"Erlangga! Erlangga dimana?" Kembali suara seorang wanita membuat suasana IGD ricuh dengan banyaknya teriakan disana sini.
"Tante Batari," Fifin yang kebetulan melihat ibu dari pria yang diincarnya itu, langsung bergegas menghampiri wanita yang sedang panik itu.
"Nak Fifin, dimana Erlangga?" Bersama sang suami, Batari mendatangi rumah sakit setelah mendapat laporan dari seseorang yang melaporkan kondisi Erlangga.
"Mas Erl sedang mendapatkan tindakan medis. Om dan tante bisa menunggu disini dulu."
Kaki Batari lemas mendengar kabar anaknya mengalami kecelakaan. Wanita paruh baya itu tidak memiliki firasat apapun. Ketika berita lewat telpon datang, wanita itu sedang bersiap untuk menghadiri arisan dengan sesama teman jaman kuliahnya. Eko, sang suami, mengusap-usap punggung istrinya yang menangis sesenggukan sejak dari rumah.
Sementara itu di ruangan terpisah, Gendhis mendapatkan perawatan juga karena tubuhnya berdarah terkena pecahan kaca saat akan menyelamatkan Erlangga keluar dari mobilnya.
"Jangan terkena air dulu ya. Untung saja kacanya tidak dalam menusuk tapi tetap anda harus mendapatkan suntikan anti tetanus untuk mencegah demam." Gendhis mengatupkan bibirnya lirih mendengar ucapan perawat yang mengatakan kondisinya. Dalam pikiran Gendhis, dia hanya ingin melihat kondisi pria yang sengaja menabrakkan dirinya ke arah lain agar tidak menabrak dia yang sedang menyebrang jalan.
"Suster, apa aku bisa melihat dia?" Suster yang membersihkan luka Gendhis, tahu siapa yang dimaksud pasien didepannya ini.
"Sepertinya belum bisa, nona. Karena pasien mengalami luka cukup parah dan sedang ditangani oleh dokter." Jawab suster ramah tersebut.
"Hiks hiks, aku merasa bersalah." Gendhis, si perempuan pemberani dan galak, untuk pertama kalinya dia menangisi pria yang bukan keluarganya. Dia sempat melihat ekspresi Erlangga sebelum pria itu bergulingan dengan mobilnya diatas jalanan beraspal. Ekspresi yang mengatakan, "Kamu akan baik-baik saja." Membuat Gendhis tidak mampu berbuat apa-apa selain terdiam tidak bergerak dan juga tidak bisa berkata-kata.
"Aku yakin dia tidak akan menyalahkan nona. Tapi aku salut, diam au mengorbankan dirinya untuk tidak menabrak nona dengan mengorbankan dirinya sendiri." Jawab sang suster untuk menenangkan hati Gendhis.
"Huh, kamu benar-benar hebat bisa membuat mas Erl seperti itu."
"Dokter," Suster yang telah selesai membalut luka Gendhis, langsung pamit undur diri. Gendhis yang semula bersedih, langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi tidak suka dengan kalimat yang diucapkan perempuan yang berharap menjadi istri Erlangga itu. Gendhis menarik napas sejenak untuk mengatur emosinya agar tidak tumpah meluap.
"Bukan mau aku seperti ini. Aku juga tidak tahu kalau Erlangga akan mengalami musibah." Jawab Gendhis dengan mata menatap tajam perempuan yang tidak pernah menyukai kehadirannya itu.
"Kamu …"
"Nak Gendhis, apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu juga ada disini?" Batari yang ingin melihat anaknya, secara tidak sengaja bertemu dengan anak penjahit langganannya, Gendhis. Pakaian Gendhis yang memang masih terlihat noda darah itu sempat menyita perhatian Batari.
"Aku …"
"Mas Erl mengalami kecelakaan karena menghindari dia, tante." Jawab Fifin dengan tampang sinisnya.
"Erlangga kecelakaan karena menghindari kamu? Memangnya apa yang sebenarnya terjadi?" Batari semakin tidak mengerti. Semua informasi yang diterimanya hanya setengah-setengah sehingga dia tidak tahu kebenaran kejadiannya.
"Mam, ayo kita keluar dulu. Disini ruangan IGD, tidak enak banyak pasien lainnya." Eko menarik lembut bahu istrinya untuk menghindari ramainya ruangan yang dipenuhi dengan pasien lainnya. Batari pun menurut dan meninggalkan dua perempuan muda yang tanpa disadarinya, mereka berdua memiliki hubungan dengan Erlangga, anak mereka.
"Aku mendapatkan informasi yang akurat dari petugas lalu lintas di tempat kejadian. Ada pengemudi yang mabuk dari arah berseberangan dengan Erlangga. Kondisi lampu lalu lintas berwarna merah dan banyak orang yang menyeberang jalan, termasuk anak dari penjahit langganan mami itu. Dia berjalan paling belakang. Namun, tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil menghidupkan mesinnya dan berjalan begitu saja meski lampu masih merah. Kebetulan, anak kita berada di barisan paling depan. Kemungkinan dia melihat perempuan itu dan dia menjadikan dirinya tembok untuk menghalangi si pengemudi mabuk menabrak perempuan itu." Jawab Eko panjang lebar. "Untuk lebih jelasnya, kita tanya Erlangga nanti kalau dia sudah sadar." Lanjutnya lagi.
Batari terdiam mendengar penjelasan sang suami. Wanita itu menyandarkan punggungnya sambil menghela napas.
"Hahh, malang tak dapat dihindari, untung tak dapat diraih. Kalau sudah takdir, tidak ada yang bisa mencegah." Jawab Batari dengan tatapan mata sendunya.
"Anak kita baik-baik saja. Dia anak yang kuat. Kamu ingat kan? Dia pernah kecelakaan motor namun dia sehat bugar keesokan harinya." Jawab sang papi, berusaha menenangkan kegundahan hati istrinya.
"Pah, keberuntungan jarang datang dua kali. Dan lagipula, aku tidak mau mengingat kejadian mengerikan itu. Kamu belum lupa kan kalau Rangga juga terkena imbasnya dan dia yang lebih parah. Dia sampai mengalami patah tulang dan harus menjalani pengobatan hampir satu bulan." Jawab Batari dengan wajah kesalnya.
"Oh iya, papi lupa." Eko menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Senyum kecut diberikan Batari untuk sang suami karena melupakan anak kedua mereka disaat membanggakan anak pertamanya.
"Keluarga tuan Erlangga," Sebuah panggilan diberikan oleh salah seorang suster dan kedua orangtua Erlangga spontan berdiri dan berkata ya. "Silahkan masuk tapi cukup dua orang saja ya pak bu, tidak boleh banyak-banyak. Pasien masih harus banyak istirahat." Jawab perawat itu sambil tersenyum ramah.
"Baik sus," Batari dan Eko pun masuk ke ruang perawatan anaknya. Dibelakang mereka tidak begitu jauh jaraknya, Gendhis ingin sekali masuk melihat keadaan pria yang telah menyelamatkan hidup orang lain namun mengorbankan dirinya sendiri.
"Cih!" Fifin mendecih sinis dan meninggalkan Gendhis yang masih setia duduk di depan ruangan Erlangga.
"Erlangga, apa yang terasa sakit nak? Mami panggilkan dokter ya," Batari sangat pilu melihat penampilan anaknya dengan perban di leher dan tangan juga kakinya. Tubuhnya bertelanjang dada, dan hanya ditutupi selimut saja.
"Aku tidak apa-apa, mah pah, tenang saja. Aku pernah mengalami yang lebih parah dari ini." Jawab Erlangga sambil berusaha menebarkan senyum agar maminya tidak khawatir lagi.
"Itu baru anak papi." Eko mengacungkan dua jempol ke anak sulungnya.
"Pah, apaan sih?" Batari berkata sedikit keras.
"Mah pah, dimana Gendhis? Apa dia baik-baik saja?" Erlangga hanya sempat mengingat saat perempuan ketus itu menangis melihat dirinya mengalami kecelakaan. Dengan beraninya, perempuan itu membantu mengeluarkan Erlangga meskipun tangki bensin mobil bocor dan akan meledak. Disaat semua orang menyuruhnya pergi, Gendhis justru tetap mencari cara untuk mengeluarkan tubuh Erlangga yang terjepit dasbor.
"Dia ada di luar. Dari tadi mami lihat dia menangis terus." Jawab Batari dengan senyum ramahnya namun sedikit pilu.
"Mam, bisa tolong panggil dia untuk menemuiku sekarang?" Pinta Erlangga dengan suara lemah.