webnovel

The Lost Child 6

Aji memandangi Ben yang kini berbaring di tempat tidur. Anak laki-laki itu terus saja bergumam dalam tidurnya. Keringat sebesar biji-biji jagung membasahi keningnya dan wajahnya terlihat sangat pucat.

Tabib sudah memberikan ramuan untuk meringankan sakit yang dirasakan oleh Ben. Panasnya yang semakin tinggi membuat Aji dan Embok harus bergantian menjaga Ben. Khawatir ia akan mengalami kejang jika ditinggal sendirian.

Berulang kali Aji mendesah pelan ketika menatap wajah Ben. Wajahnya mengingatkannya pada Ayu, Adik perempuannya.

"Bukankah dia mengingatkan kamu pada Ayu?" Tanya Nini seraya berjalan masuk ke dalam kamar Ben.

Aji langsung mengalihkan perhatiannya pada Nini. Ia tidak menjawab pertanyaan ibunya itu dan hanya mendesah pelan. Ia lalu berdiri dari tempat duduknya dan memberikan tempat duduk tersebut pada ibunya.

Nini segera duduk di kursi yang semula diduduki Aji. Ia mengusap-usap kening Ben sambil merapal doa. Setelah Ben terlihat tenang, Nini melepaskan tangannya. Ia menatap Ben yang sedang tidur.

"Ibu tidak mau dia memakai nama keluarga ayahnya. Jangan sampai nama pria itu melekat pada Ben," ujar Nini.

"Apa Ibu sudah menyiapkan nama baru untuk Ben?"

"Bagus Ekawira Nakshatra. Semoga kelak dia akan menjadi laki-laki pemberani yang bersinar seperti bintang," jawab Nini.

Aji berdecak pelan. "Sejak kapan Ibu menyiapkan nama itu?"

Nini menoleh pada Aji dan menatapnya lembut. Ia kemudian mengangkat bahunya. "Entahlah, nama itu sudah Ibu simpan sejak lama. Ibu tidak menyangka kalau nama itu akhirnya bisa digunakan untuk ini."

"Saya ngga yakin Ben mau mengganti namanya. Dia bilang sendiri itu nama peninggalan dari ibunya," sahut Aji.

"Justru kita ini peninggalan yang tersisa dari ibunya," timpal Nini. "Anak yang malang. Sejak pertama melihatnya, Ibu merasa seperti Ayu pulang ke rumah."

Aji terdiam dan tidak menanggapi ucapan ibunya. Alih-alih menanggapinya, ia duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikan tangan Ben yang terdapat luka lecet. "Dia berjanji tidak akan tertidur pada saat doa pagi lagi. Kita lihat saja, apa dia bisa memenuhi janjinya."

----

Ben melirik jam dinding yang ada di tembok warnet yang sedang ia jaga. Jam itu menunjukkan pukul dua siang. "Wah, jamnya Aji pulang dari sekolah. Gue harus ngumpet."

"Gus, sini Gus." Ben memanggil seorang anak laki-laki yang sedang berjalan di antara kubikel warung internet tempatnya mencari tambahan uang jajan.

Anak laki-laki yang dipanggil oleh Ben itu kemudian menghampiri Ben. "Apa, Bli?"

"Jagain di sini sebentar. Bebas pake internet kalo duduk di sini," jawab Ben pada anak lelaki itu.

Anak lelaki itu tentu saja tidak menolak tawaran menggunakan internet gratis. "Cuma duduk aja, kan?"

"Kalau ada yang selesai, jangan lupa liat berapa yang harus dibayar." Ben kemudian menunjukkan cara untuk melihat tagihan penggunaan dari para pengguna internet di warung internet yang dia jaga. "Ngerti, kan?"

Anak lelaki itu menganggukkan kepalanya. "Gampang itu, sih."

"Ya udah. Duduk sini." Ben segera beranjak dari tempat duduknya dan membiarkan anak lelaki yang baru saja ia ajari untuk menggantikannya.

Ia baru melangkah sedikit dari meja penjaga warnet ketika ia mendengar suara deru motor yang sangat ia kenal. Ia pun segera mempercepat langkahnya.

"Ekawira!" teriak Aji.

Ben yang sudah mencapai pintu menuju belakang warung internet langsung menghentikan langkahnya. Ia kemudian menoleh pada Aji yang sudah berdiri di bibir pintu warnet yang ia jaga. "Hai, Aji," sapa Ben sambil cengar-cengir pada Aji.

Aji berdecak pelan melihat Ben yang cengar-cengir padanya. Ia kemudian berjalan mendekati Ben yang berdiri di dekat pintu belakang. Ben menatap Aji dengat takut-takut ketika pria paruh baya itu menatapnya. Sedetik kemudian, Aji menjewer telinga Ben.

"Mau sampai kapan kamu bolos sekolah? Hah?!" seru Aji.

Ben meringis menahan sakit di telinganya akibat jeweran Aji. "Cuma sehari doang."

"Biar sehari namanya tetap bolos. Mentang-mentang Embok ngga ada, kamu berani bolos," sahut Aji. Pria itu lalu menarik Ben keluar dari warnet tersebut sambil tetap menjewer telinganya.

"Titip, ya. Jangan lupa yang tadi gue kasih tahu!" seru Ben pada anak laki-laki yang ia mintai tolong untuk menggantikan dirinya.

Begitu tiba di sebelah motornya, Aji langsung melepaskan telinga Ben. "Kamu yang bawa."

Sambil memanyunkan bibirnya, Ben naik ke atas motor Aji.

"Awas kamu kalau berani ngebut," ujar Aji sembari naik ke atas motornya.

"Hmmm," gumam Ben menyahuti ucapan Aji. Ia kemudian terkekeh ketika Aji sudah duduk di belakangnya. Setelah memastikan Aji sudah duduk dengan benar. Ia langsung memutar gas dengan cukup kencang hingga membuat motor itu sedikit terlonjak.

Aji langsung mencubit perut Ben. "Mau uang jajan kamu dipotong?"

"Hehe, ngga," jawab Ben. Ia kemudian mengurangi kecepatan motor tersebut. "Segini udah?"

"Udah, yang penting jangan ngebut-ngebut," sahut Aji.

Ben tertawa pelan sambil mengendarai motor milik Aji. Ia kemudian terdiam sambil menatap jalanan yang ada di depannya. "Kita langsung ke rumah?"

"Emangnya kamu mau mampir ke mana lagi?" sahut Aji

Ben tertawa pelan mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Aji. Ia kemudian mengarahkan motor milik Aji menuju rumah Nini.

----

Ben merintih di dalam tidurnya. Ia merasa seluruh badannya terasa sakit tiap kali ia menggerakkan tubuhnya meski itu hanya gerakan kecil seperti menelengkan kepalanya. Matanya perlahan membuka. Untuk pertama kalinya ia menghela napas lega ketika menyadari dirinya berada di kamarnya di Bale dauh yang ada di rumah Nini.

"Ben? Masih sakit?" tanya Embok yang sedang menjaga Ben.

Ben langsung menoleh pada Embok. Tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca melihat Embok yang ada di sebelah tempat tidurnya. Embok membuatnya teringat pada ibunya.

"Loh, kenapa menangis?" Embok mendekat pada Ben dan memeluknya.

"Mom. I miss my mom," jawab Ben di sela-sela tangisnya. "It's feels hurt, Mbok."

Embok segera melepaskan pelukannya. "Where?"

Ben menatap Embok sambil menunjuk ke dadanya. "Here."

Embok menghela napas panjang. Anak laki-laki kakaknya ternyata baru merasakan sakitnya kehilangan seorang Ibu. Ben yang sejak awal kedatangannya terlihat begitu mandiri di umurnya yang masih tujuh tahun ternyata baru bisa merasakan duka setelah kematian ibunya.

"She's not leaving you, Ben. She's watching you from heaven," ujar Embok. Ia kemudian menyentuh tangan Ben yang sedang memegang dadanya sendiri. "And, she's still in your heart."

"But I miss her," timpal Ben.

Embok tersenyum simpul pada Ben. "Me too. But we have to let her go. It helps her to reach Moksha."

"What is Moksha?" tanya Ben.

"When she united with Sang Hyang Widhi. She reaches Moksha," jawab Embok.

"Did she'll be happy about that?"

"Of course, that's the reason for our lives. You have to be good, so you can reach Moksha."

"I wanna pray for her," ujar Ben.

Embok tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Tomorrow, don't be late for morning prayer. I'll tell Aji that you want to send a prayer for your mother."

Ben mengangguk pelan. Tiba-tiba saja perutnya berbunyi. Ia memegangi perutnya sambil menelan ludahnya.

"You must be hungry, right?" tanya Embok.

Ben mengangguk malu-malu.

"Sit, and wait. I'll get you some food," ujar Embok. Wanita yang sekilas mirip dengan ibunya itu lalu berjalan keluar dari kamar Ben untuk mengambil makanan.

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

Thank you for reading my work, hope you guys enjoy it. Share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

pearl_amethyscreators' thoughts
Próximo capítulo