Minggu pagi buta aku sudah berada di dalam bus menuju semarang. Rencanaku akan menuju Pleburan, Semarang, tepatnya di Kafe Hans yang berada sebelah timur gedung Bank Indonesia. Kafe ini buka 24 jam dan selalu ramai, untuk itu pagi buta aku sudah berangkat dari Salatiga, berharap masih mendapat tempat. Meskipun jalanan Salatiga-Semarang tidak pernah sepi meskipun di hari lebur, aku beruntung karena udara pagi masih ramah menyapa. Meskipun tidak banyak memberi penghiburan hatiku yang sedang terhimpit perih, setidaknya sedikit memberi motivasi untuk tidak berhenti mencari harapan. Seperti para pedagang-pedagang yang terus mengais penghidupan tanpa menghiraukan hari libur, agar dapur tempat keluarga mereka berkumpul tidak runtuh. Seperti kepak sayap burung-burung kecil yang terus bertahan dalam pekatnya udara pabrik-pabrik serta knalpot yang mewarnai kota. Seperti suara jangkrik yang kadang masih terdengar di antara semak dan pohon kecil yang masih tersisa di antara serakan gedung-gedung penacakar langit. Seperti itulah hidup akan berusaha menghidupi diri. Aku tidak mau berpatah arang, kalah tegar dengan semua yang kusaksikan dan kudengar di sepanjang jalan.
Kemarin, 2 hari setelah pembicaraanku dengan Ken di sudut Aromia Coffe yang berakhir dengan perang dingin terutama dengan diriku sendiri, di sela-sela kekalutan aku mencoba memeras otakku untuk berpikir jernih. Pada akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan Rengganis. Aku ingin tahu, dan banyak yang ku ingin tahu tentang hubungan Rengganis dengan Ken. Sampai pada tahap seserius apa mereka? Apakah ada niat Rengganis meninggalkan suaminya untuk hidup bersama Ken. Iya. Sudah sejauh itu pikiranku tentang mereka. Sudah sepekat itu ketakutanku kehilangan Ken. Kebetulan sekali, Rengganis mau menemuiku dan memutuskan Kafe Hans sebagai tempatnya.
Aku mulai masuk ke kafe itu namun tidak langsung masuk, namun berdiri di dekat parkir kendaraan. Kuambil Hpku dan menelepon Rengganis.
"Aku sudah di depan Kafe Hans, mbak."
"Aku duduk di depan plank Hitam yang bertulis HAN'S KOPI."
"Baik. Aku kesitu."
Ini pertama kalinya aku akan bertemu langsung dengan Rengganis. Sebelumnya hanya melihat fisik dari foto-foto saja. Kupikir akan bertemu dengan perempuan cantik jelita, dengan kulit putih atau kuning langsat seperti layaknya perempuan-perempuan yang dikatakan cantik secara umum. Namun ketika aku semakin mendekat ke arahnya, cantik yang aku pikirkan jauh dari kenyataan. Kulitnya coklat agak gelap tapi bersih, bentuk wajahnya tidak bisa dikatakan oval tapi juga tidak terlalu bulat namun tulang pipinya cukup tinggi, bibirnya juga tidak tipis namun tampak sensual, matanya lebar namun tidak bulat dan cukup tajam memandang dan matanyalah yang menampakan dia memiliki karakter keras, rambutnya hitam begelombang sebahu dan cukup tebal. Penampakan wajahnya menunjukan bahwa secara standart dia bukan perempuan yang sangat cantik. Hanya saja, aku bisa merasakan bahwa dia perempuan menarik. Seperti memiliki magnet yang cukup kuat untuk membuat siapa saja mendekat, entah sebagai kawan maupun lawan juga sesuatu yang spesial. Dia cukup menyadari kalau aku sedang menatap dan mempelajarinya, namun hanya bergeming. Dia mengambil kotak rokok yang ada di samping cangkir kopi sambil mendekatkan asbak ke arahnya. Menyulut rokok di ujung bibirnya kemudian berbicara.
"Beginilah aku." Katanya sambil tersenyum. Dia memang menarik.
"Aku Sevana. Kekasih Ken" Aku beri penekanan yang cukup kuat pada kata Kekasih, kupikir untuk menunjukan bahwa kata itu tidak bisa diganggu siapapun. Namun, Rengganis hanya tersenyum ringan, bukan meremehkan.
"Aku tahu, Ken pernah cerita soal kamu." Dengan tenang dia berbicara sambil sesekali menikmati hisapan rokok di ujung bibirnya. Aku tidak mengerti, meskipun semenarik apapun perempuan ini, tapi di di kota kecil seperti kotaku, perempuan merokok bukanlah perempuan baik-baik. Kulihat, teman-teman perempuan Ken yang selama ini dekat dengannyapun tidak ada yang merokok. Apa karena perempuan ini penulis dan seniman yang cukup hebat. Apa karena dunianya sama dengan Ken, sehingga kekasihku itu telah memindah seluruh hatinya kepada perempuan ini.
"Mbak, sebenarnya aku mau bicara mewakili hati seorang wanita, tapi aku takut Ken marah dan juga aku tidak enak sama mbak Rengganis."
"Silahkan, tidak apa-apa." Kata Rengganis sambil mengambil sebatang rokok keduanya.
"Maaf ya, aku banyak merokok." Tambahnya.
"Tapi, sebelum aku meneruskan, maukah mbak Rengganis berjanji untuk tidak bilang sama Ken, bahwa kita bertemu hari ini?"
"Kenapa harus begitu?"
"Karena, hal seperti ini akan membuatnya marah. Karena jujur saja aku memang sedang mencemburui hal yang tidak perlu dicemburui." Kataku dengan masih memberi kesan keangkuhanku sebagai perempuan yang dalam hal ini adalah rivalnya. Namun Rengganis hanya menanggapi dengan senyum yang tidak bisa kutebak maknanya.
"Oh begitu, oke. Aku coba untuk tidak berkata apa-apa? Hanya apakah tujuanmu menemuiku jauh-jauh dari Salatiga? Apa hanya untuk curhat saja? Dan syukurlah jika itu bukan cemburu." Katanya sambil mengangkat kedua tangannya. Kali ini dia berkata agak panjang dan cukup menohok kesombonganku.
"Mbak, aku sudah jadi kekasihnya selama 8 tahun, meski hanya lewat kata." Aku berhenti sejenak, mengambil nafas dan mengambil ancang-ancang untuk menyusun kalimat berikutnya.
"Lalu?" Tanya Rengganis agak tidak sabar.
"Ya... Aku tidak tahu arti cinta menurut seniman seperti mbak. Mungkin beda menurut pemahaman orang awam sepertiku."
"Mungkin." Katanya sambil mengangkat kedua tangannya. "Bagiku cinta itu jiwa. Raga bisa kemana saja, jiwa tidak akan pernah terpisahkan oleh apapun. Jika itu cinta, semua akan tetap bersatu pada kedalaman rasa yang sulit dipahami bagi yang tidak mengalami cinta itu sendiri. Meski raga tidak bersama, cinta tetap saja mendamaikan pada satu keyakinan bahwa cinta tidak akan terpisahkan. Itu cinta menurutku, entah itu biasa menurutmu apa tidak, tapi ya begitu." Sama persis seperti apa yang sering dikatakan Ken padaku. Aku mulai mengerti mengapa Ken mencintainya.
"Aku jadi terharu.. Ingin nangis. Dan karena itu, hati kita jadi terbebas dari prasangka buruk yang ada." Kataku mencoba bijak. Namun Rengganis segera menyahut.
"Aku mencintai suamiku begitupun dia. Tapi, Bantar juga paham kalau aku juga mencintai orang lain. Pada suatu ketika cinta kami bertiga bertemu, tidak ada marah, tidak ada benci. Pada akhirnya cinta itu adalah sebuah pemahaman bahwa cinta itu menyatukan, bukan memisahkan. Kami saling berpelukan, indah bukan? Lalu mengapa mesti menyimpan sakit hati?"
Aku merasa mukaku tidak bisa menutupi ada semburat merah seperti ditampar berkali-kali. Saat aku mencoba bijak, rengganis malah memancing cemburuku keluar seperti lahar yang muntah dari dalam perut bumi. Namun, aku terus mencoba menekan amarahku dengan menekan jemari tangan satu ke jemari tangan lainnya. Aku tidak mau nampak bodoh di depan perempuan yang tanpa ampun ini.
"Maaf, apakah mbak mencintai Ken yang selama ini jadi kekasihku?" kembali kutekankan kata kekasiku itu untuk membalas menamparnya. Namun lagi-lagi Rengganis hanya bergeming. Sikapnya sangat tenang sekali seakan tidak melihat sama sekali kecamuk antara kepala dan hatiku.
"Iya." Jawabnya singkat sambil memandangku tajam menantang.
"Dan sebaliknya, apakah Ken juga mencintai anda? Dan apakah Ken setuju tentang rencana anda? Maaf kalau aku tidak sopan!" ucapku semakin tidak terkendali meski aku masih terus menekan amarahku.
"Rencana apa?" kata Rengganis tetap tenang.
"Membuat gen berkualitas dengan Ken! Untuk orang awam sepertiku ada hal-hal yang masih tidak aku mengerti. Kita sangat berbeda sekali, seniman dan orang awam. Dia memang baik, mungkin aku yang belum bisa memahami dirinya. Aku pasrah meskipun aku mencintainya. Sangat mencintainya."
"Pertama, soal Ken mencintaiku apa tidak, ada baiknya kamu tanyakan sendiri. Kedua, jika kau ingin dia jujur, terima semua pengakuannya tanpa rasa marah. Ketiga, soal rencana bayi itu tentu suamiku tahu, aku tidak pernah berselingkuh dan tidak ingin berselingkuh. Keempat, aku tidak mungkin bercinta dengan seseorang jika kami tidak saling mencintai, itu jelas. Sekarang silahkan simpulkan sendiri."
"Sungguh beruntung anda memiliki suami yang sangat mencintai dan memahami anda. Sampai hati dan mulutku tidak bisa berkata apa-apa." Sengaja aku memuji tentang suaminya yang secara halus aku mengingatkan tentang dia sudah menikah dan punya keluarga. Namun, jawabannya kemudian sungguh di luar dugaanku.
"Iya, aku beruntung mengenal dua lelaki itu. Bantar dan Ken."
Aku tidak percaya ada orang secadas ini. Dia tidak peduli jika sang lawan akan menilainya orang yang sangat egois. Lalu, apakah aku mengambil kesimpulan itu?! Kuraba pikiranku sendiri oleh pertanyaan itu. Tidak. Ternyata aku meragukan sendiri penilaianku tentang perempuan ini. Tidak ada satupun dari dua lelaki itu yang pernah dijelekan olehnya. Semua dipuji dan dipuja dengan caranya.
"Jujur mbak, kenapa ya aku hanya mencintai Ken dan tidak bisa mencintai orang lain meskipun orang itu lebih baik darinya. Padahal Ken sering sekali mengucapkan kata berpisah jika semua sudah mentok. Apakah aku layak disakiti? Seseorang yang benar-benar mencintainya. Aku harus bagaimana? Apakah sebenarnya dia tidak mencintaiku? " Akhirnya, tanpa kusadari aku mulai merasa kalah dengan menurunkan keangkuhanku dan membuat pengakuan betapa aku lemah di hadapan cintaku kepada Ken.
"Aku tidak tahu, Sevana. Soal kamu dan Ken aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Jiwa itu tidak bisa dipaksa. Bicaralah baik-baik pada dirimu sendiri juga dengannya."
Rengganis berhenti bicara sejenak dan menyeruput habis kopi di cangkirnya.
"Maaf, aku harus pamit. Ada keperluan."
Rengganis berdiri dan segera berlalu dari hadapanku tanpa menoleh lagi. Tidak peduli ramai pengunjung kafe di sekitarku, akupun membiarkan diriku mengguguk menangis sendiri, dan masih lama lagi aku duduk di depan meja itu tanpa bergeser. Aku baru bangkit berdiri saat mentari mulai lurus di ubun-ubun kepalaku. Pulang.
00o00
"Ken!" Kuketuk pintu kamar kostnya berkali-kali, namun belum ada respon. Apakah dia masih tidur. Ah! Tidak mungkin! Dia tidak biasa tidur sampai tidak mendengar apapun. Aku tahu dia memiliki kelebihan yang jarang dimiliki orang lain. Ketajaman pikiran maupu rasanya. Mampu melihat apa yang belum terjadi. Kembali pikiran melayang kepada niatan Rengganis ingin mempunyai anak dari Ken yang katanya untuk melahirkan gen berkualitas unggul. Apakah karena kelebihan ken yang satu ini?! Ah. Aku harus melupakan tentang itu dan mulai berpikir positif serta berjalan maju ke depan, toh juga belum ada tanda-tanda Ken pergi menemuinya lagi.
Aku mulai menyerah ketika beberapa kali ketukan ke pintu, namun tidak ada respon apapun dari dalam. Kalau saja pintu kamar samping tidak membuka, aku sudah berniat untuk kembali.
"Eh, hallo mas. Maaf, apa Ken tidak ada di kamarnya?"
"Oh Ken, dia tidak pamit mau kemana, tapi kemarin sore dia pergi dan sepertinya belum ada tanda-tanda dia kembali."
"Oh Begitu. Ya sudah mas. Terima kasih." Ucapku berpamitan dengan menganggukan kepala kemudian segera berlalu untuk kembali ke rumah.
Ketika kaki melangkah menyusuri lorong yang berada di tengah antara kamar-kamar kost khusus lelaki ini, aku tidak habis bertanya-tanya, kemana gerangan Ken menginap. Apakah dia mulai naik gunung lagi? Atau sedang begadang dengan komunitasnya. Mungkin begitu dan biasanya juga begitu, aku tidak perlu berpikir macam-macam.
Sewaktu keluar dari pintu rumah kost dan hendak menuju pintu pagar, secara kebetulan Ken telah berada di halaman dan sedang berdiri menatapku. Untuk beberapa saat kami hanya berdiri dan saling memandang, dan itu terjadi begitu saja. Seperti ada sesuatu dalam cara menatap Ken dan itu membuatku tidak mampu berkata apa-apa, hanya mencoba membaca situasi dari raut muka Ken yang mencoba menyimpan kegugupan. Instingku mulai bekerja. Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, Ken cepat berjalan ke arahku merangkul dan mengajakku berjalan ke arah pohon mangga yang berdiri di dekat pagar di mana di bawah pohon tersebut ada beberapa dudukan yang terbuat dari bambu dan biasanya digunakan penghuni kost untuk sekedar nongkrong.
"Maaf Ken, jika aku kesini tanpa mengabarimu dulu. Kupikir ingin memberi kejutan untuk mengajak sarapan sambil nongkrong." Kataku membuka pembicaraan setelah kami duduk berdampingan di bawah pohon mangga tersebut. Ken meletakan Helmnya yang tadi masih dipangkunya kemudian melepas jaket. Dengan tampilan seperti itu, biasanya dia habis melakukan perjalanan jauh, mungkin semalam ngecamp di gunung seperti yang sudah-sudah. Hanya saja, pandangan matanya ketika kami baru bertemu tadi sepertinya dia dari tempat lain. Rengganiskah? Kucoba tepiskan pikiran tentang itu, agar pertemuan kami kali ini tidak lagi rusak setelah sebelumnya aku bersusah payah memperbaikinya. Mencoba tidak membahas apapun tentang Rengganis dengannya lagi. Sesaat sebelum menjawab pertanyaanku Ken mencoba membalas tatapan mataku yang sedari tadi tidak mau lepas darinya.
"Aku dari kota tua"
Benar, seperti yang aku duga. Meskipun aku berusaha menepis kenyataan yang terus mampir dalam pikiranku, tetap saja itu tidak bisa dihindari. Kota tua merupakan tempat mereka bertemu pertama kali meskipun pertemuannya waktu itu, Rengganis didampingi Bantar suaminya. Ken tidak pernah ke kota tua juga tidak punya kerabat maupun teman di sana.
Aku menundukan kepala tanpa berusaha menanggapi atau bertanya lebih jauh lagi. Demi tidak mendengar apapun yang menyakitkan hati. Namun Ken bukan tipe yang mau berhenti sebelum ceritanya habis.
"Aku bertemu dengan Rengganis, dan melakukan apa yang pernah jadi rencana kami."
Tidak ada apapun yang bisa menggambarkan perasaanku saat mendengar kabar itu. Tidak ada. Apa yang harus aku lakukan?! Apa aku harus mengamuk memukulinya, berteriak dan menangis? Apa aku harus berlari darinya seperti yang kulakukan kemarin? Bukankah semua tidak ada artinya, toh hari ini terjadi juga sementara air mata dan apapun yang telah kulakukan sia-sia. Namun akhirnya air mata tetap saja mengalir dari sudut mataku, tanpa isak juga kata-kata.
"Maafkan aku, Sevana."