webnovel

Masih Mencari

Seperti dulu, Pak Ferdi pernah mengalami saat masih memegang perusahaan orang tuanya. Ia diajak pesta dan karaokean di sebuah bar ternama. Mereka semua mabuk-mabukan kecuali seorang kawan baiknya.

Menyadari ada diantara mereka yang tak menenggak minuman keras itu sedikitpun. Pak Ferdi segera menelepon supirnya untuk masuk ke ruangan karaoke.

Tak lama kemudian supir Pak Ferdi saat itu yang bernama Pak Dodi masuk ke ruangan. Ia hendak membawa majikannya yang tengah mabuk berat untuk pulang. Namun, seperti dugaannya teman-temannya melarangnya.

Salah satu teman yang tak mabuk itu mengeluarkan sebuah berkas kosong. Tentu saja tujuannya untuk ditanda tangani. Pak Ferdi yang sudah teler hampir saja ma.

"Okay, Fer. Boleh kau pulang asal tanda tangani dulu surat ini." Teman itu menegaskan keinginannya.

Pak Ferdi tertawa renyah, mereka pikir dirinya bisa ditipu dengan cara seperti itu.

"Surat apa itu?" tanya Pak Ferdi berbasa-basi.

Dorongan dalam perutnya untuk mengeluarkan semua isinya sudah tak tertahankan lagi. Ia sengaja mengambil kertas kosong itu.

"Pak!" seru Pak Dodi khawatir.

"Diam, kau, Supir!" bentak teman Pak ferdi yang tak mabuk itu.

Pada keadaan setengah sadar ketika mendengar supirnya dibentak. Pak Ferdi semakin meyadari ada yang tak beres dengan kawan-kawannya. Bisa dipastikan mereka bersekonkol.

Dorongan mual dari perut Pak Ferdi semakin menjadi sampai akhirnya ia sengaja memuntahkan isinya di atas kertas kosong itu. Pak Dodi tersenyum, ia membuang kertas itu dan segera membawa majikannya pulang.

Pak Dodi membawa majikannya memasuki mobil. Ia tahu kebiasaan buruk ini bukan kebiasaan bos-nya, kalau saja mereka tak memaksanya.

"Terima kasih, Dod. Kau datang di saat yang tepat," racau Pak Ferdi yang saat itu setengah sadar.

"Sudah kewajiban saya, Pak," ujar Pak Dodi menimpali.

Mobil melaju di jalanan sepi tengah malam. Sampai di rumah suasana telah sepi. Kedua orang tua dan adik-adik Ferdi sudah tidur.

Pak Ferdi tersadar dari lamunan masa lalunya. Ia ingin memastikan apa benar berkas tanpa nama ber-map biru itu ulah Pak Andi atau Revan. Tapi, di mana ada maling ngaku. Kalau mngaku semua penjara penuh.

"Tak mungkin aku secara langsung menanyakannya pada Pak Andi," gumam Pak Ferdi yang sedang berpikir cara terbaik mengetahui pelaku tanpa bertanya.

Ia kemudian mengakses semua berkas yng dikerjakan sekretarisnya lewat laptop. Ternyata tak ada jeja Anita melakukannya. Lalu, bagaimana berkas itu bisa sampai ke ruangannya.

Kesal dengan semua praduganya yang tak membuahkan hasil. Pak Ferdi bangkit untuk makan siang, sekaligus mengecek kadaan putrinya. Ia bangkit menuju ruangan putrinya yang masih satu lantai dengannya.

Benar saja dugaan Pak Ferdi, gadis itu tengah melamun dan tak melakukan apapun. Apalagi menyentuh laptopnya yang dalam keadaan menyala. Laptop itu dibiarkan begitu saja.

"Sayang, memikirkan seseorang yang dicintai itu wajar. Tpi, yang tak wajar adalah kau membuat dirimu sendiri sakit seperti ini." Pak Ferdi berkata tepat di sisi putrinya sambil memerhatikan jalanan yang ada di bawah gedung.

Saat itu pula mobil Pak Andi melintas dan Pak Ferdi tahu betul mobil itu. Rasanya aneh sekali, tiba-tiba di hari ia menerima brkas kosong itu Pak Andi lewat di dpan kantornya yang jaraknya cukup jauh dari kantor Pak Andi sendiri.

Curiga dengan apa yang dilihatnya Pak Ferdi segera menyuruh orang mengikuti mobil iitu. Urusan bisnis rupanya membutakan mata hati.

"Apa Papa, pernah merasakan apa yang aku rasakan?" tanya Fira sendu, ada kesedihan mendalam dala nada bicaranya.

"Sakit hati karena ditinggal orang yang disayang tak lebih menyakitkan dari melihat buah hati yang merupakan darah daging sendiri terluka, bersedih, dan menagis hanya untuk orang lain," jawab Pak Ferdi bijak.

Ia ingin mengatakan ada yang lebih sakit ketika melihat anaknya terluka, yaitu orang tua. Orang tua yang sudah mmbesarkan putrinya bak permata yang dijaga sepenuh hati, lalu malah harus mlihat putrinya itu disakiti. Itu benar-benar menyiksa.

"Maafkan aku jika memang ini melukai hati Papa dan Mama. Tapi, ini benar-benar menyakitkan seakan tak bertepi," ujar Fira dengan menunduk.

Matanya mulai berkaca-kaca, bulir bening itu sedetik lagi akan keluar. Seiring dengan sesak di dadanya yang juga iangin bebas.

Pak Andi melanjutkan perjalanan menuju kantor konsultan terbaik di daerah itu. Ia hendak mencari solusi atas ketimpangan dana tersebut untuk bahan pendukung jika nantinya mesti bawa ke meja hijau.

Ia memasuki areal gedung, tak sedikit mobil berjajar di sana. Mereka yang datang ke sini rata-rata mencari solusi untuk kantor mereka. Ada yang hampir bangkrut, ada yang bermasalah dengan sistem, bahkan ada juga yang ingin menaikan profit perusahaan.

Pak Andi sudah berjanji menemui seorang konsultan bernama Pak Handoko. Ia mengenalnya ketika dulu ingin menaikan profit perusahaan.

"Saya ada janji bertemu dengan Pak Handoko," ujar Pak Andi padda resepsionis yang bertugas.

"Dengan Pak Andi, sudah ditunggu di ruangan," ucap Resepsionis tersebut sembari tersenyum ramah.

Pak Andi kemudian melangkah memasuki lift untuk ke ruangan Pak Hadoko yang ada di lantai dua gedung. Ia mengetuk pintu ketika sampai di depan ruangannya.

"Silakan, masuk," titah sebuah suara dari dalam yang dapat dipastikan adalah suara Pak Handoko.

"Siang, Pak. Apa kabar? Bertemu lagi kita rupanya," Pak Andi berbasa-basi terlebih dahulu.

"Kabar baik, sudah pasti bukan soal profit, kan? Perusahaan sudah sangat besar begitu." Pak Handoko menimpali dengan bercanda.

"Bukanlah, masa selalu soal profit. Serakah sekali hidup saya." Pak Andi juga menimpalinya dengan candaan.

"Keuangan kantor saya digelapkan oleh sekretaris kepercayaan Revan," ucap Pak Andi, menyampaikan maksud kedatangannya.

"Anak muda memang selalu gegabah memilih orang." Pak Handoko tak asing dengan masalah seperti ini.

Bukan kali pertama juga ia menangani kasus seperti itu. Rata-rata anak muda yang terjebak dengan status pertemanan tanpa memikirkan kualitas. Mereka akan menyesal sendiri pada akhirnya.

Baik orang yang memilih temannya yang tak berkualitas ataupun si teman yang serakah ingin mengambil keuntungan lebih dari orang yang membantunya. Jika diibaratkan, seperti menolong anjing terjepit. Sudah ditolong malah menggigit.

"Begitulah, Pak. Revan terlalu percaya karena sekretaris ini kawannya semasa kuliah dulu."

"Begitu, ya. Ngomong-ngomong soal Revan bagaimana keadaannya? Saya dengar ia kecelakaan, betulkah?" tanya Pak Handoko yang penasaran dan ingin tahu.

Berita soal Revan kecelakaan memang cukup menyebar, terlebih ada wartawan yang mengabadikannya. Mencari berita yang sekiranya bisa dikonsumsi publik.

"Benar, anak saya kecelakaan. Sekarang dirawat di Singapura. Bagian yang parah adalah kepala, makanya kami begitu khawatir," jawab Pak Andi dengan tenang.

Wajahnya terlihat sedih dan tanpa gairah. Belum lagi rasa lelah yang menghinggapi tubuh, baru saja tadi pagi ia sampai di Indonesia. Malah mendapat hadiah masalah dari sekretarisnya sendiri.

Próximo capítulo