Satu
Dua
Tiga
Pintu kamar terbuka dan benar saja satu mayat hidup berpakaian kaus salah satu band legendaris dengan muka yang hancur dan menampakkan tengkoraknya menyerangku. Refleks aku membanting diri ke kanan membuat mayat itu terjatuh membentur lantai. Belum sempat aku mengunci mayat itu di dalam kamar, dia menarik sebelah kakiku membuat tubuhku terjatuh dan pisau terlepas dari genggaman. Aku berusaha melepaskan diri sekuat tenaga hingga sebelah tangan yang menarik kakiku terlepas dari tubuh mayat hidup. Cepat-cepat kuraih pisau yang berada di sisi kiri ketika mayat itu ingin menggapai kakiku lagi dengan tangan lainnya.
Kutancapkan pisau tepat mengenai ubun-ubunnya, membuat tubuh busuk itu mati seketika. Butuh beberapa saat hingga napasku bisa normal kembali, namun tidak dengan lambungku. Makanan yang seharusnya sudah mencapai usus halus terpaksa keluar begitu saja di lantai melihat tangan yang terlepas di tubuh mayat. Selain itu bau busuk yang menguar di rumah lembab ini menambah rasa mual yang menjadi-jadi.
Tubuhku sungguh terasa lemas. Bahkan untuk meraih isi ransel pun rasanya tak kuat lagi. Kedua mataku berkunang-kunang memandang atap langit-langit rumah yang berlubang. Suara mayat hidup di luar rumah ini tak terdengar lagi, mungkin mereka mendapat umpan lain, aku tidak tahu. Aku berusaha berguling ke sisi kiri dan meraih pagar lantai dua yang sudah berkarat untuk mencoba menahan beban tubuh. Kulihat lantai bawah dari tempatku berdiri sekarang, di sana justru lebih parah. Semua perabotan sangat berantakan, aku yakin rumah ini adalah rumah bekas perampokan.
Dengan sempoyongan, aku menuruni satu demi satu anak tangga yang licin karena air hujan dengan beberapa lumut yang tumbuh. Samar-samar aku mendengar suara dari arah dapur. Aku berhenti sejenak menajamkan telinga, itu bukan suara geraman, tapi mirip suara gesekan kayu. Langkahku mengendap-endap menuju arah dapur yang bersebrangan dengan anak tangga. Suara itu menghilang berganti dengan suara tetesan air yang keluar dari keran wastafel dapur dengan perabotan yang sangat kotor.
Aku melihat ada sebuah lemari besar berwarna cokelat yang dihiasi beberapa cakaran. Suara gesekan itu kembali muncul. Mungkinkah itu tikus? Aku tidak tahu. Bahkan jika di dalamnya manusia takkan mungkin ada yang bertahan dengan mayat hidup yang tadi berdiam di rumah ini. Atau takkan mungkin jika itu manusia, dia akan bertahan selama bencana ini berlangsung tanpa makanan. Mungkin ini tindakan bodoh, tapi jika aku tidak membuka isi lemari itu, aku takkan pernah tahu apakah di dalamnya hewan atau mayat hidup.
Sambil memasang kuda-kuda, tangan kiriku membuka pintu lemari besar itu. Bola mataku melebar melihat seorang gadis yang terkulai lemas di dalamnya. Sejenak aku mundur untuk memastikan dia bukan mayat hidup dan mengacungkan pisauku. Namun, dia menoleh dengan tatapan sayu dan bibir yang begitu kering.
"To...long...." suaranya begitu lirih dan serak.
Dia bukan mayat, San! suara batinku berteriak untuk mendorongku menolong gadis itu.
"Oke, setidaknya saat ini bukan mayat," gumamku lalu berlutut untuk mengeluarkan isi ranselku.
Kuberikan sebotol air mineral kepadanya. Dia meneguk dengan cepat seperti manusia yang sudah lama tidak bertemu air. Kuberikan lagi botol kedua, dia masih meneguk dengan cepat. Botol ketiga barulah dia menatapku sejenak dengan mata sayunya.
"Bagaimana lo bisa masuk ke sini?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Aku datang dari lantai dua, tanggamu di luar sangat membantuku," jawabku. "Di luar, Jakarta benar-benar kacau."
"Apa lo bertemu dengan Abang gue?"
Aku terdiam sejenak mencerna pertanyaan gadis itu lalu paham siapa yang dimaksudnya.
"Dia mati."
"Tapi dia hidup."
"Tapi sekarang mati, aku telah membunuhnya," kataku membuat raut wajah gadis itu berubah.
#####
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam di ruang tamu milik gadis yang bernama Rianita. Dengan berbekal lilin kami duduk di tengah-tengah ruangan itu sambil memeluk kedua lutut. Rianita sudah terlihat lebih segar setelah dia makan beberapa bungkus roti persediaanku. Kini gadis itu menatapku dengan wajahnya yang terlihat masih syok setelah melihat tubuh kakaknya tergeletak di lantai atas. Dia juga terkejut dengan apa yang kuceritakan bagaimana keadaan luar yang sudah menggila dan bagaimana caraku membunuh para mayat hidup itu.
"Apa dunia sudah berakhir?" tanya Rianita dengan setengah berbisik. Dia masih takut suara keras akan mengundang mayat hidup datang ke rumahnya.
Kuangkat kedua bahuku menatap api lilin yang bergoyang. "Aku lebih suka ini hanya sebuah mimpi daripada dunia yang kamu sebutkan."
Dia semakin mengeratkan pelukan di kedua lutut kurusnya. Aku bisa mendengar dia terisak namun tidak ada air mata yang keluar. Jika seperti ini aku merasa kasihan dan berpikir bahwa bisa jadi dia tidak bisa bertahan di luar sana.
"Apa yang terjadi di rumahmu ini?" tanyaku memecah keheningan.
"Dua minggu lalu, rumah ini dirampok. Bokap dan Nyokap diculik beberapa orang tak dikenal, Abang menyuruh gue untuk bersembunyi di lemari itu. Gue inget kalau gue mendengar suara tembakan dan...."
Rianita tidak melanjutkan kalimatnya, bahunya terguncang dengan isak tangis yang ditahan. Aku berdiri lalu duduk disampingnya. Sebagai sesama perempuan yang sebaya, aku tahu bagaimana perasaan Rianita. Tapi, waktu sudah tidak dapat diputar kembali. Yang ada kita harus bertahan hingga akhir dari bencana ini, entah sampai kapan.
"Apa kau pernah mendengar zona hijau?" tanyaku padanya.
Rianita mengangguk seraya mengusap kedua pipinya yang tak basah. "Zona di mana nggak ada bencana ini, kan?"
Aku mengangguk setuju. "Kita akan ke sana, bisa jadi orang tuamu berada di sana saat pemerintah mengevakuasi warga."
"Mereka jelas bukan pemerintah, San. Mereka lebih mirip perompak yang nggak tahu cara memperlakukan manusia. Bokap dan Nyokap gue dipukul dan ditendang seperti binatang," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. "Lagipula, nggak semua warga bisa dievakuasi mengingat zona hijau punya batas, San. Apa lo nggak tahu kalau semua yang berdarah O bisa masuk dengan leluasa?"
Alisku bertaut, lelucon apalagi ini? Darah O? Bahkan mayat hidup pun tidak bisa memilah mana golongan darah manusia untuk bertahan hidup, tapi mengapa manusia yang waras justru melakukan seleksi alam yang tidak masuk akal.
"Kenapa?"
Kedua mata Rianita menyipit. "Itu berita muncul saat aksi demontrasi kebocoran pabrik. Lo nggak tahu?"
Aku mendecak. "Aku salah satu pendemo itu, tentu saja aku tidak tahu."
Rianita mengangguk paham. "Beritanya masih simpang siur, gue dengar bahwa pemerintah melakukan aksi pemerasaan pada mereka yang bergolongan darah O."
"Untuk apa mereka melakukan itu?"
Rianita mengedikkan kedua bahunya. "Gue nggak tahu, tapi yang jelas kita harus ke sana mencari kebenaran ini."
####
Kami berdua memilih melakukan perjalanan di pagi buta, tepatnya pukul tiga pagi. Kali ini aku sudah mendapat sepasang sepatu kats bermerek mahal milik Rianita. Kamar yang kugeledah kemarin, ternyata kamarnya. Aku sampai harus meminta maaf karena mengambil beberapa kaus dan bra tanpa ijin. Gadis itu tidak terlalu mempermasalahkan justru dia berterima kasih kepadaku telah menyelamatkan hidupnya.
Sebelum berangkat, aku menemukan sebuah busur panah. Rianita berkata bahwa itu milik kakaknya. Aku meminta ijin untuk membawa busur itu. Rianita setuju bahwa kami harus bertahan hidup hingga sampai di zona hijau dengan selamat. Gadis itu membawa dua pisau yang melingkar di pinggang rampingnya. Penampilannya lebih mirip seperti Lara Croft daripada diriku yang hanya mengenakan kaus bergambar spongebob.
"Darimana kamu mendapat semua benda ini?" tanyaku begitu takjub dengan benda mahal yang dimilikinya.
"Gue penggemar berat film Tomb Rider," ucapnya sambil terkekeh dan menguncir rambut lurunya tinggi-tinggi. "Bokap gue yang beliin pas ultah gue tahun lalu."
Dia meraih ponsel yang tergeletak di bawah kasur dengan layar yang retak. Benda berwarna silver itu tidak hidup sama sekali membuat si empunya mendecak kesal.
"Semua alat komunikasi mati," sahutku membuat Rianita menoleh dengan membuka mulutnya terkejut.
"Sejak kapan?"
Aku menggeleng tidak tahu. "Lupa."
Kami pun akhirnya keluar dari rumah itu dengan melihat sekeliling. Sesekali kami berlari kecil untuk berlindung di balik mobil atau tembok, persis yang kulakukan sebelumnya. Aku membaca papan jalan yang menunjukkan kami berada di jalan Raya Pondok Gede dengan deretan rumah-rumah yang nasibnya sama dengan rumah Rianita. Mobil, sepeda motor, dan fasilitas lain nampak berserakan seakan tidak berharga lagi. Kota ini telah menjadi kota yang benar-benar mati. Sudah tidak ada kehidupan lagi setelah aksi demo dan virus itu. Orang-orang juga tidak terlihat kecuali mereka yang mati dan hidup kembali. Mayat yang tidak berakal dengan nafsu seperti binatang.
Udara dingin menusuk kulitku walau telah mengenakan jaket hoodie milik Rianita. Tiba-tiba aku mendengar suara gerombolan orang sebelum kami belok ke arah jalan Pengairan. Kutarik tubuh Rianita untuk bersembunyi di dalam sebuah angkot tak terurus. Kami merunduk rendah sambil berdoa agar tidak tertangkap oleh suara itu.
"Bang, Gue udah nyari warga yang selamat nggak ada, Bang," ucap seseorang dengan nada bass. Sungguh kemungkinan posisi orang itu tidak jauh dari angkot tempat kami sembunyi. "Semua mati kayak bangkai."
"Bawa mayat hidup pun percuma, Jang," keluh seorang lainnya. "Nggak semua orang bisa bertahan di masa sekarang. Lagian mereka ngapain sih nyari warga lagi? Toh, di zona hijau juga banyak yang bisa jadi percobaan."
Aku dan Rianita saling menatap dengan sejuta pertanyaan, apa mereka salah satu orang-orang yang dimaksudkan Rianita? Percobaan macam apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa pemerintah begitu mudahnya membuat keputusan atas hidup kami sebagai rakyat?
"Udahlah, kita nyari di tempat lain. Kita silang daerah ini, Jang," perintah lelaki lain kepada temannya.
Lalu terdengar suara mesin mobil dihidupkan, aku mencoba mengintip dari jendela angkot ini sambil menahan napas. Samar-samar aku merasa pernah tahu mobil itu namun entah mengapa rasanya aku tidak bisa mengingatnya. Manik mataku menangkap huruf dan nomor yang tertera di pelat mobil bercat merah itu.
Mobil merah dengan goresan.... pelat B 1200 KV....
Mobil itu menjauh hingga suaranya hilang, aku dan Rianita bangkit dari posisi kami tadi. Rianita memandangku dan berkata,
"Itu mobil yang membawa Bokap dan Nyokap gue, San," ucapnya dengan lirih namun tegas dengan pandangan penuh amarah.