Semua yang hendak melangkah, terhenti seketika dan melihat siapa yang berbicara.
"Aku tak ikut," ulang Jefri yang berada di belakang.
Semua saling tatap seolah berbicara, ada apa dengan Jefri?
"Kenapa? Kan sudah dijelasin semalam kalau nggak apa-apa. Semua sudah tertular," sergah Boni.
"Bukan itu masalahnya," ujar Jefri dengan lirih.
"Lalu apa? Kamu mau di sini sendiri?" tanya Boni tak sabar.
"Nggak," jawab Jefri cepat.
"Terus kenapa?" Boni bingung melihat temannya itu yang terlihat ragu.
"Aku ... aku ingin menjemput emak. Kalian bisa pergi dulu, aku akan menyusul bersama emak," jawabnya dengan tersenyum.
Boni terkejut, dia baru teringat tentang ibunya Jefri yang tertinggal di plafon SD.
"Mas, aku boleh pinjam motor Mas nggak? Kalau sudah sampai semarang, nanti aku balikin," pinta Jefri.
Iko terdiam, dia menatap yang lainnya. Rasanya, dia meragukan Jefri bisa sampai dengan selamat dalam kondisi yang seperti ini.
Anya terlihat bingung. Dia tahu perasaan Jefri.
"Terakhir kali kamu lihat ibumu di mana?" tanya Anya.
"Di plafon SD," jawab Jefri.
"Apa kamu yakin ... ibumu masih hidup?" tanya Anya hati-hati, mengingat kejadian di desa mereka yang begitu mengerikan.
Jefri tersenyum simpul. "Mau hidup atau mati, aku harus ke sana untuk memastikan bagaimana kondisinya," jawabnya.
"Bagaimana jika ibumu ...." Anya tak melanjutkan ucapannya, ia takut Jefri akan terluka sama sepertinya jika melihat ibunya berubah.
"Tidak apa-apa," sahut Jefri tahu kelanjutan ucapan Anya.
Semua terdiam, terlihat tak setuju dengan Jefri. Ia lantas melanjutkan ucapannya. "Seandainya ibuku berubah, aku akan langsung menyusul kalian. Tenang saja, aku akan baik-baik saja."
Jefri kemudian meminta kunci ke Iko. Dengan berat hati Iko memberikan kunci ke Jefri.
"Aku sudah membawa perbekalan," ujarnya dengan menepuk tas punggung berwarna hitam yang ia pinjam juga dari Iko. "Kalian berhati-hatilah, sampai bertemu kembali di Semarang," pamitnya.
Dia mulai menyalakan mesin, Boni membukakan garasi untuknya. Dia tersenyum kepada Boni, sedangkan Boni menatapnya dengan sedih. Orang tua Boni sudah tiada sejak ia berumur 15 tahun, dia yatim piatu dan tak punya saudara. Setelah orang tuanya meninggal, dia hidup dari warisan orang tuanya dan berkerja di tempat fotokopi. Jefri lah yang menjadi satu-satunya keluarga tak kandung yang ia punya setelah itu.
Bendungan air matanya ingin tumpah, Boni tak rela Jefri pergi. Semua pun nampak tak rela dan berwajah muram. Beberapa hari bersama, membuat mereka merasa seperti keluarga.
Jefri pergi dengan melambaikan tangannya dan tersenyum, meski dia sendiri sebenarnya juga tak ingin pisah dengan mereka , dia juga merasa takut pergi sendirian. Namun, dia tak mau meminta mereka semua ikut, setelah perjuangan yang berat untuk keluar dari desa dan perjalanan yang melelahkan.
Dengan lapang dada, bahwa dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri, ia pergi menyusuri jalan raya yang banyak sekali mobil dan motor yang terparkir sembarangan di tengah jalan, seakan sengaja di tinggalkan.
Jefri berkelak-kelok melewati setiap kendaraan dengan mata yang mengawasi sekitar sembari mencengkram tombaknya jika ada zombi menghadang.
Setelah berkendara cukup lama, ia sampai di perbatasan kota Pati dan Kudus, terus melaju melewati semua tempat yang nampak sama, sepi tak berpenghuni.
Lajunya terhenti ketika di depannya terlihat banyak zombi yang memenuhi jalan. Para zombi itu nampak familiar di matanya, mereka memakai seragam pabrik yang ia kenal.
Terjadi banyak kerusakan di sekitar zombi itu. Banyak motor yang berserakan dan mobil yang menabrak bangunan di sekitar. Sepertinya sangat kacau di daerah sini. Jefri memutuskan untuk berbalik arah, mencari jalan lain menuju desanya.
Namun, dia terkejut ketika ada banyak zombie dibelakangnya. Dia sangat terkejut karena jalan yang baru saja ia lewati tadi sepi, tak ada zombi. Tak ingin berpikir lama-lama, ia langsung menyiapkan tombaknya dan turun dari motor untuk melawan para zombi itu.
"HARGHH! JLEB! HARGHH!! JLEB! HARGHHH! JLEB!"
Jefri menusuk satu-persatu tempurung kepala zombi yang datang dengan cepat. Agar bisa segera pulang ke desa. Ada satu zombi yang bertubuh besar sedang berlari ke arahnya. Jefri bersiap untuk menusuknya, dengan penuh kekuatan ia menusuk dahi zombi itu. Namun sayang, pisaunya patah. Zombi itu menerjang hingga membuat Jefri terjatuh dengan keras. "BRUK!!"
Mulut zombi itu terbuka lebar ingin menggigitnya, dia menggunakan itu untuk menusuk tepat di mulut zombi. Sayangnya, serangan itu tak membuat zombi bertubuh besar itu mati dan malah membuat zombi itu makin agresif.
Tangan zombi itu melambai, ingin meraih tubuh Jefri dengan ganas. Batang sapu yang sudah tak kuat menahan tubuh zombi itu, akhirnya patah menjadi dua dan Jefri tertimpa tubuh Zombi itu.
Untung saja, Jefri bisa sedikit menghindar, jadi wajahnya tak terkena patahan dari batang sapu yang menempel di mulut zombi. Jefri kesusahan mendorong tubuh zombi berjenis kelamin pria itu. Tubuhnya seakan tergilas buldozer. Napasnya sudah tersengal, patahan kayu yang berada di mulut zombi itu mengenai lehernya terus menerus. Jika tak segera dibereskan, patahan itu akan menusuk lehernya.
Dengan susah payah, ia mencoba mendorong patahan kayu itu agar bisa menembus otak si zombi. Keringatnya sudah bercucuran, ia sudah terlihat lelah karena zombi itu tak mau berhenti bergerak. Sedangkan usahanya masih belum menemukan hasil.
'Ya Allah, aku ingin menyelamatkan emak. Bantu aku,' batinnya.
Dengan kekuatan yang tersimpan, ia mengerahkan seluruh kekuatan ke tangannya. Perlahan, pisau yang patah itu mampu mengoyak mulut dan maju terus hingga darah bercucuran.
"HIAAAAA!!!!" Jefri memekik dengan menyalurkan seluruh kekuatannya di kedua tangan. Tak sia-sia, akhirnya tombaknya yang patah itu mampu menembus otak dan meluncur keluar hingga membelah kepala zombi itu.
Dia langsung mendorong sekuat tenaga tubuh zombi itu yang sudah membasahi tangan dan wajahnya dengan darah berwarna hitam.
"PUIH!" Jefri meludahkan darah yang sedikit masuk ke dalam mulut.
"Hah hah hah!" Napasnya tersengal.
"HUARGHHH!! HUARGHH!!" Dari arah belakangnya, zombi yanng memakai seragam pabrik itu melihatnya dan langsung berlari menuju Jefri.
Jefri tak bisa mundur lagi, dia harus menghadapi mereka selama masih ada kekuatan karena di balik para zombi itu ada jalan tercepat menuju desa.
Jefri bersiap, dia mengambil patahan tongkatnya yang berada di atas aspal lantas menggenggam dengan erat. Dia menguatkan hatinya agar tak goyah, dengan mengingat wajah sang ibu yang tak rela ditinggalkan ketika tak sengaja harus berpisah.
Dia memejamkan mata dengan sedih, ibunya adalah orang tua tunggal sejak ia masih balita. Ayahnya sudah meninggal akibat penyakit kronis yang diderita sejak ia dalam kandungan. Hanya tersisa ibunya, karena dia juga tak punya saudara kandung, sama seperti Boni.
"HIAAA!!!!" Dia berlari menuju para zombie.
"JLEB! JLEB! JLEB!" Karena tombak yang sudah tumpul, pisau itu hanya mampu melukai tanpa mampu menghabisi sekaligus. Zombi yang terkena serangan Jefri, langsung menyerang kembali. Sontak Jefri kebingungan, karena alat pertahanannya cuma yang ia pegang. Sedangkan, para zombi itu sudah mengelilingi.
"Bagaimana ini?" baginya bingung.
"BROOOMM BROOOMMM BROOOMMM!!!"
"DINNN DINNN DINNN!!!"
Tiba-tiba, suara mobil menggeram bersatu padu dengan suara klakson, memecah perhatian para zombi yang mengelilingi Jefri. Kemudian suara sabetan parang dan tusukan tombak terdengar menghabisi satu persatu kawanan zombi.
Seseorang tiba-tiba muncul dengan seringaian bangga. "Butuh bantuan?"
Jefri terhenyak, ia tak menyangka itu benar Boni. Boni yang melihat temannya terkejut, malah nyengir seperti kuda, menunjukan warna gigi yang tak sehitam kulitnya. Karena tertegun, masih tak percaya teman terdekatnya itu datang membantu, hampir saja Jefri terkena serangan zombi.
"JLEB!"
Untungnya, Indro bergerak cepat menusuk zombi itu dengan tombak, lantas memberi Jefri sebuah parang. "Ambil ini, ayo kita basmi mereka semua!" ajak Indro dengan semangat penuh di tangan.
Tiba-tiba Anya muncul di hadapannya dengan raut cemas. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
Sontak, Jefri terperangah, ia makin tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Seorang Anya datang untuk membantunya, itu hal yang mustahil. Anya lantas pergi membantu yang lain tanpa menunggu jawaban dari Jefri.
Tatap mata Jefri terhenti ketika melihat seseorang yang familiar berada di dekat Anya, Iko sedang mengkapak kepala para zombi dengan sangat tangkas. Tatap mata mereka bertemu sejenak, Iko mengangguk mantap dan kembali membuat para zombi itu menjadi mayat berkepala buntung.
Sebuah suara mengagetkan Jefri. "Kenapa mas pergi? Kita kan satu tim," ujar Sinta dengan raut yang begitu sedih.
Jefri melihat tangan Sinta yang sedang memegang tombak, bergetar hebat. Darah hitam melumuri tangan dan mata tombak wanita yang berusaha kuat itu.
Jefri terenyuh, teman-teman seperjuangannya datang untuk membantu dirinya. Akhirnya ia tersadar dan tak kebingungan lagi. Lantas dengan lembut, Jefri menepuk pundak Sinta dan berbicara, "Maaf, saya tidak akan meninggalkan kalian lagi."
Sinta menanggapi kesungguhan ucapan Jefri dengan menganggukkan kepala.
"Terima kasih sudah datang mbak," lanjut Jefri dengan tersenyum senang. "Serang mereka di sini atau di sini, agar mereka langsung mati," terangnya sambil menunjuk area pelipis dan bagian otak kecil.
Sinta mengangguk lagi dengan sedikit kemantapan diri. Jefri tahu, ini tak mudah untuk Sinta. Namun dia juga tahu kalau wanita kurus itu pelan-pelan akan terbiasa menghadapi ini semua, sama seperti yang lainnya.
Jefri langsung kembali membantu teman-temannya yang lain. Para zombi langsung berkurang banyak setelah mendapatkan bantuan.
Indro kembali ke mobilnya. "Jef," panggilnya ke Jefri.
Jefri menoleh dan melihat Indro melambaikan tangan padanya. "Ayo!" serunya.
Jefri kembali menaiki cheetahnya yang diam sejak tadi. Teman-temannya yang lain masuk satu persatu. Anya dan Boni masih berusaha membuka jalan untuk kedua kendaraan.
"AYO!" pekik Indro.
Anya naik di punggung cheetah bersama Jefri yang paling dekat dengannya. Ia lantas melingkarkan tangannya di perut Jefri. Sontak, Jefri merasakan getaran-getaran yang membuatnya hampir kehilangan akal.
Dia menatap tangan Anya yang mulus itu dengan tak percaya. Seumur hidup, dia tak pernah membayangkan akan mendapatkan hal seperti ini, karena Anya seperti bulan dan dia adalah pungguknya. Meski begitu dia harus tetap sadar untuk bisa kabur dari para zombi.
Boni masuk ke mobil bersama yang lain.
"GRENG!!! GREEENGG! GREEEENGGG!!!
"BRUM!! BRUMMM!! BRUMMM!!!"
Mereka langsung memacu kecepatan sekencang mungkin melewati jalan lingkar dengan masih melawan para zombi yang mengejar. Satu persatu zombi berjatuhan dan dengan cepat mereka meninggalkan para zombi di belakang.
Dengan napas yang lega, akhirnya mereka bisa lolos dari para zombi itu.
"Hahhhhh." Anya menghembuskan napas lega. Namun tidak dengan Jefri yang merasa tegang karena tangan Anya tak lepas dari perutnya. Ia pun kesusahan bernapas, akibat tak ingin menggerakkan perut yang menjadi tempat Anya berpegangan.
Boni memekik senang di kursi belakang mobil, sembari mengeluarkan sedikit badannya dari mobil. "WOOHOOOOOO!!!" Dia merasakan euforia setelah berhasil lolos dari maut.
Akan tetapi, ia langsung dapat teguran dari Indro. "SSSTTT! Jangan berisik!"
Seketika itu juga Boni terdiam dan mengembalikan tubuhnya ke dalam mobil, duduk dengan manis. Tingkahnya membuat Sinta tersenyum kecil. Indro mengawasinya dari kaca tengah, dia ikut senang akan adanya perubahan dari Sinta.
Di perempatan lampu merah, mereka melihat adanya mobil yang saling bertabrakan di keempat persimpangan jalan, hingga salah satu rambu lalu lintas miring akibat ditabrak oleh satu truk tronton bermuatan kayu. Terlihat sekali kalau orang-orang sangat terburu untuk bisa kabur dari zombi, hingga tak mengindahkan lalu lintas dan menyebabkan banyak kecelakaan.
Mereka semua turun untuk memeriksa dan memindahkan mobil yang menutup jalan. Masih ada asap yang mengepul dari satu mobil dalam keadaan terbalik. Iko dan Jefri memeriksa mobil itu. Di dalam ada beberapa orang yang masih tersangkut di kursi dan terluka.
Iko menggoyang tubuh wanita yang berada di dalam mobil itu.
"Bu, bu, bu," panggilnya.
Tak ada jawaban, tangan wanita yang terlihat sudah setengah baya itu diraihnya dan memeriksa denyut nadi. Dia menatap Jefri sembari menggelengkan kepala.
Jefri mendengus sedih, wanita itu sudah mati. Wajar jika wanita itu sudah mati, karena darah terus saja menetes dari kepala yang tertutup kerudung itu. Iko melanjutkan memeriksa yang lain.
"Hei! Di sini ada yang masih hidup!" seru Boni dengan melambaikan tangan.
Mereka langsung menuju Boni. Seorang kakek terlihat sedang terjepit kakinya. Mereka langsung meembantu, sayangnya, tak semudah yang dibayangkan. Karena tak hanya satu mobil yang menindih kaki kakek itu, masih ada satu lagi. Mobil itu saling tumpang tindih.
Mereka kebingungan harus bagaimana. Tak ada alat berat yang bisa mereka pakai. Dan banyaknya mobil dan truk besar di kedua sisi membuat mereka susah untuk melakukan evakuasi. Dahi-dahi mulai mengerut, berpikir dengan keras, berusaha mencari cara. Jefri terpikir suatu cara.
"Om!" panggilnya ke Indro, semua menoleh menatapnya. "Om masih simpan tali kemarin?" tanyanya dengan semangat.
"Masih," jawab Indro.
"Mana Om," pintanya.
Dengan segera Indro kembali ke mobil dan mengambil tali. Tak lama ia kembali.
"Tali ini kita ikat di mobil itu lalu kita tarik turun," usulnya dengan menunjuk mobil yang berada di atas.
"Nanti kalau kena kakek ini gimana?" tanya Boni.
Karena posisi mobil menutup seluruh jalan, jadi susah untuk menarik mobil ke arah yang tak melukai kakek itu. Jefri berpikir keras lagi.
"Ahh, aku tahu. Kita taruh satu mobil di sini." Jefri menunjuk samping tubuh kakek itu. "Mobil itu berguna untuk menahan mobil di atas yang jatuh," lanjutnya dengan menjelaskan.
Semua terdiam, memikirkan ide Jefri.
"Itu bisa, tetapi mobil kita yang buat menarik ada di sana, dan tak mungkin bisa lewat." Semua langsung tersadar kalau mobil mereka berada di seberang jalan yang tak mungkin bisa sampai di sisi yang lain.
Semua terdiam lagi.
"Ahh, kita cari mobil yang berada di dekat sini dan masih ada kuncinya," usul Jefri lagi.
Mereka semua langsung mengangguk menyetujui, lantas berpencar. Terdapat begitu banyak mobil yang saling tumpah tindih, meskipun ada kuncinya, otomatis mobil itu susah untuk keluar.
Sinta menelusuri dengan Anya. Mereka terkejut ketika menemukan zombi yang berada di dalam mobil. Mulut zombi itu masih bersih, itu tandanya mereka baru berubah. Sinta takut, dia mencengkram tangan Anya kuat.
Anya melihat zombi itu masih memakai sabuk pengaman, dia merasa aneh. Namun tetap melanjutkan jalan dengan saling berpegangan tangan dengan Sinta.
Jefri dan Boni mendorong satu mobil untuk dijadikan penahan. Dari kejauhan Iko menemukan sebuah mobil. "Di sini!" serunya. Dia kemudian masuk ke dalam sebuah mobil dan mencoba menyalakan.
"TRRRTTT!! TRTTTT!! BREM!"
Mobil itu bisa berfungsi, yang membuat senyum senang tersebar di setiap wajah. Dengan cepat Indro dan yang lainnya, bergerak cepatembuat simpul ikat di atas mobil yang akan diturunkan, setelah mobil temuan Iko sudah berada dalam posisi.
"BRANG!!!" Mobil itu turun tepat di atas mobil penahan dan mereka langsung menahannya bersama-sama ketika mobil itu miring, hampir jatuh ke tubuh sang kakek. Setelah itu mereka mendorongnya menjauh. Gotong royong yang epik membuat rencana pertama selesai.
Selanjutnya, para wanita berusaha menarik kakek itu lagi setelah para pria mengangkat badan mobil. Perlahan kaki kakek itu bisa keluar. Akan tetapi masalah muncul lagi. Tercium bau solar yang begitu menyengat, lantas ada suara ledakan.
"DUARRRR!!!!!!"
Semua orang terpelanting menjauh.
"TIDAKKKKK!!!!"