“Dokter Bara, mau kopi rasa apa?” tanya Berlian menyodorkan menu pada Bara. Yang ditawari pun hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Bara celingak-celinguk, kini Bara seperti artis yang tengah menjadi bahan sorotan. Namun anehnya, Berlian sama sekali tidak peduli dengan tatapan orang-orang.
“Pacar baru Bu Berlian, kah? Lebih tampan yang ini.”
“Kayaknya memang iya. Sama Pak Deon tidak pernah begini.”
“Pak Deon kalah jauh sama pria itu.”
Bara menggaruk telinganya yang panas tatkala mendengar ocehan-ocehan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak berbisik-bisik, melainkan berbicara terang-terangan. Bara menutup wajahnya dengan buku menu. Mimpi apa ia semalam hingga mendapat pasien seperti Bu Berlian.
Bara sudah membaca tuntas wikipedia dari berbagai macam untuk mencari tahu bagaimana pasiennya. Namun di wikipedia yang dia baca, pasiennya tipe CEO yang berwibawa. Namun yang Bara lihat, tidak ada wibawa sedikit pun yang ada pada Berlian. Sekarang Berlian di hadapannya seperti tante-tante girang yang haus akan belaian.
Berlian menatap Bara tidak berkedip, gadis itu mengagumi sosok Bara yang sangat tampan. Memakai kemeja yang lengannya digulung sebatas siku membuat pria itu tampak menawan.
“Huh, selama bekerja di sini, aku sering melihat CEO muda. Namun tidak pernah aku melihat orang setampan Dokter Bara,” ucap Berlian menggelengkan kepalanya.
“Ekhem.” Bara berdehem singkat yang membuat Berlian menggelengkan kepalanya, menyadarkan dirinya dari tingkat kehaluan yang sangat tinggi.
“Dokter mau pesan kopi apa?” tanya Berlian.
“Kopi hitam,” jawab Bara.
“Baik, saya pesankan,” kata Berlian.
“Biar saya saja yang pesan,” ucap Bara yang beranjak berdiri.
“Saya juga kopi hitam, Dok!” pinta Berlian.
Bara menatap Berlian sekilas, setelahnya pria itu menuju ke bartender untuk memesan dua kopi. Bara juga menuju stan sebelah kopi membeli makanan, karena yang tadi Bara dengar, Berlian belum makan sejak pagi.
Di tempatnya, Berlian menatap luka yang ada di pergelangan tangannya. Gadis itu tersenyum sinis, untuk sejenak tadi ia sempat melupakan luka di tangannya karena ibunya. Berlian menatap nanar ke arah depan. Kalau bertemu ibunya, pasti ada bagian tubuhnya yang terluka. Luka-luka yang dia dapatkan tidak ada artinya apa-apa, karena seberapa rasa sakit di raga yang dia rasakan, lebih sakit lagi hatinya yang terus dituduh pembunuh oleh ibunya. Selama ini Berlian selalu berusaha keras untuk ibu dan kakaknya, tapi itu sama sekali tidak berarti.
“Ini,” ucap Bara yang datang meletakkan rice bowl di hadapan Berlian. Berlian mengerutkan dahinya.
“Saya tidak makan, saya pesan kopi,” ujar Berlian mendorong rice bowl.
“Kopinya tinggal satu, dan itu buat saya.” Bara berucap sembari meminum kopinya dengan cepat.
“Lah saya minum apa, dong?” tanya Berlian.
“Makan dulu makanannya. Mulai sekarang saya sebagai pengganti Dokter Ayu akan menyembuhkan kamu dengan cara saya sendiri,” desis Bara menatap Berlian dengan intens.
“Saya memang tidak salah memilih dokter. Dokter tahu, dari banyaknya Dokter Psikiater yang ditawarkan Dokter Ayu, hanya Dokter Bara yang saya pilih,” ujar Berlian yang juga berdesis kecil.
Bara tercekat, pria itu memalingkan wajahnya dari Berlian. Ucapan Berlian yang mengatakan hanya memilihnya membuat pikiran Bara mulai overthinking. Memang benar kata Dokter Ayu, hanya dirinya lah yang dipilih Berlian. Perasaan takut mulai muncul di hati Bara, melihat tatapan tajam dari Berlian yang sangat intens semakin membuat bulu kuduk Bara merinding.
“Bu Berlian, saya harap Bu Berlian menganggap saya Dokter!” pinta Bara.
“Saya sudah bilang, jangan panggil Bu!” tegas Berlian.
“Oh iya, Berlian. Saya permisi dulu, besok saya tunggu di rumah sakit sesuai jam yang sudah ditentukan,” ujar Bara yang buru-buru pergi dari hadapan Berlian.
Berlian menatap punggung Bara yang mulai menjauh, gadis itu terdengar menghela napas beratnya. Berlian menatap rice bowl yang dibawakan Bara. Tatapan nanar itu kembali muncul tatkala menyadari satu hal, Bara hanya peduli dengannya karena ia pasien Bara.
Malam harinya, Berlian berjalan kaki menyusuri taman mini yang tidak jauh dari rumahnya. Sudah menjadi kebiasaan gadis itu selalu jalan-jalan di sekitar taman yang ada air mancur di tengahnya saat ia sedang ada waktu luang. Di tangan gadis itu terbalut sarung tangan plastik. Di sepanjang jalan, bila ia melihat daun kering jatuh, ia akan memungutnya dan membuangnya ke tempat sampah. Bahkan Berlian merasa saat di kantor ia menjadi CEO, tapi saat di luar begini ia menjadi petugas kebersihan cuma-cuma.
Berlian duduk di depan air mancur, gadis itu merogoh hp dalam saku celananya. Berlian menghubungi Deon, pacarnya yang sudah lama menjalin kasih denganya.
Berlian menempelkan hp di telinganya. Suara nada berdering terdengar, tapi tidak kunjung diangkat hingga suara itu mati dengan sendirinya. Berlian tidak menyerah, gadis itu kembali mencoba menghubungi Deon. Namun lagi-lagi Deon tidak membalasnya.
Berlian mengepalkan tangannya dengan erat, gadis itu mengotak-atik hpnya, mengirimkan pesan suara pada Deon.
“Kalau kamu masih sibuk, lanjutkan saja pekerjaanmu. Yang penting jangan lupa makan, aku merindukanmu.” Berlian mengirim pesan suara itu pada pacarnya. Gadis itu lantas menaruh hpnya kembali ke saku celananya.
Malam ini ia tidak ada agenda kerja di luar, saat di waktu luangnya, ia ingin menghabiskan waktu bersama Deon. Namun yang ada Deon sibuk tidak bisa dihubungi. Berlian menatap pergelangan tangannya yang terbalut perban, gadis itu menarik perban tersebut dan membuangnya dengan asal. Dunia tidak boleh tahu kalau dia terluka. Bekas luka yang belum mengering pun terlihat tatkala perban itu terbuka. Berlian tidak pernah menyesal sudah melukai dirinya, yang dia sesali, kenapa ia bisa hidup sampai sekarang.
Berlian menengadahkan kepalanya ke atas, menahan air mata yang akan terjatuh.
“Dasar cengeng, hari ini aku sudah menangis, kenapa mau menangis lagi,” ucap Berlian yang kini air mata sudah jatuh membasahi pipinya. Gadis itu buru-buru menghapusnya. Pantang baginya menangis. Satu kali sehari menangis pun sudah menjadi penyesalan untuk berlian.
Namun, sekuat apa Berlian menahan isakan di bibirnya, isakan kecil itu malah keluar. Berlian meremas dadanya yang terasa sakit mengingat pertengkarannya dengan sang ibu. Berlian iri melihat orang-orang yang mempunyai ibu yang bisa mengasihi anaknya, sedangkan dia? Dia dituntut melakukan kewajibannya sebagai seorang anak, tapi tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang ibu.
“Hikss hiksss ….” Suara isakan kecil terdengar dari bibir Berlian. Berlian menutup wajahnya, di malam yang sepi di tengah-tengah taman, Berlian menangis seorang diri. Rasa lelah itu pasti ada dan pernah Berlian rasakan, saat itu terjadi, Berlian akan menangis seorang diri.
Dunia ini sangat luas, setiap harinya banyak orang yang Berlian temui. Namun salah satu dari mereka pun tidak ada yang bisa mengertinya kecuali Bian. Pacarnya saja jarang ada waktu untuknya.
Dughh!
Berlian merasa ada yang melempar sesuatu di kepalanya. Gadis itu sama sekali tidak menurunkan tangannya dari wajahnya, Berlian masih menikmati tangisannya.
“Ah cupu, kena bola saja sudah menangis.” Suara anak kecil masuk di indra pendengaran Berlian.
“Hahahah … udah gede kena bola saja nangis.” Suara itu kembali terdengar.
“Azka, kamu tendang siapa lagi?” tanya seorang pria yang datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri bocah berusia lima tahun yang dipanggil Azka.
“Tante itu, Om. Dia nangis,” jawab Azka menunjuk Berlian.
“Berlian,” panggil pria itu membuat Berlian menurunkan tangannya. Berlian menghapus air matanya cepat dan mendongakkan kepalanya menatap seseorang yang memanggilnya.
Berlian membulatkan matanya tatkala melihat sosok dokter yang tadi dia temui dan traktir kopi, bukan, lebih tepatnya dokter itu yang mentraktirnya rice bowl.
“Berlian!” pekik Azka dengan girang saat melihat wajah orang yang tadi dia tendang dengan bola.
Azka segera mendekati Berlian dan memeluk kaki Berlian dengan erat.
“Berlian, aku sering melihat kamu di majalah. Cantik banget dan terlihat sangat pintar. Aku suka bertemu denganmu!” jerit Azka dengan antusias.
“Azka, yang sopan,” tegur Bara menarik Azka agar menjauh dari Berlian.
“Ah iya Tante Berlian, aku penggemar tante, banyak majalah yang sudah aku gunting aku ambil gambar Tante doang,” oceh Azka.
Berlian mengerutkan dahinya melihat Azka yang tadi mengejeknya dan sekarang memuji-mujinya.
“Tante, aku mau minta tanda tangan, mau aku pamerkan ke teman-temanku,” ucap Azka.
Berlian menatap Azka dengan sinis, gadis itu mendekati tubuh kecil Azka. “Untukmu, aku tidak mau tanda tangan,” desis Berlian tersenyum mengejek.