Ben melenguh pelan sambil perlahan membuka matanya. Tidak lama kemudian ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan menguap lebar. Aroma dupa di rumah Nini sudah mulai tercium dan suara ayam serta langkah kaki orang-orang yang berjalan di sekitar bale dauh menandakan waktu berdoa pagi akan segera dimulai.
Ia lantas segera duduk di tempat tidurnya sambil membersihkan kotoran yang ada di sudut matanya. Sambil menyeret langkahnya, Ben beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Sepuluh menit kemudian, Ben keluar dari kamar mandi dan segera berganti pakaian. Ia merapikan sebentar rambutnya lalu berjalan keluar dari kamarnya. Begitu tiba di depan bale dauh, ia menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Hei, jangan bengong seperti ayam mau dipotong. Cepat bantu, Mbok," seru Embok yang sedang berjalan sambil membawa tumpukan sesaji.
Ben langsung menghampiri Embok dan mengambil beberapa sesaji untuk ia bawa. "Kapan Mbok pulang?"
"Kemarin. Waktu kamu keluar sama teman-teman kamu," jawab Embok.
Ben bergumam pelan. Ia dan Embok kemudian berjalan ke pura kecil yang ada di area rumah peninggalan Nini. Setibanya di pura kecil tersebut, Ben meletakkan sesaji yang ia bawa di dekat patung Dewa.
Ia hendak menegakkan tubuhnya ketika Embok tiba-tiba saja menarik jambangnya. "Berani-beraninya kamu bolos lagi kemarin."
"Aduh, aduh, aduh," seru Ben sambil memegangi tangan Embok yang menarik jambangnya.
Melihat Ben yang misuh-misuh, Embok segera melepaskan tarikannya. Matanya membulat sambil menatap Ben. Ia lalu menjitak kening Ben. "Jangan bolos lagi sampai kelulusan."
"Hmmm," gumam Ben sambil mengusap-usap area di sekitar jambangnya yang masih terasa ngilu akibat tarikan tangan Embok.
Aji yang menghampiri mereka terkekeh melihat Ben yang mengusap-usap jambangnya. "Rasakan itu."
"Pasti Aji yang ngadu ke Mbok kalau aku bolos," ujar Ben.
"Bos kamu yang laporan," sahut Embok.
Ben berdecak pelan. "Awas aja, aku acak-acak nanti LAN-nya."
Aji menepuk-nepuk bahu Ben. "Sudah-sudah. Sekarang kita berdoa dulu supaya keluarga ini terus diberikan rahmat dan kesehatan. Sekalian berdoa supaya kamu bisa masuk universitas bagus untuk melanjutkan pendidikan kamu."
Embok segera bergabung bersama anak perempuannya, Lalita, yang baru berusia lima tahun. Ben mengikuti Embok dan duduk di sebelahnya. Lalita tiba-tiba beranjak dan langsung duduk di pangkuan Ben.
"Bli, nanti belikan aku permen. Permen yang kemarin dibuang sama Embok," bisik Lalita.
Ben tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Berapa?"
Lalita menunjukkan deretan kesepuluh jari tangannya.
"Sepuluh?" tanya Ben.
Gadis kecil itu tersenyum sambil memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal.
"Kalau kamu berani belikan permen lagi, jatah uang untuk beli lensa kontak Mbok potong," sela Embok yang duduk di sebelah Ben. Ia mendengar semua ucapan antara Ben dan Lalita.
Ben langsung cengar-cengir pada Embok. Setelah itu ia berbisik pada Lalita. "Kita beli coklat aja. Permen ngga boleh sama Mbok."
Lalita mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum pada Ben.
"Sekarang kita berdoa dulu," ujar Ben.
Lalita menuruti perkataan Ben dan segera memasang sikap berdoa. Gadis kecil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya dan menundukkan kepalanya. Sementara itu, Ben hanya menundukkan kepalanya sambil memegangi Lalita yang duduk di pangkuannya.
----
Ben turun dari bocengan motor Aji setelah mereka sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia kemudian berpamitan pada Aji. "Kamu yakin, pakai kacamata seperti itu ngga akan bikin masalah?" tanya Aji sambil memperhatikan Ben yang mengenakan kacamata hitam.
Ben langsung menggelengkan kepalanya. "Ngga akan ada masalah."
"Awas kamu, kalau sampai dipanggil ke ruang guru lagi," ujar Aji.
"Aji tenang aja, aku ngga bakal dipanggil ke ruang guru. Ya udah, aku masuk dulu," sahut Ben.
Aji menganggukkan kepalanya. Sementara Ben berjalan melewati gerbang sekolahnya dengan mengenakan seragam putih abu-abunya, Aji memperhatikannya sambil menghela nafas panjang. "Sepertinya saya harus belikan motor buat dia." Setelah melihat Ben sudah berbaur dengan teman-teman sebayanya, Aji segera menyalakan kembali mesin motornya dan meninggalkan gerbang sekolah Ben.
----
Begitu tiba di kelasnya, Ben langsung di teman-temannya. Mereka semua berseru ketika melihat Ben masuk ke dalam kelas dengan mengenakan kacamata hitamnya. Ia langsung menghampiri teman-temannya dan duduk di bangkunya yang berada di barisan paling belakang.
Sementara itu, wanita-wanita di kelasnya menatapnya sambil berbisik-bisik dan tertawa-tawa pelan. Devi juga tidak bisa melepaskan pandangannya dari Ben. Ia tersenyum sambil tersipu ketika Ben tanpa sadar menoleh ke arahnya.
"Semalam, sepanjang jalan pulang, si Devi ngedumel terus gara-gara kamu ngga mau nganterin dia pulang," ujar Bayu yang duduk di sebelahnya.
Ben berdecak pelan. "Lagian, ada lu yang searah, ngapain dia maunya nebeng sama gue?"
"Lu ngga tahu, apa pura-pura ngga tahu kalau dia suka sama lu?" tanya Bayu.
Ben tertawa pelan. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di meja tempat duduknya. "Kalau gurunya udah masuk, bangunin gue."
"Masih pagi udah mau tidur aja," sahut Bayu.
"Ngantuk," timpal Ben singkat. Tanpa melepaskan kacamatanya, Ben kembali memejamkan matanya.
Sementara Ben tertidur, Bayu dan teman-temannya yang lain tetap mengobrol di sekitarnya. Ben seakan tidak terganggu dengan obrolan teman-temannya yang sedang membicarakan salah satu model majalah dewasa dari majalah dewasa yang tidak sengaja ia temukan di gudang milik orang tuanya.
Tidak lama setelah Ben memejamkan matanya, bel sekolahnya berbunyi. Bayu yang duduk di sebelahnya langsung menepuk punggung Ben yang sedang tertidur. Ben langsung menegakkan tubuhnya sambil membenarkan posisi kacamata hitam yang sedang ia gunakan.
Ia bersandar pada kursi tempat duduknya sambil memperhatikan ke depan kelas. Seorang guru pria masuk ke dalam ruang kelas tersebut. Semua murid yang ada di kelas tersebut langsung mengeluarkan buku matematika dari dalam tas mereka. Tidak terkecuali Ben, dengan sedikit bermalas-malasan, ia mengeluarkan buku sekolahnya.
Guru yang baru saja masuk itu langsung memperhatikan kea rah Ben yang duduk di paling belakang. "Kamu! Ini sudah jam pelajaran. Kenapa masih pakai kacamata hitam? Lepas kacamatanya."
"Lagi sakit mata, Pak. Kalau saya buka, besok sekelas ini pakai kacamata hitam semua. Bapak mau?" jawab Ben.
Bayu yang duduk di sebelah Ben mengulum tawanya. Ia menyenggol lengan Ben.
Guru matematika itu memperhatikan Ben.
"Kata Dokter, mata saya ngga boleh kena debu dulu. Makanya saya pakai terus kacamatanya," lanjut Ben.
Guru itu pun akhirnya menghela napas panjang. "Ya sudah. Awas kamu kalau sampai ketiduran di balik kacamata itu."
"Saya ketiduran juga saya masih bisa ngikutin pelajaran Bapak," sahut ben.
Guru itu berdecak pelan menanggapi ucapan Ben. Nyatanya kenakalan yang dilakukan Ben tidak bisa menutupi kemampuan akademisnya yang juga cemerlang. Guru-guru pun akhirnya tidak ambil pusing dengan sikap Ben. Karena tidak jarang ia juga ikut mengharumkan nama sekolah tersebut di beberapa perlombaan.
Pelajaran pun dimulai, tidak lama setelah guru matematikanya mulai menjelaskan tentang Aljabar, Ben kembali menyandarkan kepalanya ke meja. Bayu yang duduk di sebelahnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Ben yang sepertinya sudah kembali tertidur.
****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Thank you for reading my work, hope you guys enjoy it. Share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^