webnovel

Peraturan di Rumah Stefan

Malam hari, saat Stefan menemani Carissa di kamarnya.

"Carissa, maafkan aku, jika sambutan ibumu tadi tidak terlalu berkesan baik,"

"Tenang, Ayah. Aku tahu, setidaknya masih ada yang menyayangiku disini. Yaitu, Ayah," balas Carissa yang masih tampak sedih.

Stefan membelai lembut rambut panjang coklat bergelombangnya. Dan tak sengaja Carissa meneteskan air mata setelah itu.

"Mengapa kau menangis?" tanya Stefan.

"Aku pernah melihat raut wajah seperti dia dulu, sebelum aku di tempatkan di panti asuhan itu," jawab Carissa.

"Raut wajah keji dan penuh kebencian dari ayah tiriku," lanjutnya.

Seketika Stefan penasaran dengan apa yang ia katakan. Ternyata sebelumnya, Carissa juga pernah memiliki keluarga.

"Ayah tiri?"

"Ya, sejak ibuku menikah lagi, ibuku seringkali meninggalkanku pergi dengannya. Selalu sibuk. Lalu mereka menganggapku beban dalam kehidupan mereka,"

Sungguh gadis yang malang. Anak seusia Carissa tahu apa soal rumitnya kehidupan rumah tangga dalam keluarganya, sampai-sampai orang tuanya sendiri menganggapnya seperti itu.

"Sudahlah, Carissa. Tidak perlu kau lanjutkan lagi. Sekarang kau disini, bersama kami. Dan kami berjanji akan merawatmu dengan baik, lalu menjadikanmu orang yang sukses. Nanti kau bisa tunjukkan pada mereka semua yang menganggapmu sebagai beban hidup," ujar Stefan.

"Tapi, bagaimana dengan Maya? Sepertinya ia tidak ingin aku disini,"

Kesedihan Carissa mulai mendalam. Stefan pun memeluknya. Mencoba meredam semua kepedihan itu dalam pelukan hangatnya.

"Hal itu tidak usah kau pikirkan, Carissa. Biarkan itu menjadi urusanku, ya?" lalu mengecup keningnya.

"Tidurlah, karena besok aku akan mendaftarkanmu ke sekolah Valentian,"

Carissa mengangguk.

***

Valentian adalah satu-satunya sekolah terbesar berstandar internasional di kota ini. Stefan sengaja mendaftarkannya ke sekolah itu agar Carissa menjadi siswa yang berkualitas untuk menangani perusahaannya kelak, serta mewujudkan segala cita-citanya selama ini.

Carissa tampak gugup saat Stefan menuntunnya masuk ke sekolah itu.

"Tidak apa-apa, tenang saja," ujar Stefan tersenyum.

Setelah Stefan mendaftarkan Carissa disana, beberapa perlengkapan sekolahnya pun di berikan oleh wakil kepala sekolah.

"Carissa Stella Maroni, ini seragam, perlengkapan sekolah dan juga kartu pelajar untukmu," sahut wakil kepala sekolah disana sembari memberikan satu per satu perlengkapan sekolahnya.

Carissa hanya membalas senyuman.

"Maaf pak, dia memang agak pemalu anaknya, jadi...,"

"Tidak masalah, Tuan Maroni. Kebanyakan anak-anak begitu saat pertama kunjungan ke sekolahnya,"

Dan saat perjalanan pulang dari sekolah Valentian, perkataan Stefan tadi dibahas kembali oleh Carissa.

"Ayah bilang aku pemalu?"

"Memang begitu, kan?" balas Stefan sambil menyetir mobilnya.

"Padahal tidak sama sekali, aku mencoba sopan dengan wakil kepala sekolah," protes Carissa.

"Oh, aku kira kau memang pemalu, kita juga baru mengenal, kan?"

Carissa mendengus dan melipat kedua tangannya, pertanda bahwa dia sedang marah.

"Oh jadi sekarang kau marah padaku?"

Carissa malah membuang pandangannya ke arah jendela mobil.

"Aku tahu caranya agar kau tidak marah padaku lagi,"

Dahi Carissa pun mengernyit saat Stefan menepikan mobilnya dan mampir ke toko kecil. Carissa masih penasaran, apa yang dibeli oleh Ayah tirinya disana?

Setelah Stefan kembali masuk ke dalam mobil, ia meberikannya sebuah permen coklat berbentuk payung, dan Carissa pun terkesima.

"Masih mau marah?" tanya Stefan menggodanya.

Senyuman manis nan cerah itu pun tertoreh pada wajah Carissa. Memandangi 4 buah permen payung itu.

"Terima kasih, Ayah," memeluk Stefan dengan erat.

"Tunggu dulu, darimana Ayah tahu kalau aku suka sekali permen payung?" tanya Carissa penasaran.

Sementara Stefan tampak gugup saat menjawabnya.

"Ehm..., sekedar tahu saja, karena anak kecil pasti suka sekali permen payung itu, kan?"

"Kan ada permen lainnya selain ini," sepasang mata curiga pun tampak disana, namun Carissa masih tersenyum padanya.

"Mengapa tidak kau makan saja itu permen dan jangan banyak tanya. Kau ini,"

"Mengapa? Ayah tidak suka aku banyak tanya? Baiklah aku akan keluar,"

Stefan merasa gemas terhadapnya dan langsung menggelitiknya hingga Carissa tertawa terbahak-bahak.

Sesampai di rumah, Stefan menyuruhnya untuk tidur siang karena sudah seharian ini berada di jalan, Carissa tampak kelelahan. Sementara Stefan akan lanjut pergi ke kantor.

"Aku kira Ayah ikut masuk," ucap Carissa mengerucutkan bibirnya.

"Carissa, Ayah ada urusan di kantor, nanti sore Ayah pulang. Nanti aku akan membawakanmu sesuatu, ok?" balas Stefan.

"Tapi, Ayah,"

Stefan menghela nafasnya lalu berkata,

"Apalagi, Carissa?"

"Aku takut sama ibu," ujar Carissa dengan nada pelan.

Akhirnya Stefan turun sejenak dari mobilnya dan mengatakan sesuatu agar Carissa tidak merasa takut pada Maya.

"Tidak perlu takut. Maya ibu yang baik, percaya padaku. Hanya saja kau belum mengenalnya lebih dekat," sambil memegang kedua pundak Carissa.

Sementara raut wajah Carissa sepertinya akan menangis.

"Begini saja, jika ada apa-apa, kau bisa telepon Ayah lewat ruang security, ya?" lanjut Stefan.

Carissa pun akhirnya mengiyakan.

"Ya sudah, kalau begitu, Ayah berangkat dulu ya. Jangan nakal," mencolek sekilas batang hidung kecilnya.

"Ayah, hati-hati di jalan," balas Carissa.

Stefan mengangguk sambil tersenyum padanya. Lalu masuk ke dalam mobil dan berangkat.

"Nona Carissa? Ayo masuk kedalam, diluar cuaca sangat panas," sahut salah satu pembantu disana.

Carissa melihat Maya selaku ibu tirinya yang sedang santai menonton televisi di ruang keluarga. Namun Carissa tak ingin bersamanya, ia terus membuntuti pembantu rumah itu.

"Carissa?" panggil Maya tiba-tiba.

"Ya..., ibu?" balas Carissa gelagapan.

"Sini, temani ibu." Carissa pun terpaksa menurutinya.

Ia hanya berdiri di depan sofa tempat Maya duduk.

"Kenapa berdiri disitu? Duduk sini anak manis, sebelah ibu,"

Carissa masih saja heran, mengapa tiba-tiba saja ibu tirinya sangat ramah padanya? Tapi apa boleh buat? Carissa hanya bisa menurutinya kali ini.

Perasaannya cukup tegang ketika ia duduk di sebelah Maya.

"Maafkan Ibu soal kemarin, Ibu tidak tahu bahkan hampir lupa kalau kami sudah punya anak, yaitu dirimu. Memang Ibu tidak bisa datang ke panti asuhan kemarin karena ada kesibukan lain. Makanya, Ibu tidak tahu," jelas Maya sembari merangkulnya.

"Tidak, apa-apa, Ibu," singkat Carissa gugup.

"Tidak. Aku yakin kau seperti ini sekarang karena Ibu, kau tampak ketakutan. Tidak perlu ya, sayang, Carissa tidak perlu takut. Ini Ibumu. Kecuali, jika kau berbuat kesalahan disini,"

Pandangan mata Maya seketika berubah saat mengatakan itu. Membuat perasaan takutnya itu kembali lagi.

"Yah, dimana pun kita tinggal, itu semua pasti ada aturannya, bukan? Apalagi Ayahmu adalah sosok pria yang sukses dan mapan. Terkenal dimana-mana. Jadi, tidak sembarangan anak bisa tinggal dirumah ini tanpa aturan-aturan," lanjut Maya yang semakin membuat Carissa merinding.

"Aturannya mudah, mulai sekarang Carissa harus menuruti apa yang Ibu sarankan dan katakan. Semata-mata semua itu untuk kebaikanmu sendiri, bukan untuk Ibu. Bisa di mengerti dari sini, sayang?"

Carissa pun hanya bisa mengangguk perlahan dan berkata,

"Ya, Ibu,"

"Gadis pintar," balas Maya tersenyum simpul.

Próximo capítulo