"Nama saya ... Sinta."
Hembusan napas lega terdengar, raut-raut senang muncul setelah wanita itu mau bicara.
"Kalian belum saling kenal?" tanya Iko dengan mengernyit bingung.
"Belum, kami baru bertemu kemarin," jawab Jefri.
"Ohh begitu, tapi rasanya kok kayak sudah klop sekali ya," puji Iko dengan tersenyum kepada Sinta yang diam menunduk.
Sinta terlihat bingung bagaimana cara menanggapi pujian dari Iko. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam, menatap kakinya yang hanya memakai sandal jepit. Akan tetapi ia merasa yang dibicarakan oleh Iko ada benarnya juga. Meskipun baru kenal dengan Jefri dan yang lain, ia merasa aman karena benar-benar dilindungi oleh mereka. Alasan itulah, yang membuatnya melakukan tugas dengan baik sebagai penjaga tas. Mungkin itu yang menyebabkan kelompok mereka terlihat begitu solid.
"Makan yang banyak," tambah Iko kepada Sinta.
Sinta mengangguk sopan dengan kikuk.
"O ya Mas, saya tadi ke balkon. Apa mas lihat kami waktu diserang di desa tadi dari balkon?" tanya Jefri.
"Tidak, saya hanya mendengar suara ledakan. Dan melihat gerombolan zombi berlari ke arah ledakan itu. Saya merasa masih ada orang yang bisa diselamatkan, jadi saya mengikuti para zombi itu," jawab Iko.
"Mas nggak takut?" tanya Boni dengan terbelalak.
"Tidak, hanya saja saya harus waspada. Karena, terkena gigitan sekaliiii saja, bisa gawat," jawab Iko seraya mengacungkan satu jari telunjuknya
Boni bergidik mendengarnya. "Kalau keluar nanti, aku harus pakai baju besi," pungkasnya dengan serius.
"Baju besi?" ulang Iko dengan mengernyit.
"Wajan buat nutup perutnya, maksud Boni begitu Mas," sahut Jefri dengan senyum mengejek.
"Dih, sirik kau. Kalau bukan karena wajan itu, aku udah berubah jadi zombi tau," sergah Boni dengan memukul lengan temannya itu.
"Mas, Mas sendirian di sini?" tanya Anya di tengah pertengkaran antara Boni dan Jefri.
"Iya. Bapak Ibuku ... sudah berubah menjadi zombi," jawabnya dengan sedih.
Semua aktifitas terhenti, tatap mata mereka mengarah ke Iko.
"Mereka berubah di depan mataku, di dalam rumah ini," lanjut Iko.
Semua menoleh, mencari di mana zombi orang tuanya itu berada. Iko menjawab pertanyaan dari mereka yang tak terlontar itu.
"Mereka pergi ketika mendengar ledakan dari ban mobil kalian," tuturnya.
"Bagaimana orang tuamu bisa berubah?" tanya Indro.
"Awalnya, ketika saya baru pulang ke rumah. Di jalan raya dekat rumah, ada banyak orang bergerombol. Saya kira itu hanya sebuah pertikaian atau kecelakaan. Setelah saya mendekat, terlihat seorang pria sedang kejang-kejang. Sontak, saya langsung telepon ambulance. Belum selesai saya menelepon, orang itu sudah tak kejang lagi, dia diam tak bergerak sama sekali. Lalu tiba-tiba orang itu bangun dan mengeluarkan suara yang aneh.
Orang-orang yang berada di sana terkejut, termasuk saya. Pria yang tiba-tiba bangun itu lantas menggigit leher wanita di sebelahnya, hingga darah bercucuran. Semua orang berusaha memisahkan. Namun sayang, wanita itu seketika mati setelah digigit. Tak berhenti sampai di situ, dia mulai menggigit orang lain dengan brutal hingga semua orang menjerit ketakutan dan berlari sembarangan.
Orang tua saya keluar dari rumah, karena mereka penasaran. Saya mencoba menelepon polisi dan ambulance lagi. Ketika sedang menelepon, wanita yang digigit tadi mengeluarkan suara aneh juga dan langsung bangun hendak menyerang saya. Seketika saya langsung lari dan mengajak ibu dan bapak masuk rumah. Sayangnya, Ibu saya tergigit ketika hendak menutup pintu."
"Apa dia langsung berubah?" tanya Indro.
Semua menyimak cerita Iko dengan tegang.
"Tidak, ibu saya masih baik-baik saja selama satu jam. Saya sempat mengobati tangannya yang tergigit. Namun, dia langsung deman. Meski sudah saya kompres, panasnya tak mau turun. Setelah satu jam itu, ibu mulai kejang hebat. Saya menelepon ambulance bersamaan dengan kekisruhan yang terjadi di luar.
Saya tak tahu ada apa, yang dipikiran saya waktu itu adalah ibu bisa segera ditangani, karena beliau terlihat sangat pucat."
Iko terhenti sejenak. Dia merasa berat, meski terlihat baik-baik saja. Sebuah tangan muncul dan menggenggam erat tangan Iko. "Kami tahu perasaanmu Mas, jangan dilanjutkan jika tak sanggup," tutur Anya dengan lembut, ia sangat bersimpati dengan yang dialami oleh Iko.
Jefri ikut menaruh tangannya di atas Anya. "Kami ada di sini bersamamu," ucapnya dengan tersenyum tegar.
Bonipun ikut memberikan kata-kata semangat dan menumpuk tangannya di atas tangan Jefri. "Tenanggg Mas Ikoo, sudah ada Boni di sini. Jadi, jangan sedih ya."
Indro menepuk pundak Iko. "Kami sekarang adalah keluargamu," tambahnya dengan ikut menumpuk tangannya yang besar.
Iko tersentuh, dia tak menyangka mereka semua begitu baik padanya meski baru kenal. Sebuah tangan kurus terulur dari sang pemilik yang diam saja sejak tadi, Sinta terlihat dengan sedikit ragu, namun tatap matanya mengisyaratkan kalau dia juga sedang ikut menyemangati Iko.
Iko terenyuh, dia mendapatkan sebuah keluarga baru dalam sekejap saja. Pengganti orang tuanya yang sudah berubah menjadi mahkluk mengerikan. Dia menumpuk tangan kirinya di atas tumpukan tangan itu dan menepuknya pelan.
"Terima kasih," ucap Iko dengan sungguh-sungguh dan hati yang merasa lega karena dia bertemu dengan sekumpulan orang yang baik.
Tumpukan tangan itu kembali ke pemiliknya masing- masing. Iko merasa sanggup melanjutkan cerita, ia mulai dengan sebuah temuannya. "Yang aneh dari orang tua saya adalah. Ibu saya perlu berubah dalam waktu satu jam. Sedangkan ayah yang tergigit oleh ibu, berubah hanya dalam hitungan menit saja."
"Ibu Anya juga seperti itu, ia berubah dengan cepat," timpal Indro.
Semua terhenyak.
Iko menatap tak percaya. "Jadi, kamu juga ..."
"Iya," jawab Anya dengan tabah.
"Kok kamu nggak cerita?" sergah Jefri, dia baru sadar kalau ibunya Anya tidak bersama mereka.
"Iya Nya, kok nggak bilang. Aku pikir ibumu tertinggal di desa, sama kayak Ibunya Jefri," celetuk Boni.
Jefri terbelalak, dia juga baru teringat ibunya yang masih berada di desa.
Anya menggelengkan kepala seakan tak mau membahas masalah sang ibu.
"Apa kamu sudah lapor kejadian di sini ke ketuamu?" tanya Indro.
"Sudah, besok saya akan ke Semarang untuk ikut mengamankan kota-kota yang belum terjangkit," jawab Iko.
"Apa kita boleh ikut?" tanya Boni penuh harap.
"Tentu saja, itulah kenapa saya meyelamatkan kalian. Saya ingin mengajak siapapun yang selamat untuk ikut," jawabnya membuat mereka merasa senang.
"Apa di sana aman?" tanya Anya dengan penuh harap.
"Tentu saja, hanya saja ... perjalanannya nanti yang tak akan aman," jawab Iko dengan sangat serius.
Semua merasa takut, namun jika tetap di sini, belum tentu juga aman.
"Tidak masalah, selama ada tempat perlindungan untuk kami," sahut Indro mewakili mereka.
"Baiklah, sebaiknya kita harus cepat beristirahat lagi untuk perjalanan besok. Kalau kalian ingin mandi, bisa saja. Tetapi lebih baik diusap saja agar tak berisik. Zombi sangat sensitif dengan suara," saran Iko.
Mereka semua mengangguk dan bergantian ke kamar mandi. Iko memberikan beberapa baju yang bisa dipakai ganti oleh mereka. Satu persatu mulai terlelap kembali di kamar masing-masing setelah membasuh diri.
Keesokan paginya, semua bangun dalam keadaan yang lebih baik dan bersiap untuk bertempur dengan rintangan yang akan mereka temui di jalan. Boni memperbaiki tombaknya yang lepas kemarin.
Sinta mengulurkan tangannya pada Iko.
yang sedang bersiap. Iko bingung, tak mengerti apa maksudnya.
"Saya ... juga ingin berjuang," ucap Sinta dengan lirih.
Sontak Iko tersenyum senang, ia langsung membuatkan tombak untuk Sinta dengan bahan seadanya. Sinta menerima tombak buatan Iko dengan senyum yang tersungging, ia terlihat lebih percaya diri dibanding kemarin.
"Semua sudah siap?" tanya Iko sebelum membuka garasi.
"Sudah!" sahut mereka semua.
"Maaf, saya tak bisa ikut ...."