webnovel

3. Pertengkaran

Suara gemericik air terdengar mengalun lembut di ruangan CEO milik Berlian. Tidak hanya ada alunan gemericik air, tapi alunan piano lembut juga terdengar. Di kursinya, Berlian tengah memejamkan matanya sembari menikmati alunan musik itu yang dia putar dari audio speaker yang terletak di meja. Saat ia merasa stres, itulah salah satu obat yang manjur digunakan.

Setelah dari rapat, Berlian sudah mengerjakan tugas-tugasnya. Jam makan siang selalu dia gunakan tidur walau hanya satu jam. Kopi di mejanya masih utuh belum tersentuh, juga satu bungkus roti di sana belum jua ia makan.

Berlian masih memikirkan ibunya, ia tidak paham lagi apa keinginan ibunya. Saat ia tidak mau menemui ibunya, ibunya selalu melakukan berbagai hal yang membuatnya marah. Ibunya selalu berpikir, kalau ia marah maka ia akan menemui ibunya itu. Namun ibunya sudah melakukan tindakan yang salah.

Ketenangan rumah, kehangatan keluarga utuh, tidak pernah satu kali pun dirasakan Berlian setelah kematian kakaknya. Dulu saat kecil, dia ditinggalkan ayahnya karena ayahnya dipaksa cerai oleh neneknya. Itu awal patah hati Berlian yang sangat dalam, hingga kakaknya yang menggantikan sosok ayah. Kini kakaknya terbunuh karena ulahnya. Napas Berlian memburu, dadanya bergetar dan laju jantungnya bertalu-talu. Keringat dingin mulai bercucuran di kening Berlian. Ketika rasa gelisah itu muncul, Berlian tidak bisa mengendalikan dirinya, seolah tubuhnya diambil alih oleh hal-hal buruk dan negatif.

“Bian!” teriak Berlian memanggil Bian dengan suara kencang.

“Bian!” teriaknya lagi.

Dengan tergopoh-gopoh Bian berlari dari ruangannya menuju ke ruangan CEO. Bian membuka pintunya, pria itu melihat Berlian yang sedang tidak baik-baik saja.

“Bian, pindah semua dokumen ini ke meja depan sofa. Tata semuanya dengan rapi!” titah Berlian.

“Kamu harus melakukannya, Bian. Kalau tidak begitu kamu akan celaka,” ujar Berlian lagi.

“Baik,” jawab Bian. Bian tidak menganggap ucapan Berlian tentang dia yang celaka adalah serius. Karena itu hanya dari pikiran Berlian yang negatif dan cemas berlebihan.

“Ganti gordennya dengan warna biru laut. Warna putih membuat celaka,” titah Berlian lagi.

“Tapi gorden itu baru diganti,” jawab Bian.

“Saya tidak peduli, cepat ganti!” teriak Berlian yang kini bak orang kesetanan.

Bian meletakkan dokumen yang sudah selesai dia rapikan, pria itu bergegas menurunkan gorden berwarna putih.

“Mau diganti biru laut?” tanya Bian.

“Iya,” jawab Berlian.

“Eh jangan!” cegah Berlian membuat Bian yang akan melangkahkan kakinya pun berhenti.

“Jangan biru laut, nanti akan tenggelam. Warna merah saja, eh tidak, jangan merah karena identik dengan darah. Bagaimana kalau hitam, eh jangan, hitam selalu dikaitkan dengan duka.” Berlian terus mengoceh sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing.

“Bu Berlian, duduk dulu. Saya akan ambilkan minum,” ucap Bian.

“Tidak tidak, saya gak butuh minum. Cepat bawa pergi gordennya!” titah Berlian. Bian segera melenggang pergi.

Berlian mengambil sesuatu dalam tasnya, saat menemukannya perempuan itu segera memasukkan dua pil ke bibirnya. Sisa air mineral di sudut meja pun ia minum dengan cepat dan membuang botolnya ke tempat sampah.

Napas Berlian lambat laun mulai teratur, gadis itu mengusap keringat yang bercucuran di dahinya. Saat ia asik mendengarkan alunan musik merdu, pikirannya terpecah oleh sang ibu yang membuatnya gelisah lagi.

Berlian tersiksa dengan semua ini, tapi hanya Bian yang memahaminya. Ibu kandungnya sendiri tidak pernah bisa mengertinya.

Di luar, Bian berpapasan dengan Bu Risa. Bian menghadang Bu Risa yang akan masuk ke ruangan Berlian.

“Maaf, Bu. Bu Berlian sedang tidak bisa diganggu,” ucap Bian.

“Saya ibunya, saya mau masuk,” jawab Risa dengan angkuh.

Di keluarga Evans, satu-satunya orang yang paling arogan adalah Risa. Bahkan Risa nekat menceraikan suaminya karena suaminya kalah kaya dengannya. Licik dan culas, itulah yang bisa menggambarkan Risa.

“Minggir!” titah Risa mendorong tubuh Bian agar menyingkir.

“Bu, tolong hargai Bu Berlian. Bu Berlian pemimpin tertinggi perusahaan, saat ini tidak bisa diganggu,” ucap Bian yang masih menghadang.

“Bahkan kalau saya mau, saya bisa memecat kamu sekarang juga,” ancam Risa.

Kalau sudah ancaman pemecatan, Bian tidak bisa bersikeras lagi. Bian menyingkir, membiarkan Risa masuk di ruangan anaknya.

Dengan langkah angkuhnya, Risa membuka pintu ruangan anaknya dan masuk ke sana. Berlian yang mendengar suara pintu terbuka pun mendongakkan kepalanya. Berlian mengepalkan tangannya dengan kuat di atas meja, tanpa sadar gadis itu memukulkan tangannya di sana.

“Ckckckckck.” Risa menatap seluruh ruangan anaknya dan berdecak dengan nada yang penuh ejekan.

“Kumat lagi gilanya?” tanya Risa yang berjalan mendekati anaknya.

Berlian memejamkan matanya dengan erat, gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, mencoba sabar menghadapi ibunya.

“Dokumen gak di atas meja sesuai tempatnya, gorden diturunkan dan ruangan yang seperti ini, apa namanya kalau gak kumat lagi?” tanya Risa lagi yang sangat senang menyudutkan anaknya.

“Puas-puasin ibu mengejek, setelah puas pergilah!” kata Berlian.

“Dasar anak durhaka,” hardik Risa pada anaknya. Berlian tidak menjawab, tapi tangannya ditarik oleh sang ibu.

“Berdiri!” titah Risa memaksa anaknya untuk bangun.

“Apa mau ibu?” tanya Berlian.

“Ibu mau kamu tanggung jawab dengan kematian kakak kamu, Berlian!” teriak Risa.

“Ibu mau kamu bertanggung jawab, ibu mau kamu memimpin perusahaan dengan jelas, ke arah yang jelas, tapi kamu malah seperti ini. Setiap hari kamu berkutat dengan kegilaan kamu. Penyakit apa yang kamu derita itu, hah? Lama-lama kamu akan benar-benar gila!” teriak Risa lagi dengan menggebu-gebu. Risa mendorong tubuh Berlian sampai Berlian sedikit terhuyung.

“Lihat ibu, pasti di matamu melihat kesalahan ibu. Ayo benerin baju ibu kalau kamu melihat ada yang tidak beres. Dasar gila!”

“Gila kamu ya, Berlian. Ibu menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, kakak kamu percaya sama kamu tapi kamu malah membunuhnya, dan sekarang kamu malah gila gak sembuh-sembuh.”

Risa terus memaki anaknya dengan menggebu-gebu. Tangan perempuan paruh baya itu juga terus menunjuk-nunjuk sang anak.

“Kamu pembunuh, Berlian. Pembunuh!”

“Aku bukan pembunuh, Ibu!” teriak Berlian mencengkram lengan ibunya dengan kuat.

“Apa ibu tahu, aku lah yang merasa menyesal atas insiden itu. Setiap malam aku tidak bisa tidur karena rasa trauma yang aku miliki. Bayangkan di situ ada tiga orang dan semua meninggal kecuali aku. Apa ibu pikir aku bahagia? Enggak, Bu!” jerit Berlian lagi dengan sekuat tenaga. Otot leher Berlian sampai keluar saking kuatnya ia berteriak.

“Aku tidak gila, Bu. Aku hanya sakit, andai ibu tahu rasanya, aku jamin ibu tidak akan kuat menjalaninya.”

“Seumur hidupku, aku tidak pernah mau sakit, Bu. Penyakit ini aku tidak mau mengalaminya, tapi aku tidak berdaya, Ibu. Semua ini bukan kemauanku. Kalau aku pengendali takdir, aku pasti bisa menghentikan mobil dan kecelakaan itu tidak akan terjadi.”

“Dan kamu tidak bisa mengendalikannya, Berlian. Sama seperti ayahmu, kamu hanya pembawa sial.”

Berlian melepas cengkraman tangan ibunya, gadis itu menatap sang ibu dengan pandangan nanar.

“Jadi selama ini ibu hanya menganggapku anak pembawa sial?” tanya Berlian dengan nanar.

“Kalau iya kenapa? memang itu kenyataannya, Berlian. Saat ibu melahirkan kamu, ayahmu tidak memiliki apapun karena rumah sakit tempatnya kerja berhenti beroperasi. Ayahmu menjadi pria miskin. Katanya setiap anak punya rezeki, tapi ibu hanya percaya kalau kamu hanya anak pembawa sial,” ucap Risa.

“Ibu tidak tahu betapa sakit hatiku mendengar ucapan ibu yang seperti itu? Semua sudah aku lakukan demi ibu dan kakak. Aku berusaha memimpin perusahaan ini, selama tiga tahun semua berjalan lancar, aku hanya sakit, tapi ibu sudah mengataiku yang tidak-tidak. Di mana hati nurani ibu? Anak sakit kalau orang tua normal pasti akan diobati, tapi beda dengan ibu yang malah mengatai anaknya sendiri. Aku rasa ibu yang sakit,” ucap Berlian. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca menatap ibunya.

“Dua bulan ini penjualan menurun, Berlian.”

“Dan selama dua bulan ini aku juga usaha, Bu!” bentak Berlian.

“Kamu jangan memotong ucapan ibu.”

“Ibu yang seharusnya diam. Kalau aku bisa mengendalikan takdir, aku tidak akan sudi dilahirkan dari rahim seorang ibu seperti kamu,” ujar Berlian.

Plakk!

Satu tamparan melayang di pipi Berlian, tentu saja pelakunya adalah Risa.

“Sembilan bulan ibu mengandung kamu, dan ini balasan kamu?” tanya Risa.

“Lalu apa perlakuan ibu padaku, Bu? Selama ini aku hidup tanpa kasih sayang ibu, fokus ibu hanya pada kakak, pernah satu kali saja ibu menunjukkan rasa sayang ibu sama aku? Sejak kejadian meninggalnya kakak, ibu menganggapku musuh, ibu menganggapku pembunuh. Kalau nyawa dibalas dengan nyawa, kenapa ibu gak bunuh aku saja sekarang juga?” teriak Berlian menarik tangan ibunya. Berlian juga menarik gunting yang tepat berada di mejanya.

“Sekarang pun kalau aku harus mati, aku siap, Bu. Bunuh saja aku!” jerit Berlian memaksa ibunya memegang gunting.

“Aku sudah frustasi dengan penyakit ini. Saat seharusnya penderita OCD mendapatkan dukungan dari keluarganya, beda dengan ibu yang selalu menyudutkanku. Selama ini ibu menganggap aku anak pembawa sial, sekarang musnahkan saja aku, Ibu!” jerit Berlian memaksa sang ibu untuk menggores tangannya dengan gunting.

Gunting yang dalam posisi terbuka menggores tangan Berlian. Darah segar keluar dari tangan Berlian. Risa terpekik kaget, perempuan itu memundurkan dirinya. Suara gunting terjatuh membuat Risa menatap ke bawah, gunting itu sudah penuh darah segar milik anaknya.

“Kenapa diam, Bu? Kenapa tidak dilanjut?” tanya Berlian yang saat ini tidak bisa menahan air matanya agar tidak terjatuh.

“Lanjutkan, Bu. Biar aku tidak lagi repot dengan urusan dunia ini. Saat aku pertama kali melihat dunia, ibu memangku tubuh kecilku dengan tersenyum. Sekarang terakhir kalinya aku berada di dunia, aku harap aku juga berada di pangkuan ibu dengan ibu yang tersenyum,” ucap Berlian. Berlian menatap pergelangan tangannya yang masih mengucurkan darah. Tangannya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.

Próximo capítulo