasil menjarah barang barang di perusahaan yang begitu besar itu.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Line?" Uminoke menatapnya.
Hal itu membuat Line terdiam sebentar, dia kemudian hanya tersenyum tipis hingga akhirnya menatap Roland yang juga ikut tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Dia yang menjawab pertanyaan Uminoke. "Sebenarnya, aku dan Line sudah memutuskan sesuatu dari awal. Setelah ini, kita harus pergi lagi, kita tak bisa terus-terusan di sini," kata Roland, seketika semuanya terdiam. Lalu Roland menambah, "Aku juga masih harus mencari seseorang..."
"Juga mungkin, buruan militer. Mereka tak akan menyerah memburu ku, dan jika militer buruk itu mengetahui aku di sini, kalian juga akan celaka," tambah Line.
Mereka perlahan mulai mengerti dan saling menatap. "Mungkin itu adalah pilihan yang baik," kata Nikol dengan senyum kecil pada Line yang juga menatapnya.
Lalu Line juga tersenyum kecil. "Tentu, tapi, jika kalian ingin ikut, ini baik-baik saja. Termasuk kau, Uminoke," Line menatap Uminoke yang terkejut.
"Aku..." dia mulai ragu lalu menoleh ke Kachi. "Kakak, bagaimana denganmu?"
Kachi tersenyum kecil meskipun sedih, dia memegang kedua bahu adiknya. "Umin, aku dari dulu sudah menganggapmu dewasa, dan waktunya kamu menentukan pilihanmu sendiri. Aku dan Suga akan tetap di sini. Jika kamu ingin ikut mereka dan kemudian ingin menemuiku, tinggal kemarilah lagi, aku akan selalu menunggumu, adikku yang paling manis," tatap Kachi.
"Tapi..." Uminoke masih ragu, dia lalu menatap Line dan Roland yang juga menatapnya.
"Kami juga tidak memaksa," kata Roland.
Tapi pandangan Uminoke terus saja menatap Line, dia mengingat semua yang dia lakukan bersama Line ketika menjarah. Semua kehidupan yang sudah dikatakan oleh Line dan juga dirinya.
"Line..." panggilnya, membuat Line terdiam.
"Maafkan aku..." kata Uminoke membuat Line kecewa. Tapi Uminoke menambah, "Kamu sangat baik, kamu juga selalu sabar menghadapiku yang selalu blak-blakan. Aku hanya minta maaf soal kesalahanku... dan aku akan ikut kalian," tambahnya.
Seketika Line tersenyum kecil. "Aku tahu kau akan mengatakan itu," tatapnya.
Hingga tak lama kemudian, mereka bersiap. Dian dan Ariya tampak mendekat pada Roland yang menyiapkan barang-barang di ranselnya.
"Senior," tatap mereka.
"Ah, aku bukan senior kalian, berhenti panggil itu," Roland menatap ramah.
"Apa maksudmu? Kamu akan selalu menjadi senior kami, dan juga semoga kamu menemukan wanita yang kau cintai itu," tatap Ariya.
Seketika Roland terdiam, tapi ia kembali tersenyum. "Yeah, jika aku sudah pergi, tetaplah jadi seorang tentara yang kuat dan melindungi mereka. Apa kalian mengerti? Terutama untukmu," Roland menatap Dian yang terdiam, lalu mereka berdua mengangguk dan menundukkan badan.
Sementara Uminoke memeluk Kachi untuk terakhir kali, dan di samping Kachi ada Suga. Suga menatap Uminoke dan seperti ingin mengatakan sesuatu. Dia bahkan merangkul lembut Kachi, itu seperti kode untuk Uminoke dan Uminoke memahami itu.
"Haha... aku tahu kalian pasti punya hubungan," tatapnya.
"Hehe... aku tidak berpikir kamu akan senang," Kachi menatap tak nyaman.
"Ini baik-baik saja... Dan juga, aku pasti akan bertemu kakak lagi," tatap Uminoke, lalu Kachi mengangguk.
Tak hanya itu, Line juga tengah menatap peta kertas yang ia bawa. Tapi tiba-tiba ada yang melemparkan pistol dan Line langsung sigap mengambilnya. Ternyata itu dari Nikol yang mendekat padanya bersama Barbara.
"Itu untukmu, Malaikat...." tatap Nikol, membuat Line tersenyum kecil. "Kalian pasti akan menjadi wanita kuat. Tidak, lebih kuat dari apa pun..." kata Line.
"Menjadi seseorang sepertimu pasti tidak mudah, Line..." tatap Barbara.
"Yeah, hanya bisa lari dari kenyataan. Aku perlahan juga belajar bagaimana caranya bisa mendapatkan banyak orang juga..."
"Tapi kau akan tetap dibenci di masa lalu," Nikol menyela membuat Line terdiam.
Hingga mereka bertiga sudah selesai bersiap, tapi Roland menyadari sesuatu bahwa Zahra tak ada dari tadi. "Di mana wanita centil itu?" ia bertanya pada Ariya.
"Tadi aku lihat dia di ruangan itu," tunjuk Ariya.
Lalu Roland meletakkan barang-barangnya dan berjalan ke ruangan itu. Rupanya benar, Zahra menatap ke jendela luar pada cahaya redup langit. Dia menyadari Roland datang, membuatnya melirik pelan dan menoleh. Dia tersenyum kecil, dan itu sangat tipis, bahkan berbeda dari sikap cerianya.
"Hei, aku akan pergi. Kau tidak ingin mengucapkan perpisahan?" Roland menatap dari jauh.
Lalu Zahra membalas dengan suara pelan, "Pergilah saja, hati-hati di jalan. Maaf aku tidak akan ikut, dan semoga kau menemukan wanitamu," kata Zahra, membuat Roland terdiam.
Dia mengerti perasaan Zahra, lalu dia menghela napas panjang. "Jaga sikapmu..." dia hanya berbalik, kemudian pergi, membuat Zahra terdiam mengepal tangan.
"Tunggu!" teriaknya, membuat Roland menoleh. Seketika Zahra memeluknya, membuat Roland terkejut.
Setelah mereka melakukan perpisahan. Line, Roland bahkan Uminoke melanjutkan perjalanan untuk pergi melarikan diri dari militer juga mencari sosok Imea yang dikatakan masih hidup.
--
"Huf... Haiz.... Astaga, kita sudah berjalan sangat jauh, kenapa tidak menemukan hal yang membuat kita berhenti, kumohon berhenti dulu," kata Uminoke yang mengeluh lelah sambil berjalan hampir terseret jauh di belakang mereka berdua.
Line menoleh dan berjalan mendekat. "Kau terlalu jauh, bisa saja mayat itu menerkam mu saat kita berdua lengah," kata Line, ia lalu melepas tas ransel yang ia bawa di punggung nya dan berlutut membelakangi Uminoke. "Baiklah, aku akan menggendong mu," tatap Line. "Eh.... Kau akan menggendong ku di punggung?" Uminoke menatap.
"Kenapa? Kau ingin aku gendong di dada saja?"
"Ah tidak tidak, Terima kasih," Uminoke lalu di gendong Line di punggung dan menyusul Roland yang menunggu di depan.
Line melemparkan tas nya pada Roland dan Roland menerimanya karena Roland harus membawa tas itu. Ia perlahan melihat pisau belati hitam itu dari samping ransel milik Line. "Kau membawa ini dan kau menyelipkan nya, kenapa aku terus saja melihatmu kadang menggunakan pisau dan belati? Dimana belati yang bisa berubah menjadi pedang?" tatap Roland.
"Belati itu adalah Pedang, bukankah aku sudah menjelaskan, itu sangat tajam dan bisa memanjang, sedikit informasi saja bahwa itu aku temukan pada kediaman saat aku tengah melarikan diri, dan itu sudah sangat lama. Aku juga jarang merawatnya, belati itu dulunya memang berbentuk pedang, tapi aku memodifikasi nya dengan tidak masuk akal, itu juga sebentar lagi akan patah jika terkena serangan lebih kuat dari benda lain nya, aku juga tak terlalu peduli dengan senjata seperti itu, yang penting aku bisa hidup di dunia seperti ini," balas Line.
"Kau benar benar memiliki pemikiran yang aneh..." Roland melirik datar.
Tapi tiba tiba mereka menjadi terhenti di sebuah tempat yang kembali terlihat sangat sepi dengan hanya memperlihatkan tempat yang hancur.
Anehnya sepi, dan yang mereka lihat sejauh bermil-mil hanyalah mayat orang yang terinfeksi. Mereka semua mati karena sesuatu.
"Kau yakin intel itu tidak curang? Bisa jadi mereka kemari membunuh para mayat ini," Roland bertanya.
"Menurutmu tempat ini sudah ditempati? Ada apa dengan semua mayat ini?" Line melihat luka di mayat.
"Tapi seseorang datang sebelum kita."
Lalu Roland melihat sesuatu dari pagar yang keluar dari jalan besar itu, ia mendekat kesana perlahan melewati pagar yang pendek karena telah hancur.
Tidak jauh dari sana, terdapat tangki air, lalu seorang wanita jangkung muncul. Dia memiliki rambut merah dan memegang pedang panjang di tangannya.
Awalnya dia terlihat sendirian di atas sana, tapi tiba tiba. "Grrrrr..." suara deru yang terinfeksi memecah kesunyian. Beberapa yang Terinfeksi telah melompat dari atap tangki dan menerkam wanita itu. Semua mayat ingin menyerang, tapi sudah terlambat.
Dia mengayunkan pedangnya dengan anggun dan mundur beberapa langkah seolah-olah dia telah meramalkan ke mana tujuan Infected. Dia menusuk mereka beberapa kali dalam sekejap mata.
Setelah pertarungan pedang yang mempesona, dia berhasil keluar dari Infected dengan utuh.
"Apa itu wanita?" Roland sangat kagum dari semak semak itu.
Tapi begitu kata itu keluar dari mulutnya, pedang berlumuran darah itu diarahkan ke Roland.
"Siapa ini?" pendekar pedang aneh itu berjalan ke arah nya. "Siapa di sana?"
Tapi Roland terdiam tak menjawab dan tidak keluar dari semak semak.
Ketika manusia terlihat di alam liar akhir-akhir ini, beberapa adalah sesama pengungsi, sementara yang lain adalah musuh.
Hal ini terutama berlaku ketika datang ke pengungsian aman, sumber daya berharga yang sangat diinginkan oleh semua penyintas. Yang kuat sangat ditakuti. Tidak ada yang tahu apakah wanita kuat ini bisa menghidupkan jenisnya sendiri dan tiba-tiba menyerang Roland.
"Manusia?" dia mendekat, dengan pedang di tangan, tampak benar-benar tenang dan tak kenal takut.
"Sial," Roland yang tiba tiba di arahkan pedang menjadi mencoba menarik belati yang ia bawa milik Line tadi dari sarung pedang nya dan seketika menangkis serangan pedang wanita itu dengan menahan nya memakai pedang tajam milik Line.
"Pedang...? Tunggu, bukan?!" Ekspresi terkejut melintasi wajah wanita itu saat dia perlahan meletakkan kembali pedang panjangnya. "Itu pedang suci kuat, dari mana kau mendapatkan nya. Itu bukan pedang biasa, tetapi katana tajam," tatap wanita itu dengan serius.
"Oh... Ini milik rekan ku, tunggu pedang? Kupikir ini belati...." Roland membalas dan juga bingung.
"Kamu sedang mencari persedian?" Pendekar pedang bertanya. "Aku telah membunuh semua yang Terinfeksi di dekat sini. Seharusnya aman untuk mengambil air sekarang," tambahnya.
"Kamu membunuh semua yang terinfeksi sendirian?" tatap Roland.
"Aku sudah menjaga tempat ini selama berhari-hari. Tampaknya pedangku bahkan lebih mematikan terhadap air terdekat yang terinfeksi."
"Terima kasih atas bantuanmu, aku Roland," Roland mengulur tangan.
"Hai, Roland," dia menyapa tetapi tidak menerima uluran tangan Roland seperti tidak tahu bahwa Roland tengah mengulur tangan. Hal tidak sopan itu membuat Roland tersinggung. "Kamu mengangkat hidung ke arah ku dan bahkan tidak mau berjabat tangan?"
"Oh, maaf," dia mengulurkan tangannya dan meraba-raba sekitar untuk menemukan tangan Roland yang terulur. "Aku tidak bisa melihat," tambahnya.
Roland terdiam dan memperhatikan bahwa tatapan mata Wanita itu tampak agak jauh.
"Kamu buta?! Tapi.... Tapi.... Tadi???" tatap Roland dengan terkejut.