webnovel

5. Kesedihan yang Tak Tertahan

Bel tanda masuk telah berbunyi. Para siswa-siswi berseragam rapi yang terdiri dari kemaja putih panjang, rok garis-garis berwarna biru, jas almamater polos berwarna biru dengan badge sekolah bertuliskan "SMA Global Karya", dan sebuah dasi pita berwarna biru pula, membuat mereka tampak eksklusif dan berkharisma. Seketika kelas menjadi penuh terisi. Purie yang berada di kelas dua belas A tersebut pun kini tampak lebih ceria dibandingkan saat kedua sahabatnya yaitu Liz dan Rei belum sampai di kelas. Purie duduk sebangku dengan Liz. Sementara Rei duduk dengan siswi lain yang bukan termasuk ke dalam gank nya. Oleh karena gank mereka memiliki jumlah ganjil, yakni tiga orang siswi cantik dan high class bernama Purie, Lizty, dan Reinatha.

Ketika baru saja tiba di tempat duduknya, Liz mendapati wajah kawan sebangkunya itu tertunduk murung. Liz pun menyentuh pundak Purie untuk memastikan.

"Ada apa denganmu? Apa ada hal yang membuatmu tidak nyaman pagi ini?" bisik Liz.

Purie menoleh dan menatap wajah imut teman sebangkunya tersebut seraya menganggukkan kepala.

"Ya, laki-laki gila itu berusaha menggodaku setiap hari." Purie mengutuk dengan ketus.

Liz dengan cepat melayangkan tatapan mautnya ke arah Leon. Ya, siapa lagi siswa yang nekat mengganggu Purie hampir setiap hari. Meski hampir semua murid di sana terutama murid laki-laki mengagumi sosok Purie yang cantik nan nyaris sempurna. Namun Leon merupakan penggemar Purie yang paling gila. Berapa kalipun Purie sempat mengancamnya, Leon masih saja beraksi untuk menggoda Purie pada kesempatan berikutnya.

"Ada apa?" sergah Rei ketika mendapati Liz yang duduk tepat di depannya itu, dengan tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke belakang.

"Laki-laki pecundang itu mulai mengganggu sahabat kita lagi," sahut Liz pelan.

Rei pun ikut melayangkan tatapan mautnya pada Leon. Ya, keduanya sama-sama tahu bahwa Leon amatlah terobsesi pada sosok sahabat mereka, yang tak lain adalah Purie.

"Apakah laki-laki itu akan kembali kumat, ketika luka memar di wajahnya sudah menghilang?" cetus Rei.

"Sepertinya begitu," sahut Liz.

"Hhh, kalau begitu, kita perlu memberi perhitungan lebih padanya. Sepertinya pukulanku tempo hari kurang hebat untuknya," timpal Rei.

Ya, atas dasar kesetiakawanan Liz dan Rei pada Purie, mereka tak segan-segan memberi peringatan terhadap siapapun yang berusaha untuk mengganggu sahabatnya tersebut. Lagipula Rei memiliki keahlian khusus dalam bidang seni bela diri. Di sekolah, ia adalah murid andalan dalam bidang seni bela diri taekwondo.

Rei acapkali menunjukkan kebolehannya pada siapa saja yang mencoba mengganggu dirinya maupun teman-temannya. Terlebih pada Leon, seorang siswa yang menjadi penggemar berat Purie dan tidak pernah menyerah untuk berusaha memiliki Purie. Sehingga dengan cara apa saja ia lakukan demi mewujudkan keinginannya tersebut. Meskipun pada akhirnya yang Leon dapatkan hanyalah kebencian dari Purie.

Ya, selain angkuh, congkak dan dingin. Purie juga sangat keras hatinya perihal asmara. Ia belum pernah sekalipun membuka hatinya untuk laki-laki manapun. Kendati dirinya sangat mudah disukai bahkan dicintai orang lain, namun Purie sendiri sulit jatuh cinta. Seakan ada hal yang mengunci hatinya hingga saat ini.

"Ya, kita harus terus mengulangi pukulan itu pada saat setiap kali ia mencoba mengulangi kesalahannya," sahut Liz.

Setelah beberapa saat murid-murid duduk dengan rapi dan tertib di tempat mereka masing-masing. Seorang guru dengan balutan kemeja hijau lengan panjang dilengkapi dasi hitam, dan celana hitam panjang itu berjalan memasuki kelas. Kumis tebal serta kacamata dengan frame berwarna emas itu menambah kesan wibawanya. Ia membawa satu buah tas jinjing berwarna hitam berisikan laptop, buku-buku serta perlengkapan mengajar yang lainnya.

"Selamat pagi, anak-anak!" seru Pak Bastian, guru mata pelajaran bahasa inggris yang cukup disegani di sekolah tersebut.

"Selamat pagi, Pak!" sahut seluruh murid di dalam kelas dengan serentak.

"Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, mari kita awali dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing," ujar Pak Bastian.

Seluruh siswa-siswi di dalam kelas pun mulai menundukkan kepala dan memejamkan mata untuk berdoa menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing.

"Berdoa selesai," pungkas Pak Bastian mengakhiri doa.

Seluruh murid di dalam kelas pun menyudahi doa dan mulai kembali memerhatikan Pak Bastian. Pelajaran bahasa inggris kali ini pun dimulai. Pak Bastian membuka laptop miliknya dan juga buku materi pelajaran bahasa inggris. Para siswa dan siswi menyimak dengan seksama segala materi yang disampaikan oleh Pak Bastian dengan sangat baik.

Menit demi menit berlalu, hingga tak terasa jadwal mengajar Pak Bastian di kelas tersebut sudah harus berakhir.

"Baiklah, waktu mengajar Bapak kali ini sudah selesai. Oh, ya, berhubung pertemuan kita pada waktu selanjutnya jatuh tepat pada tanggal dua puluh dua desember, yang mana kita semua ketahui bahwa hari tersebut merupakan hari ibu. Bapak akan memberikan tugas kepada kalian yang berkaitan dengan hari ibu. Bapak minta, kalian membuat sebuah puisi ataupun pidato mengenai kasih sayang seorang ibu, dengan menggunakan bahasa inggris. Bapak akan memberikan nilai A untuk karya-karya terbaik, sekaligus akan Bapak muat dalam majalah sekolah edisi bulan depan." papar Pak Bastian.

Seketika para siswa-siswi di dalam kelas memberikan reaksi beragam. Ada yang tampak gembira dan ada pula yang tampak keberatan. Bagi mereka yang memiliki ketertarikan di bidang sastra, sudah pasti menyukai puisi dan membuatnya bukanlah hal yang menyulitkan. Justeru sebaliknya, membuat puisi adalah sebuah kesenangan. Tak sedikit pula dari mereka yang memilih untuk membuat pidato. Sebab dengan berpidato membuat mereka tampak lebih berwibawa.

Di tengah riuh siswa-siswi di dalam kelas yang tengah berdiskusi satu sama lain mengenai tugas apa yang akan mereka ambil antara membuat puisi atau pidato. Purie tampak tertunduk lesu di tempatnya.

"Membuat puisi ataupun pidato yang akan kalian pilih, yang terpenting karya kalian adalah original! Bapak sangat mengecam tindakan plagiasi dalam bentuk apapun. Kerahkan semua kreativitas yang kalian miliki. Selamat siang!" pungkas Pak Bastian dengan tegas memperingati, sebelum akhirnya ia meninggalkan kelas.

"Selamat siang, Pak!" sahut para siswa-siswi di dalam kelas dengan serentak.

"Walaupun aku tidak memiliki bakat khusus dalam menulis, tetapi aku begitu menyukai puisi. Sepertinya aku akan membuat puisi saja. Aku akan memberi judul 'Dear My Sunshine Mom'. Pasti ibuku sangat gembira menerima persembahan dari putrinya yang cantik tetapi pemalas ini!" pungkas Liz dengan sumringah.

"Kalau aku, sepertinya lebih baik memilih membuat pidato saja. Entah mengapa puisi yang dominannya bersifat melankolis tidaklah cocok dengan kepribadianku yang gagah berani ini. Sementara berpidato akan membuatku semakin tampak berkharisma dan berwibawa seperti seorang Presiden. Begini...," timpal Rei sembari menirukan gaya seorang Presiden ketika berpidato.

Liz pun menertawakan tingkah sahabat satu gank nya tersebut. Ketika ia dan Rei begitu asyik mengobrol, Liz mulai menanyakan soal pilihan Purie, teman sebangkunya yang sejak tadi hanya terdiam membisu.

"Lalu, bagaimana denganmu, Purie? Bukankah kau memiliki ketertarikan di bidang sastra? Sepertinya kau akan membuatkan puisi yang indah untuk Mamimu," celetuk Liz sumringah, sebelum akhirnya reaksi Purie yang tercengang itu berhasil menyadarkan Liz bahwa ada yang salah dengan ucapannya barusan.

Purie menoleh ke arah Liz dan menatapnya lemah. Purie tidak berucap sepatah katapun, namun air mukanya dapat menjelaskan seluruh perasaan Purie saat ini.

"Purie, Liz tidak bermaksud untuk...," sergah Rei.

Sebelum Rei sempat menyelesaikan perkataannya untuk membela Liz. Purie tiba-tiba beranjak dari kursinya dan dengan cepat pergi ke luar kelas, meninggalkan kedua sahabatnya itu dengan raut sedih.

"Purie, maaf aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih," gumam Liz merasa bersalah.

Rei menepuk punggung Liz yang duduk di depannya itu.

"Ya, aku paham bahwa kau tidak bermaksud seperti itu. Namun terkadang kita bisa saja lupa bahwa Purie telah kehilangan sosok Maminya," ucap Rei berusaha menenangkan.

"Aku memang sangat bodoh dan ceroboh!" kutuk Liz pada diri sendiri sembari memukul-mukul keningnya sendiri.

"Sudahlah, kita hanya perlu menghampiri Purie untuk menghiburnya kembali. Lagipula, bukankah sejak awal Purie sudah merasa tidak nyaman gara-gara tingkah Leon? Karena itu pula mungkin selera Purie menjadi kacau hari ini," papar Rei.

***

Próximo capítulo